Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stagnasi Reformasi TNI dan Pembenahan Peradilan Militer

Kasus korupsi Basarnas mengingatkan kembali perlunya kelanjutan reformasi TNI, termasuk reformasi peradilan militer.

7 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prajurit TNI jadi tersangka dalam kasus korupsi Basarnas.

  • Kasus ini mengungkap masalah peradilan militer dan penempatan TNI di jabatan sipil.

  • Sudah 25 tahun reformasi berlalu, reformasi TNI tampak berjalan stagnan.

Ikhsan Yosarie
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum selesai kasus keterlibatan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), kini muncul kasus penculikan dan pembunuhan yang diduga dilakukan prajurit TNI juga, tepatnya oleh anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan dua kesatuan lainnya. Kasus korupsi Basarnas ini bukan hanya kembali membuka mata publik mengenai urgensi reformasi TNI, tapi juga mengafirmasi banyak kritik masyarakat terhadap lambatnya reformasi TNI dalam dua lokus, yakni reformasi peradilan militer dan penempatan TNI di jabatan sipil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai masalah TNI belakangan ini mengingatkan agar penyelenggara pemerintahan melihat kembali pentingnya implementasi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri dan Undang-Undang TNI yang mengamanatkan agar prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Namun ketentuan tersebut dan realitas pemisahan yurisdiksi peradilan menjadi hambatan serius dalam upaya penerapannya dalam reformasi TNI.

Selain itu, kasus Basarnas memperlihatkan secara gamblang bagaimana penempatan TNI di jabatan sipil yang belum diimbangi infrastruktur hukum yang memadai dalam menjaga reformasi TNI, yakni revisi Undang-Undang Peradilan Militer. Dalam kasus ini, TNI menyatakan keberatan terhadap penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI di Basarnas dengan landasan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan militer, bukan peradilan umum.

Persoalan ini semakin buruk setelah KPK merespons dengan permintaan maaf dan klarifikasi atas penetapan tersangka tersebut. Ketua SETARA Institute menyatakan bahwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka prajurit TNI, yang notabene suatu tindakan hukum yang sah dan berdasarkan undang-undang, adalah puncak kelemahan KPK dalam menjaga serta menjalankan fungsinya secara independen.

Persoalan memperlihatkan sebagian aspek dalam reformasi TNI yang belum tuntas, tapi kita belum melihat respons yang substantif, baik dari pemerintah maupun legislatif, untuk mencari jalan keluarnya, terutama dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer. Pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin bahwa dirinya tidak keberatan jika Undang-Undang Peradilan Militer direvisi lantaran penyempurnaan terhadap sebuah undang-undang adalah hal yang biasa terjadi semestinya menjadi pintu masuk untuk menindaklanjuti pembahasan revisi undang-undang tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan telah menyampaikan surat terbuka kepada pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan agar segera membahas rencana revisi Undang-Undang Peradilan Militer serta memasukkan agenda revisi undang-undang ini ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional. Dengan surat terbuka tersebut dan berbagai kasus yang belakangan ini menjadi sorotan publik, semestinya pemerintah mampu menangkap urgensi revisi Undang-Undang Peradilan Militer sebagai bagian dari agenda reformasi TNI.

Kasus korupsi di Basarnas juga memantik isu mengenai penempatan prajurit TNI di jabatan sipil, yang juga bagian dari agenda reformasi TNI. Meskipun Undang-Undang TNI memberikan ruang kepada prajurit TNI untuk menduduki 10 jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini dari dinas keprajuritan, tapi dilema penegakan hukumnya akan sama dengan kasus Basarnas jika kejadian seperti Basarnas kembali terjadi.

Perluasan penempatan TNI pada jabatan sipil sesuai dengan Undang-Undang ataupun di luar ketentuan undang-undang, seperti komisaris BUMN, belum didukung infrastruktur hukum yang memadai untuk memastikan reformasi TNI terus terjaga. Masalah ini akan semakin besar jika kita kaitkan dengan peran-peran militer lainnya di domain sipil melalui 14 lingkup Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana ketentuan Pasal 7 Undang-Undang TNI. Kondisi ini memperlihatkan keterlibatan militer di ruang sipil yang luas sehingga revisi Undang-Undang Peradilan Militer guna memastikan prinsip persamaan di depan hukum semakin mendesak.

Masyarakat menaruh perhatian besar terhadap kasus Basarnas ini dan memandang perlunya penguatan reformasi TNI. Jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-11 Agustus lalu mencatat 83,9 persen responden menyatakan setuju dengan wacana revisi terhadap Undang-Undang Peradilan Militer. Aspirasi publik, sekali lagi, semestinya ditangkap pemangku kebijakan sebagai suatu modal penting untuk jalan perbaikan Undang-Undang Peradilan Militer.

Agenda ini tidak kunjung tuntas sejak reformasi, meskipun telah dimulai pembahasannya sejak dekade pertama reformasi TNI. Pada 2006, pembahasan Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer tidak menemukan titik temu. Pemerintah dan DPR berkukuh pada pandangan masing-masing soal kompetensi peradilan militer dan peradilan koneksitas. Semua fraksi DPR berpendapat bahwa tindak pidana umum yang dilakukan prajurit harus diadili dalam lingkup peradilan umum, sedangkan pemerintah menghendaki semua tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit dibawa ke peradilan militer.

Memasuki dekade kedua reformasi, rancangan undang-undang itu bahkan tidak termasuk ke dalam Prolegnas 2015-2019, padahal ia selalu tercantum dalam Prolegnas sebelumnya. Rancangan itu juga tak disinggung lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan justru mengusulkan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara kembali masuk Prolegnas 2015-2019. Padahal Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sudah lama memprotes dan mengingatkan pemerintah tentang banyaknya persoalan dalam kedua rancangan itu.

Tersingkirnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer itu mengukuhkan pandangan betapa tebalnya dinding yang perlu diterobos dalam mendorong salah satu agenda reformasi TNI ini menuju tentara profesional. Kasus Basarnas dan berbagai kasus lain yang melibatkan TNI seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melanjutkan kembali reformasi TNI yang sudah lama stagnan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ikhsan Yosarie

Ikhsan Yosarie

Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan Setara Institute.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus