Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin terseret perkara korupsi proyek Masjid Raya Sriwijaya.
Jabatannya tercatat menerima dana dan fasilitas sewa helikopter.
Kerugian negara diperkirakan Rp 116 miliar.
SEBUAH buku membetot perhatian penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Jaksa menemukan buku catatan pengeluaran uang itu saat menggeledah rumah seorang tersangka korupsi proyek pembangunan Masjid Raya Sriwijaya pada Mei lalu. Ada dua lembar yang berisi daftar nama, keterangan jumlah uang, serta tanggal penyerahannya.
Judul catatan itu “Monitoring PP 1”. Di lembar kedua terdapat subjudul “Pengeluaran”. Di sana tertulis: “Pak Syarif untuk Sumsel 1 Rp 2,343 miliar, tunai, melalui Erwan, 15 Februari.” Ada pula catatan Rp 300 juta biaya sewa helikopter untuk Sumsel 1. “Materi itu sedang diperiksa di pengadilan,” tutur Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Khaidirman pada Kamis, 19 Agustus lalu.
Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan mengusut perkara korupsi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Palembang dengan menetapkan empat tersangka pada Maret lalu. Mereka adalah Ketua Panitia Lelang Syarifudin M.F.; Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Sumatera Selatan Eddy Hermanto; serta penggarap proyek kerja sama operasional (KSO) PT Brantas Abipraya dan PT Yodya Karya, Dwi Kridayanti serta Yudi Arminto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkas pemeriksaan keempatnya sudah masuk pengadilan. Pada pertengahan Juli lalu, jaksa menetapkan dua tersangka baru: mantan Sekretaris Daerah Sumatera Selatan, Mukti Sulaiman, dan Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Ahmad Nasuhi. Para tersangka diduga merugikan keuangan negara Rp 116 miliar dari nilai hibah pembangunan masjid senilai Rp 128 miliar.
Jaksa menduga catatan lembar kedua “Monitoring PP 1” itu uang muka dana hibah kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sebesar Rp 48,49 miliar pada Januari 2016. Dari penelusuran jaksa, Yayasan Wakaf kemudian mentransfer uang tersebut kepada penggarap proyek PT Brantas Abipraya dan PT Yodya Karya pada bulan yang sama.
Penyidik menemukan bahwa Rp 5 miliar dari uang tersebut diambil Yudi Arminto dengan alasan untuk biaya operasional proyek. Selain tertulis untuk Sumsel 1, uang tersebut diberikan kepada Eddy sebesar Rp 684 juta, Syarifuddin Rp 1,049 miliar, serta lainnya. Di luar “Sumsel 1”, tuduhan jaksa itu masuk dalam catatan perkara yang sedang diperiksa hakim.
Jika merujuk pada istilah umum, “Sumsel 1” adalah Gubernur Sumatera Selatan. Pada 2016, gubernur dijabat Alex Noerdin, politikus Partai Golongan Karya. Ia tengah berkuasa dalam periode kedua 2013-2018. Kepada Tempo, Alex menyangkal jika disebut mendapat uang Rp 2,343 miliar dari proyek pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Ia mengklaim tidak mengetahui maksud catatan itu. “Silakan ditanyakan saja kepada yang mencatatnya,” katanya. “Saya tidak pernah mengenal apalagi menerima dana yang tertulis dalam catatan orang tersebut.” Ihwal biaya “Rp 300 juta helikopter Sumsel 1”, Alex, yang kini Wakil Komisi VII DPR, juga mengaku tak mengetahuinya.
Kuasa hukum Eddy Hermanto, Nurmalah, mengatakan uang yang diduga diberikan kepada kliennya paling kecil di antara yang lain. “Kami akan membuktikan bahwa itu bukan bagian dari gratifikasi,” ujar Nurmalah. Sayuti, pengacara Syafrudin, enggan menanggapi tuduhan kliennya mendapat uang ataupun jatah untuk Alex Noerdin. “Saya tidak mau berkomentar,” ucapnya. Kuasa hukum para terdakwa KSO Brantas-Yodya, Eko Takari, tak merespons permintaan konfirmasi Tempo.
PULUHAN tiang pancang fondasi terpacak menyebar terkubur ilalang dan semak belukar di kawasan Jakabaring, Kota Palembang. Di lahan yang berada tepat di seberang kampus pusat Universitas Islam Negeri Raden Fatah itu juga berserakan onggokan kerikil, gundukan tanah, dan atap seng. Di bagian tengah, ada fondasi 50 x 50 meter yang terendam air. Pada Jumat, 6 Agustus lalu, tak seorang pun lewat di area itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Khaidirman mengatakan tiang pancang dan fondasi itu seharusnya alas Masjid Raya Sriwijaya yang pembangunannya rampung pada 2018. “Bangunan masjid tak kunjung jadi karena dananya diduga dikorupsi,” kata Khaidirman pada Kamis, 19 Agustus lalu.
Gagasan pembangunan masjid lumayan ambisius. Syahdan, ide membangun masjid muncul ketika Jimly Asshiddiqie mendapatkan wakaf tanah dari keluarga almarhum Haji Hatim Lutfi pada 2009. Luasnya 9,5 hektare di Jalan Soekarno-Hatta, Palembang.
Jimly, kini anggota Dewan Perwakilan Daerah, bersama tokoh masyarakat Sumatera Selatan menyampaikan gagasan membangun masjid terbesar di Asia tersebut kepada Alex Noerdin. Alex langsung setuju karena Palembang hanya punya masjid agung yang berusia lebih dari dua abad.
Untuk mewujudkan rencana tersebut, para tokoh mendirikan Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang. Kantornya di Jalan Limau II Jakarta Selatan, yang sekaligus kantor salah satu bendahara yayasan, Muddai Madang. Jimly menjadi pembina yayasan, sedangkan Alex sebagai Ketua Pembangunan Masjid Sriwijaya.
Dalam perencanaan para pendiri, Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang ini tidak hanya menjadi pelaksana pembangunan masjid, tapi juga akan membangun pusat pendidikan Islam dengan menerima dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bantuan negara luar, ataupun masyarakat.
Tiang pancang Masjid Sriwijaya di Kota Palembang, Sumatera Selatan, 6 Agustus 2021. TEMPO/Linda Trianita
Pada 2010, Alex berkunjung ke lahan hibah di Jalan Soekarno-Hatta tersebut. Ia kurang sreg dengan lokasinya karena sepi. Dia kemudian memindahkan lokasi pembangunan masjid ke kawasan Jakabaring di Jalan Pangeran Ratu. Luas lahannya 15 hektare. Namun, pada 2012, lahan untuk masjid direvisi menjadi 9 hektare, sesuai dengan luas lahan hibah di Jalan Soekarno-Hatta.
Yayasan Wakaf menggelar sayembara pembuatan skema atau gambar masjid pada 2011 sekaligus sebagai ajang promosi serta untuk menarik minat investor. Alex Noerdin mengatakan, dari sayembara tersebut, skema terpilih kemudian disosialisasi di Hotel Swarna Dwipa. “Jika pembangunan Masjid Sriwijaya ini selesai sesuai dengan desain, bukan saja menjadi masjid yang terindah di Kota Palembang, juga menjadi pusat pendidikan Islam di Sumatera Selatan dan menjadi percontohan di Indonesia,” ujar Alex.
Panitia memilih satu proposal. Anehnya, proposal itu tak mencantumkan gambar apalagi anggarannya. Meski begitu, panitia tetap menindaklanjuti pembahasannya di Griya Agung, rumah dinas gubernur, untuk membahas pembiayaannya.
Dalam pertemuan yang dihadiri sekretaris daerah, pengurus yayasan, dan pejabat lain tersebut Alex Noerdin mengusulkan agar Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang bisa menerima dana hibah dari APBD Sumatera Selatan setiap tahun. Alex mengalokasikan dana hibah dalam APBD 2015 secara gelondongan sebesar Rp 80,05 miliar.
Pada tahun ini pula, Alex memberikan posisinya sebagai Ketua Umum Pembangunan Masjid Sriwijaya kepada Eddy Hermanto, Kepala Dinas Cipta Karya Sumatera Selatan. Alex juga menunjuk Syarifudin M.F. sebagai Ketua Panitia Lelang dan menetapkan beberapa posisi kepada sejumlah pejabat anak buahnya.
Seorang jaksa mengatakan dana hibah yang disalurkan ke Yayasan Wakaf hanya Rp 50 miliar. Alex menyetujui pencairan hibah meski tak sesuai dengan jumlah yang ia usulkan di APBD. Jaksa masih menelisik Rp 30 miliar yang tak jelas pemakaiannya. Jaksa juga mempersoalkan hibah kepada Yayasan Wakaf karena beralamat di Jakarta.
Tak cuma soal penggunaan uang, jaksa menyoroti pemilihan kontraktor PT Brantas Abipraya dan PT Yodya Karya. Pemilihan kontraktor ini tanpa besaran anggaran karena belum ada naskah perjanjian hibah daerah. Lebih ganjil lagi, panitia tak mencantumkan manajemen konstruksi untuk mengawasi rancang bangun masjid. “Pantas saja proyeknya gagal,” ucap seorang jaksa.
Setelah PT Brantas dan PT Yodya ditetapkan sebagai pemenang lelang dan meneken kontrak pembangunan masjid, Yayasan Wakaf membayarkan uang muka sebesar Rp 48,49 miliar pada 2015. Tahun berikutnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengusulkan kembali dana hibah, tapi ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPRD beralasan hibah daerah tak bisa diberikan dua kali kepada lembaga yang sama setiap tahun. Apalagi, ada isu sengketa lahan di lokasi masjid di Jakabaring. Anggota DPRD belum mengetahui bahwa hibah pertama hanya disalurkan Rp 50 miliar. Meski begitu, pemerintah Sumatera Selatan tetap mentransfer hibah kedua sekitar Rp 78 miliar kepada Yayasan Wakaf.
Uang tersebut dipakai untuk membayar kerja sama operasional (KSO) Brantas-Yodya. Karena masjidnya cuma berupa tiang pancang, jaksa menghitung nilainya hanya Rp 12 miliar. Dari pengurangan total dana hibah dan nilai bangunan itulah jaksa menetapkan kerugian proyek Masjid Sriwijaya Palembang ini Rp 116 miliar.
Dari pengakuan para tersangka, jaksa mendapatkan informasi bahwa KSO berjanji akan menyelesaikan bangunan masjid tegak payung dengan dana Rp 128 miliar pada 2018, bertepatan dengan perhelatan akbar Asian Games. Alih-alih menagih kewajiban KSO, pada 2017, Alex Noerdin mengatakan akan menambah lagi hibah Rp 100 miliar.
Alex menyangkal pernah menyatakan hendak menambah dana hibah Rp 100 miliar untuk proyek masjid raya. “Saya tidak pernah mengusulkan penambahan anggaran,” ujarnya. Menurut dia, jika merujuk pada desainnya, estimasi biaya pembangunan Masjid Sriwijaya ini sekitar Rp 1 triliun. “Menurut saya wajar jika terjadi beberapa kali penambahan anggaran,” tuturnya.
Jimly Asshiddiqie kecewa pembangunan masjid gagal. “Dalam sejarah, belum pernah ada proyek bangun masjid gagal,” ujar Jimly. Ia mengklaim sudah menawarkan agar Gubernur Alex Noerdin membatalkan proyek tersebut. “Tapi Gubernur masih berharap bisa selesai, terutama urusan tanahnya yang tidak beres-beres,” kata Jimly. “Padahal tanah wakaf di lokasi awal sudah siap. Tapi karena pemerintah daerah minta dipindah, kami ikut saja.”
Wakil Bendahara Yayasan Wakaf Masjid Raya Sriwijaya, Zainal Berlian, berharap kasus korupsi pembangunan masjid segera tuntas. “Pembangunannya dilanjutkan kembali dan yang mengerjakan pemerintah provinsi saja. Yayasan Wakaf hanya terima kunci sebagai pengelola masjid,” tutur Zainal. ARIEL (PALEMBANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo