SUATU Timor Timur yang merdeka tidak mungkin," kata William L.
Morrison, ketua Delegasi Parlemen Australia setibanya di bandar
udara Mascot, Sydney, Sabtu lalu. Morrison baru saja memimpin
suatu delegasi Parlemen Australia mengunjungi Indonesia, enam
hari di antaranya di Timor Timur.
Alasannya seperti yang juga dikemukakan Morrison sebelum
meninggalkan Jakarta: pihak Indonesia memegang kendali
pemerintahan administratif sepenuhnya di Timor Timur. "Keadaan
ekonominya masih sulit. Namun tidak ada tanda-tanda kelaparan di
sana, yang ada hanya tanda-tanda kurang gizi," ujarnya pada
pers.
Delegasi beranggotakan tujuh orang itu praktis melintasi hampir
seluruh wilayah Tim-Tim. "Selama di sana, kami telah melihat
lebih dari 95 persen rakyat Timor Timur akan melihat selama
hidup mereka," kata Morrison dalam konperensi persnya di
Jakarta. Tiga helikopter disediakan pemerintah RI untuk mereka.
Mereka menentukan sendiri daerah yang mereka kunjungi, termasuk
yang dianjurkan pihak Fretilin di Australia, khususnya Tim-Tim
bagian timur yang, konon, "dikuasai Fretilin".
"Kami memang telah mengunjungi bagian timur Timor Timur. Kami
melintasinya lewat darat. Semua desa yang kami kunjungi ternyata
ada di bawah administrasi pemerintah Indonesia," kata Bill
Morrison. Hingga disimpulkannya: di Australia ada dugaan yang
salah, yang mengira masih ada daerah di Tim-Tim yang dikuasai
Fretilin dan untuk melintasinya diperlukan semacam "surat
jalan".
Kesimpulan Morrison tampaknya sama dengan semua anggota
delegasi, juga beberapa wartawan Australia yang dengan biaya
sendiri menyertai kunjungan. Bahkan Senator Gordon D. McIntosh
dari sayap kiri Partai Buruh yang terkenal kritis dalam soal
Tim-Tim, mengakui kemajuan yang dicapai di sana. McIntosh pernah
mengunjungi Tim-Tim pada 1975. "Saya lihat lebih banyak anggaran
disediakan buat Timor Timur dibanding daerah lain, untuk bisa
membangunnya secepat mungkin," katanya.
Tampaknya banyak hal yang membuat lega delegasi Parlemen
Australia itu. Misalnya, semula mereka tidak mempercayai ucapan
Gubernur Tim-Tim, Mario Carascalao, bahwa anggota Fretilin
terkadang dibiarkan turun dari gunung untuk membeli keperluan
mereka di desa. Ini terjadi karena yang dilaksanakan di Tim-Tim
oleh aparat keamanan adalah semacam "perang psikologis," untuk
membujuk mereka yang masih membangkang turun gunung dengan
sadar. "Mereka tidak mengganggu kita lagi. Karena itu kita juga
tidak mengganggu mereka," kata Carascalao.
Tapi pengalaman para tamu Australia itu sendiri ternyata membuka
mata. Menjelang akhir kunjungan mereka, pada 29 Juli, salah satu
mobil delegasi yang membawa Morrison dihentikan empat anggota
Fretilin yang bersenjata di Soba, 130 km sebelah timur Dili.
Harian The Sydney Morning Herald kemudian melukiskan pertemuan
itu sebagai "penyerangan diplomatik Fretilin". Wakil Fretilin
tersebut, Cancio de Sousa Gama, menyerahkan sepucuk surat pada
Morrison.
Melalui penerjemah, Gama mengundang Morrison mengunjungi kamp
Fretilin saat itu juga. Morrison menolak undangan itu dan
mengatakan ia perlu membicarakannya lebih dulu dengan para
rekannya. Gama juga mengatakan bahwa Fretilin mengontrol Timor
Timur. Namun Morrison menjawab, ia tidak melihat Fretilin di
tempat-tempat yang dikunjungi delegasinya.
Surat tanpa tanda tangan yang disampaikan pada Morrison ditulis
dalam bahasa Inggris pada sehelai kertas yang disobek dari buku
tulis. Bahasa Portugisnya buruk. Isinya: menuntut Indonesia
meninggalkan Tim-Tim, dan bahwa Fretilin akan meneruskan
perjuangannya.
Setelah peristia itu barulah Morrison percaya, kini memang
tidak ada lagi tembak-menembak di Tim-Tim. Dan yang dilakukan
pemerintah Indonesia adalah mengajak, dan mengimbau seluruh
rakyat Tim-Tim bersatu dan bekerja bersama untuk membangun
wilayah mereka.
Apakah kunjungan delegasi Parlemen Australia itu akan
mendekatkan pada suatu pengakuan de jure atas integrasi Tim-Tim
pada Indonesia? Sebelum meninggalkan Jakarta, Morrison
mengatakan, delegasinya bukan delegasi pemerintah. "Apa yang
kami lakukan adalah memberikan informasi seluas dan sejauh
mungkin, hingga semua partai bisa menggunakannya untuk
menentukan kebijaksanaan mereka. Kebijaksanaan apa yang akan
mereka tentukan, pemerintah, Partai Buruh, ataupun Partai
Liberal, semuanya terserah mereka. Laporan itu, menurut rencana,
akan disampaikan pada Parlemen akhir bulan ini.
Suratkabar The Sydney Morning Herald melaporkan, para pengamat
Indonesia dan Australia yakin, delegasi akan melaporkan
pandangan yang lunak tentang pemerintahan Indonesia di Tim-Tim.
"Ini akan memberikan Perdana Menteri Bob Hawke alasan untuk
membuang resolusi resmi Partai Buruh yang menuntut penentuan
nasib sendiri rakyat Tim-Tim," tulis harian tersebut.
Dalam Partai Buruh sendiri, penganut garis keras masih ada.
Senator McIntosh, setelah mengunjungi Tim-Tim, tetap melihat
tidak adanya alasan bagi Partai Buruh buat mengubah resolusinya.
Baginya, "masalah pembangunan ekonomi lepas dari hak untuk
Tim-Tim."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini