Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bila mereka bersikeras...

Prakongres GMNI di yogya, menolak pancasila sebagai asas tunggal. (nas)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada spanduk merah bergambar kepala banteng warna hitam terpampang. Tak tampak juga poster atau tanda-tanda lain di luar. Prakongres GMNI (Gerakan Mahasiswa Naslonal Indonesia) yang dilangsungkan di Yogyakarta pekan lalu, praktis berlangsung diam-diam, tanpa publikasi. Menurut rencana, prakongres akan berlangsung 1-7 Agustus. Namun, ternyata baru pada 2 Agustus pukul 14.00 prakongres dibuka. Tapi tiga jam kemudian ditutup. Para utusan 19 cabang yang hadir (dari 31), cuma mengeluarkan dua keputusan pendek. Yang terpenting: GMNI menyetujui dijadikannya Pancasila "sebagai satu-satunya asas dalam mengatur kehidupan kenegaraan". Alasannya, "Pancasila tidak lain adalah Marhaenisme, dan karenanya, tidak perlu dipertentangkan". "Keputusan itu berarti GMNI belum mengubah asas," kata Kristiya Kartika, sekretaris jenderal DPP GMNI. Asas dasar GMNI, Marhaenisme, tetap termaktub dalam pasal 2 ayat 1 Anggaran Dasar. Menurut pasal 6, asas ini tidak bisa diubah. Dengan begitu GMNI merupakan organisasi massa kedua yang "gagal" menerima asas tunggal Pancasila, setelah MPR menetapkan demikian. Yang pertama adalah HMI, yang dalam kongresnya akhir Mei lalu, tetap mempertahankan asas Islam, walau sebelumnya telah "diimbau" untuk menerima asas tunggal Pancasila. "Permasalahan kami pelik. Pemerintah telah belajar dari kasus HMI. Sehingga ketika menghadap ke Asisten Menteri Pemuda & Olah Raga, Presidium GMNI lengkap dengan seluruh cabang diminta menandatangani persetujuan menerima asas tunggal Pancasila," kata Rico Sinaga, wakil ketua DPC GMNI Jakarta. Menurut Rico, permintaan itu tak bisa dipenuhi karena harus melibatkan semua cabang. Hingga akhirnya izin yang keluar hanya untuk prakongres, walau istilah itu tak dikenal dalam AD/ART. Toh prakongres tak mengubah asas Marhaenisme GMNI. "Walau semua peserta sependapat bahwa Marhaenisme dan Pancasila tak perlu dipertentangkan, masih ada perbedaan pendapat mengenai perubahan istilah Marhaenisme menjadi Pancasila," kata Amir Sutoko, ketua GMNI Cabang Yogyakarta. Persoalan ini akan diputuskan oleh kongres, yang belum jelas kapan akan dilangsungkan. Amir sendiri mengumpamakan istilah Marhaenisme dan Pancasila ibarat istilah sapi dan lembu. "Hakikatnya keduanya sama. Jadi isu perubahan asas tidak tepat dalam pengertian GMNI. Yang tepat hanya perubahan istilah," katanya. Sedang bagi GMNI, Pancasila yang identik dengan Marhaenisme adalah Pancasila yang lahir 1 Juni 1945. Menurut pendapat Amir, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal justru bertentangan dengan Pancasila sendiri, yang membuka peluang bagi tumbuhnya ideologi lain. "Kalau asas tunggal ini dipaksakan, mungkin saja berhasil. Tapi apakah itu sudah menjamin adanya suatu kesatuan," tanyanya. Pendapat Amir mirip suara Harry Azhar Aziz, ketua umum PB HMI. "Jika hanya untuk menekankan titik pertemuan dan kebersamaannya saja, maka yang muncul hanya kebersamaan semu," katanya. Beberapa organisasi mahasiswa lain tampaknya bersikap sama. "Apa yang kami lakukan selama ini sebenarnya lebih banyak mencerminkan kepancasilaan, misalnya, sikap nasionalisme," kata Ketua Umum PB PMII Muhjiddin Arubusman. "Persamaan asas menghilangkan kebhinekaan. Sedang menghilangkan kebhinekaan juga sikap yang tidak Pancasilais," ucap Sunggul Siahaan, sekretaris umum PP GMKI. Namun sampai kapan mereka bisa bersikeras? Setelah "kebobolan" dengan HMI beberapa bulan lalu, Menteri Pemuda & Olah Raga Abdul Gafur beberapa kali telah menegaskan: izin kongres buat organisasi massa bisa diberikan hanya kalau mereka menerima asas tunggal Pancasila. "Untung kongres GMKI masih lama, menurut rencana akhir Agustus 1984 di Salatiga," kata Sunggul Siahaan. Yang harus cepat-cepat menentukan sikap adalah PMKRI, yang kongresnya akan diselenggarakan paling lambat Desember 1983. Sikap Menteri Gafur sendiri tetap tegas. "Mau menerima atau tidak, tinggal masalah waktu saja," ujarnya. Pemerintah kini mempercepat dikeluarkannya UU Keormasan yang akan merupakan pegangan bagi semua organisasi massa. "Saya harap pada pertengahan 1985 undang-undang itu sudah jadi." "Bila mereka tetap bersikeras, undang-undanglah nanti yang akan berbicara," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus