Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hentikan Diskriminasi pada Penyandang Disabilitas

Mahkamah Agung mengabulkan gugatan kasasi Muhammad Baihaqi, difabel asal Pekalongan. Pemerintah harus memberi contoh pelayanan publik yang inklusif.

25 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hentikan Diskriminasi pada Penyandang Disabilitas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Di era modern, negara dan aparaturnya masih diskriminatif terhadap difabel.

  • Diskriminasi bahkan dimulai hukum positif seperti undang-undang.

  • Putusan kasasi Mahkamah Agung mesti menjadi momentum mereformasi pikiran para birokrat, pejabat, dan politikus.

PUTUSAN Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi peserta tes calon pegawai negeri sipil Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Muhammad Baihaqi, sudah sepatutnya didukung. Tahun lalu, difabel netra ini dicoret dari daftar peserta karena dinilai masuk formasi yang keliru. Putusan Mahkamah Agung ini mengingatkan pemerintah untuk memastikan semua warga negara mendapat kesempatan yang sama dalam semua bidang, termasuk menjadi abdi negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baihaqi, kini berusia 35 tahun, mengikuti tes CPNS formasi khusus penyandang disabilitas untuk menjadi guru Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Randublatung, Blora, Jawa Tengah, pada Juli 2020. Saat pengumuman, ia tercatat sebagai peraih skor tertinggi Seleksi Kemampuan Dasar. Namun, belakangan, panitia mencoret namanya. Mereka beralasan lowongan tersebut ditujukan kepada penyandang cacat anggota tubuh, bukan kebutaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan itu jelas mengada-ada. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 27 Tahun 2021 melarang instansi pemerintah mensyaratkan keterbatasan fisik tertentu dalam formasi ujian calon pegawai negeri mereka.

Guru matematika asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini lantas menggugat pencoretan itu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Semarang. Sayangnya, gugatan tersebut ditolak dengan alasan sudah melewati jangka waktu maksimal 90 hari. Upaya bandingnya di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya juga kandas. Vonis ini terasa ganjil karena kedua majelis hakim sama sekali tak berusaha mengkaji substansi gugatan Baihaqi yang secara nyata diperlakukan diskriminatif.

Sebenarnya pembedaan kesempatan berdasarkan jenis disabilitas tak dikenal dalam sistem hukum kita. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga tidak pernah mengatur tentang perbedaan akses dan kesempatan berdasarkan perbedaan disabilitas seseorang.

Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 21,8 juta difabel (different abled people) di Indonesia. Sampai saat ini, ada banyak diskriminasi yang mereka hadapi untuk mengakses berbagai fasilitas publik dan kesempatan bekerja di banyak sektor. Kasus Baihaqi hanya satu contoh diskriminasi yang masih banyak terjadi di sekitar kita.

Sebelumnya, pada Januari 2019, Alde Maulana, calon pegawai negeri di Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Sumatera Barat, mengalami nasib yang sama. Penyandang disabilitas ini sudah lulus tes penerimaan pegawai, tapi belakangan ia diberhentikan karena dianggap tak sehat jasmani dan rohani. Alasan ini jelas melawan hukum karena, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, disabilitas tak boleh menjadi alasan pemberhentian seseorang.

Ke depan, pemerintah harus segera mengubah Pasal 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal ini mensyaratkan setiap calon pegawai negeri sipil harus sehat jasmani dan rohani. Jika aturan itu tak dicabut, berarti negara merestui diskriminasi yang sistematis kepada jutaan penyandang disabilitas di negeri ini.

Karena itulah putusan Mahkamah Agung dalam kasus Baihaqi menjadi penting. Sikap lembaga yudikatif tertinggi ini tak hanya mengoreksi putusan dua pengadilan di bawahnya, tapi juga menegaskan kekeliruan semua instansi pemerintah yang pernah menerapkan kebijakan diskriminatif serupa. Lewat putusan ini, Mahkamah Agung mengingatkan semua lembaga negara agar mengedepankan pelayanan publik yang inklusif, termasuk dan terutama untuk para difabel dan penyandang disabilitas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus