Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MISALKAN Anda masih peduli pada sepak bola kita, pastikan bersetuju dengan slogan ini: sepak bola Indonesia yes, PSSI no. Yang tak setuju jargon ini berarti percaya PSSI-singkatan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia-masih mampu mengurus sepak bola.
Benar Anda percaya PSSI mampu? Jika jawabannya "ya", ada beberapa kemungkinan. Mungkin Anda baru pulang dari rimba belantara, dan selama sepuluh tahun terakhir tak pernah membaca koran-apalagi mengikuti prestasi memalukan PSSI. Mungkin juga Anda mengira PSSI itu nama partai baru atau sejenis perkumpulan senam sehat. Atau jangan jangan Anda Nurdin Halid, atau sekalian penganut yang menakzimkan Ketua Umum PSSI itu-organisasi sepak bola yang terus menerus "meneror" perasaan publik ini.
Bayangkan. Sepak bola menjadi permainan rakyat paling populer di sini. Siaran langsung liga dunia dan lokal di televisi menjadi tontonan sehari hari. Rakyat berbondong bondong ke stadion mendukung klub kesayangannya bertanding. Mereka membayar untuk sepak bola-walau banyak juga yang "molos" atau "menyuap" penjaga pintu masuk. Kadang dukungan diberikan dengan kenekatan di luar batas dan membuat mereka digebuki atau diringkus petugas.
Pengorbanan rakyat ini timpang dengan yang dikerjakan Nurdin Halid dan pengurus PSSI tujuh tahun terakhir. Pada 1960 an, Indonesia masih berbicara di tingkat Asia, sekarang ini di Asia Tenggara pun Indonesia sudah empot empotan. Sejak 1996, Indonesia selalu tampil di putaran final Piala Asia, saat ini PSSI tersingkir pagi pagi.
Dulu tim pelajar Indonesia-yang ditangani Kementerian Pendidikan Nasional-selalu tampil bagus di tingkat Asia. Tapi, begitu PSSI yang membina tim usia muda, misalnya U 19 yang berlatih di Uruguay, prestasi malah merosot. Tim usia 23 tahun binaan PSSI juga rontok di SEA Games. Tentu keliru bila dibilang rakyat Indonesia tak mampu bermain sepak bola. Kita pernah punya Ramang, Witarsa, Djamiat, Iswadi, Yacob Sihasale, dan sederet bintang hebat.
PSSI tak punya semacam blueprint pembinaan tim nasional. Akibatnya, "kiblat" yang dianut berubah ubah. Dulu tim Primavera dan Bareti dikirim ke Italia dan Belanda. PSSI Garuda belajar ke Brasil. Sekarang tim U 19 belajar ke Uruguay. Di sejumlah daerah pernah ada diklat sepak bola, lalu pola pembinaan diubah lagi: pemain dikonsentrasikan bertahun tahun di satu lokasi. Semua serba coba coba alias trial and error. Hasilnya jelas jauh dari memuaskan.
Akibatnya, jangankan mengulang prestasi sebagai semifinalis Asian Games 1954 dan 1958 serta 1986, memimpikannya pun rasanya PSSI sudah tak sanggup. Untuk masuk Olimpiade-seperti prestasi pada 1956, dan menahan Uni Soviet 0 0 sebelum ditekuk di babak lanjutan-mungkin sama musykilnya dengan menerobos putaran final Piala Dunia. Pada 1968, Indonesia mampu mengalahkan Jepang 7 0. Saat ini Jepang sudah sekian tingkat di atas Indonesia. Negeri Matahari Terbit tercatat empat kali lolos ke putaran final Piala Dunia, termasuk di Afrika Selatan pada Juni mendatang. Indonesia ketinggalan kereta terlalu jauh.
Di kongres Malang pekan lalu, Nurdin Halid dan sekutunya seakan menolak dianggap gagal dan, karena itu, mati matian bertahan. Ini bukan pertama kali. Bahkan tiga tahun lalu, ketika menjalani hukuman penjara dua tahun lantaran kasus korupsi, pun Nurdin tak mau mundur. Jadi, buat apa terus berharap pada PSSI? Mulai sekarang, bila Anda pengusaha kaya dan cinta sepak bola, buatlah kompetisi sendiri. Bila Anda banyak uang dan punya anak berbakat besar, kirim segera ke Eropa. Sepak bola Indonesia tak akan mati tanpa PSSI. Lupakan PSSI-sementara ini atau selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo