Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendidikan toleransi mulai muncul di sekolah-sekolah.
Pemerintah mesti memastikan program toleransi di sekolah tidak sekadar menjadi proyek simbolis.
Toleransi mensyaratkan pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, kemerdekaan dalam berpikir, serta hati nurani dan keyakinan.
KEMUNCULAN sekolah-sekolah yang memperkenalkan para muridnya kepada nilai-nilai pluralisme dan toleransi cukup membesarkan hati. Di tengah gesekan antar-umat beragama yang masih marak, pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan dan kemerdekaan serta pentingnya menghargai hak orang lain. Tapi pemerintah mesti berhati-hati, jangan sampai toleransi di sekolah sekadar menjadi proyek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu lembaga pendidikan yang melakukan itu dengan baik adalah Sekolah Menengah Atas Sultan Iskandar Muda di pinggiran Kota Medan. Dokter Sofyan Tan, seorang warga setempat, mendirikan lembaga tersebut pada 1987. Dia bercita-cita memerangi kemiskinan dan angka putus sekolah yang tinggi di sana, yang ia pandang sebagai akar dari intoleransi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam praktiknya, SMA Sultan Iskandar Muda memberikan akses pendidikan yang sama kepada peserta didik tanpa membedakan suku, agama, ras, dan tingkat sosial-ekonomi. Mereka juga mendirikan wihara, pura, gereja, dan masjid di dalam kompleks sekolah serta memiliki mata pelajaran toleransi lengkap dengan praktik. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, yang mengunjungi SMA Sultan Iskandar Muda pada Oktober lalu, menyebut sekolah itu inspiratif.
Contoh lain ada di Palangka Raya. Kepala SMA Negeri 2 Badah Sari merenovasi bangunan tak terpakai di kompleks sekolah untuk dijadikan gereja dan pura. Meski mayoritas siswa SMA Negeri 2 beragama Islam, ada beberapa muridnya yang beragama Kristen dan Hindu. Mula-mula warga sekitar memprotes. Tapi pelan-pelan Badah dapat membuat mereka mengerti. Ini salah satu sekolah pertama di Kalimantan Tengah yang menyediakan tempat ibadat bagi semua muridnya.
Dalam sebuah webinar pada Mei lalu, Menteri Nadiem menyatakan akan menghapus tiga intoleransi di sekolah-sekolah. Pada September lalu, dia mengatakan sedang merancang modul moderasi beragama bersama Kementerian Agama untuk sekolah-sekolah. Niat tersebut baik. Bagaimanapun pendidikan di sekolah, rumah, ataupun lingkungan masyarakat merupakan sarana paling efektif untuk membendung intoleransi.
Namun Nadiem—juga Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang mencanangkan 2022 sebagai tahun toleransi—perlu mengingat bahwa niat baik tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk proyek simbolis. Toleransi lebih dari sekadar membangun gereja, pura, dan wihara berdampingan dengan masjid atau memberikan ucapan selamat pada saat hari raya umat agama lain.
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam Declaration on Principles of Tolerance mendefinisikan toleransi sebagai penghormatan, penerimaan, dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan kemanusiaan. Dengan kata lain toleransi adalah keharmonisan dalam perbedaan. Paling penting: toleransi harus terwujud dalam sikap aktif menghargai hak asasi universal dan kebebasan dasar orang lain.
Negara tentu saja harus ikut andil, antara lain melalui penegakan hukum yang adil dan setara bagi setiap warga negara. Khusus mengenai kehidupan beragama, negara mesti menjamin hak setiap warga negara untuk beragama sesuai dengan keyakinannya. Tapi, di tengah masyarakat, sikap aktif dalam toleransi mensyaratkan pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, kemerdekaan dalam berpikir, serta hati nurani dan keyakinan. Itu semua dapat diperoleh melalui pendidikan dan interaksi yang sehat; juga tanpa paksaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo