Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andre Notohamijoyo
Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketahanan pangan menjadi isu yang tidak pernah lekang dimakan waktu. Sepesat-pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, kebutuhan paling mendasar manusia terhadap pangan tetap menjadi isu utama yang krusial. Pertumbuhan ekonomi yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan mengakibatkan terdegradasinya lingkungan penyedia pangan, sehingga suplai makanan pun terancam. Perusakan dan perambahan hutan, pencemaran sungai dan laut, hingga alih fungsi lahan pertanian menyebabkan suplai bahan makanan terancam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah ketahanan pangan di Indonesia sudah menjadi isu sentral, bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Pada masa lalu, ketahanan pangan lebih berorientasi ke darat, tapi dalam dua dekade terakhir muncul kesadaran bahwa laut juga berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan. Undang-Undang Pangan menyebutkan peran laut dan sektor perikanan dalam ketahanan pangan. Mewujudkan peran laut tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS), yang ditetapkan pada 1982, secara resmi mengakui status negara kepulauan beserta hak-hak dan kewajiban yang menyertainya. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Hal tersebut memberikan konsekuensi penambahan wilayah laut teritori seluas 3,1 juta kilometer persegi ditambah zona ekonomi eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2. Maka, total luas perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km2 (Kusumaatmadja, 2005).
Laut di Indonesia sudah lama menerima beban yang terlalu berat. Sebagai negara kepulauan yang memiliki jalur strategis perdagangan dunia, laut menjadi tumpuan jalur pelayaran kapal-kapal niaga. Selain sebagai jalur perdagangan, ada banyak pihak yang berkepentingan terhadap sumber daya non-hayati, seperti mineral bawah laut, dan berusaha mengeksploitasinya. Di sisi lain, banyak industri yang memanfaatkan laut sebagai tempat pembuangan limbah. Padatnya kepentingan terhadap laut dari berbagai sektor menyebabkan daya dukung laut kian hari kian menurun. Hal tersebut mengancam kemampuan laut dalam menyediakan pangan.
Hasil kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/KEPMEN-KP/2016 menyebutkan bahwa estimasi potensinya sebesar 9,9 juta ton per tahun. Meskipun terjadi peningkatan potensi perikanan tangkap, tantangan penyediaan ikan masih menjadi kendala besar.
Salah satu kendalanya adalah masalah kelembagaan. Hal tersebut senada dengan pernyataan Bustanul Arifin (2010) tentang masalah kelembagaan. Kelembagaan terdiri atas dua hal, yaitu norma atau konvensi dan aturan main. Namun para penyusun kebijakan masih berpandangan bahwa kelembagaan adalah organisasi, sehingga penyelesaiannya adalah membuat organisasi baru. Pandangan ini keliru dan mendorong pemerintah terjerumus ke inefisiensi birokrasi. Kelembagaan adalah merumuskan aturan main yang benar dan mengefektifkan fungsi-fungsi lembaga guna mendukung ketahanan pangan.
Kelembagaan itu meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Badan Urusan Logistik, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Badan Standardisasi Nasional, serta badan usaha milik negara, seperti PT Perinus, PT Perindo, PT Garam, Pelni, ASDP, PT Garuda Indonesia, PT Angkasa Pura, dan PT Pelindo, juga swasta.
Penataan kelembagaan tersebut akan menentukan bagaimana ketahanan pangan dari laut dapat dibangun. Artinya, kebijakan ketahanan pangan tidak dapat hanya bersandar pada satu lembaga, tapi juga perlu koordinasi dan integrasi semua lembaga terkait. Tanpa penataan kelembagaan yang tepat, potensi perikanan laut dalam mendukung ketahanan pangan tidak akan tercapai. Di sini, masyarakat nelayan harus mendapat peran yang seimbang antara penyedia ikan dan kesejahteraannya. Hal tersebut yang sering terpinggirkan dalam kebijakan pemerintah.
Tanpa mempertimbangkan kesejahteraan nelayan, ketahanan pangan tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan. Inilah yang harus menjadi perhatian khusus sekaligus wujud dukungan pemerintah terhadap nelayan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Pembangunan ketahanan pangan berbasis kelautan wajib menjadikan kesejahteraan nelayan, khususnya nelayan kecil, sebagai target pencapaiannya.
Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam mendorong peran laut bagi ketahanan pangan perlu dioptimalkan. Hasil kerja Komisi Burntland yang dituangkan dalam dokumen "Our Common Future" pada 1987 selalu dijadikan rujukan prinsip tersebut. Komisi menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Konsep ini telah secara resmi diadopsi oleh PBB dan menjadi acuan bagi semua negara.
Pembangunan kelautan untuk ketahanan pangan harus bertumpu pada tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Tidak cukup hanya berlandaskan pada teori, tapi juga implementasi kebijakan yang nyata dari pemerintah. Diperlukan kebijakan yang memiliki terobosan dalam membangun ketahanan pangan dari laut setelah 74 tahun umur Republik ini.