ADA sebuah lelucon tentang Ayatullah Khomeini dan penyanyi
wanita. Lelucon ini beredar di Iran menjelang jatuhnya rezim
Pahlevi di tahun 1979.
Pada suatu hari, begitulah kata sahibul lelucon, Khomeini
ditanya siapakah gerangan penyanyi wanita yang paling ia
gemari. Jawab Khomeini kontan: Haideh. Kenapa Haideh? Jawab
Khomeini lagi "Ba regime mokhalef bud."
Kalimat itu mengandung makna ganda -- dan itulah inti lelucon
tersebut. Yang pertama, Ba regime mokbalef bud berarti, kurang
lebih, "Wanita itu menentang rezim." Yang kedua, kalimat itu
berarti, "Wanita itu menentang diet." Haideh memang seorang
penyanyi bertubuh gembrot, Ratmi B-29 versi Iran. Dan kata
regime (seperti asal-usulnya, bahasa Prancis) memang bisa
ditafsirkan sebagai "pemerintahan" tapi juga bisa diartikan
sebagai "pantang makan".
Meskipun bisa dibilang sedikit kurang ajar, lelucon itu pada
dasarnya tak untuk mencemooh sang Ayatullah. Tokoh-tokoh besar
selalu punya lelucon tentang diri mereka. Yang pasti, lelucon
tentang Khomeini dan Haideh adalah sebuah ilustrasi tentang
semangat waktu itu: militansi suatu penentangan.
KITA sudah sering diberitahu, bagaimana umat Islam Syi'ah punya
sejarah panjang dengan semangat penentangan. Mereka menganggap
diri mereka sebagai kaum yang diperlakukan tidak adil.
Bagi mereka, setelah Nabi wafat, kepemimpinan umat Islam
seharusnya jatuh ke Ali, menantu dan pengikutnya yang berhati
mulia.
Ali memang kemudian memimpin. Tapi sebagai khalifah ia hanya
pendek usia: ia dibunuh di Kufah, sebuah kota yang kini berada
di wilayah Irak. Putranya yang tertua, Hasan dikisahkan
meninggal diracun oleh Mu'awiyah, Gubernur Suriah, yang ingin
memonopoli kekuasaan. Mu'awiyah juga kemudian yang memungkiri
janji untuk mengangkat Hussain, putra Ali yang kedua, sebagai
khalifah. Ia malah menobatkan anaknya sendiri, Yazid, dan Yaid
ini pula yang kemudian dengan buas membinasakan Hussain di
padang pasir Karbala.
Dalam sebuah cerita Syi'ah, tragedi di Karbala itu bahkan sudah
diberitahukan Tuhan kepada Adam, ketika manusia pertama ini buat
pertama kalinya ke bumi. Sewaktu melintasi padang Karbala,
begitulah ceritanya, Adam tiba-tiba merasa dirundung sedih dan
kakinya mendadak luka. Adam bertanya kepada Tuhan kenapa dan
Tuhan menjawab. "Salah seorang keturunanmu kelak akan meninggal
di sini oleh ketidakadilan dan penindasan."
Apa yang dianggap ketidakadilan dan penindasan oleh kaum Syi'ah
dalam versi lain justru suatu awal perkembangan peradaban Islam
yang lebih kokoh. Tapi baiklah sejarah begitu luas dan
penafsiran begitu banyak. Yang pasti nampak dari riwayat kaum
Syi'ah ialah bahwa Islam sebagai ideologi pemersatu terkesan
hanya efektif semasa Nabi hidup. Sebaliknya kaum Sunni, yang
menghormati keempat khalifah secara sepadan, tentu punya kesan
yang lain.
Mana yang benar, bukan satu hal yang akan dipersoalkan di sini.
Perbedaan kaum Syi'ah dengan kaum Sunni dewasa ini juga mungkin
terlalu dibesar-besarkan -- seolah-olah politik dan perang di
Timur Tengah kini terutama bersumber dari soal itu.
Namun suatu paradoks bisa terjadi: Islam yang seruannya
universal justru menjadi sesuatu yang penuh energi bila
berbicara dalam aksen nasionalis.
Di masa dinasti Safawi di Iran, abad ke-16, misalnya, ketika
Syi'ah menjadi agama negara, kecenderungan nasionalisme begitu
rupa hingga mujtahid terbesar waktu itu, Majlisi, lebih banyak
memperhatikan soal ziarah ke tempat suci lokal daripada ziarah
ke pusat Islam sedunia -- Mekah.
***
TAK seluruhnya benar bahwa semangat revolusi Iran yang dipimpin
Khomeini kini hanyalah "nasionalisme Persi" seperti yang
dituduhkan Irak. Namun sonder gereget nasionalisme, baik dari
Iran maupun dari Irak, perang tak akan pecah.
Lalu bagaiman "persaudaraan Islam"? Persaudaraan Islam,
persaudaraan Kristen, persaudaraan sosialis -- alias
internasionalisme -- kini memang jadi ganjil rasanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini