Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menjelang Pemilu 2024, calon presiden bermunculan.
Politikus peminat kursi presiden memilih perang baliho.
Demokrasi Indonesia masih semu.
POLITIKUS yang memajang wajah mereka di baliho mungkin menganggap ruang publik layaknya Facebook. Mereka berharap banyak "like" atau "comment" agar bisa terkenal dan dengan itu merasa punya modal ikut berkompetisi pada pemilihan presiden dua tahun mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, momentum yang dipilih oleh elite partai politik untuk meningkatkan popularitas itu tidak tepat. Di tengah pandemi, usaha para politikus yang jorjoran memasang wajah di berbagai pelosok itu sama sekali tak menunjukkan empati terhadap penderitaan banyak orang—yang kelak akan memutuskan pilihan di bilik suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metode memenuhi tempat-tempat terbuka dengan gambar wajah itu pun ketinggalan zaman. Informasi apa yang bisa kita peroleh dari sederet baliho bergambar wajah dan slogan bombastis? Ketika rakyat butuh panduan dan bantuan yang nyata dan terukur soal pengendalian pandemi Covid-19, adu kuat baliho menunjukkan betapa berjaraknya politikus dari realitas sehari-hari yang dihadapi rakyat jelata.
Sesuai dengan konstitusi, siklus elektoral di Indonesia memang mensyaratkan pergantian kepemimpinan nasional setiap lima tahun dengan satu presiden bisa memimpin maksimal dua periode. Prinsip ini tidak boleh ditawar karena lahir dari pengalaman pahit bangsa yang hidup di bawah rezim diktator selama 32 tahun. Meski Soeharto menyelenggarakan pemilihan umum setiap lima tahun, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dia kendalikan terus memilihnya kembali menjadi presiden berulang-ulang. Model itu menghasilkan sistem politik yang korup dan menelantarkan kepentingan rakyat.
Setelah reformasi 1998, kita berharap setiap pemilu bisa menghasilkan pemimpin terbaik pilihan rakyat. Tapi banyak orang kerap lupa bahwa ada sejumlah persyaratan penting yang harus dipenuhi agar siklus elektoral tersebut bisa benar-benar mewakili aspirasi publik.
Pertama, transparansi dana politik. Bukan hanya buat kandidat ataupun partai politik, tapi juga para konsultan dan lembaga jajak pendapat yang aktif mengumumkan pergerakan opini publik. Semua aktor dalam sistem politik kita, tanpa terkecuali, harus mengumumkan sumber pendanaan untuk semua aktivitas mereka dan bersedia diaudit.
Tanpa itu, rakyat bisa terperangkap membeli kucing dalam karung. Pemodal dengan berbagai kepentingan bisa menyandera calon presiden dengan sokongan dana politik lewat jalur belakang. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah bisa melalaikan kepentingan pemilihnya dan mengesahkan rancangan undang-undang demi pesanan cukongnya. Bukan lagi kekhawatiran, diduga kuat inilah kenyataan politik kita hari-hari ini di Senayan—lokasi gedung wakil rakyat di Jakarta.
Transparansi dana para penyelenggara jajak pendapat politik juga tak kalah penting. Dengan transparansi metode jajak pendapat, memang kecil kemungkinan seorang kandidat bisa dipermak seolah-olah populer. Tapi keterbukaan soal sumber dana bisa membantu kita memahami jejaring pendukung para kandidat dan potensi bias serta konflik kepentingan di baliknya.
Kedua, akses pencalonan presiden harus dibuka seluas mungkin. Argumentasi bahwa presidential threshold yang tinggi lebih menjamin stabilitas politik sudah saatnya ditinjau kembali. Terlebih jika proses penentuan bakal calon presiden di tingkat partai politik sangat didominasi kepentingan elitenya. Penetapan ambang batas presidential threshold sebesar 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara pada pemilu sebelumnya cenderung menutup peluang munculnya wajah baru dalam sistem politik kita.
Ditambah dengan independensi dan profesionalitas penyelenggara pemilu, pemenuhan persyaratan di atas akan menambah kualitas keterwakilan kepentingan publik dalam proses elektoral kita. Perbaikan ini penting mengingat ada banyak kritik yang menilai demokrasi kita kini terjebak pada aspek prosedural semata. Indonesia tampak seolah-olah demokratis, tapi sistem politik negeri ini sebenarnya dikendalikan segelintir elite saja. Tanpa perombakan aturan yang menekankan transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan rakyat kepada sistem demokrasi saat ini terancam pudar.
Sebagai langkah awal, Indonesia harus keluar dari jebakan sistem politik elektoral yang mengedepankan prosedur ketimbang substansi. Pemimpin tidak boleh dipilih karena bisa memasang baliho di mana-mana, melainkan karena rekam jejak dan gagasan yang cemerlang. Pemimpin yang mengandalkan popularitas saja tak bisa diandalkan meneruskan cita-cita membangun Indonesia yang demokratis, bebas korupsi, dan menghormati hak asasi manusia. Pemimpin yang gandrung pada pencitraan bakal mudah terombang-ambing berbagai kepentingan dan godaan kanan-kiri.
Pandemi ini seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk pemimpin Indonesia berikutnya. Para calon presiden harus menunjukkan kualitas diri mereka sebagai pelayan rakyat yang mumpuni. Pertarungan gagasan dan kebijakan perlu didorong agar publik bisa mengenal dan mempertimbangkan siapa yang terbaik. Semua itu tak bisa dilakukan melalui adu kuat pasang baliho.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo