Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sesudah Penembakan Kapal Arch

Status Sabang sebagai daerah & pelabuhan bebas tidak akan dicabut. Kasus penembakan kapal Singapura m.v Arch oleh kapal patroli ditjen bea cukai. Pihak bea cukai menganggap status Sabang diselewengkan.(nas)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Aceh Madjid Ibrahim tampak lega. Ditemui TEMPO di Medan sekembalinya dari Jakarta pekan lalu, Madjid dengan gembira berkata "Presiden sudah menegaskan, status Sabang sebagai pelabuhan bebas tidak akan dicabut dan akan jalan terus." Selain itu, lalu lintas kapal Sabang-Singapura akan dijamin keamanannya. Di Jakarta Madjid tidak hanya menemui Presiden. Ia juga berbicara dengan Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro selaku Ketua Dewan Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dan Mensesneg Sudharmono. Kepergian Madjid ke Jakarta agaknya merupakan buntut dari suatu sengketa terbesar selama ini antar kewenangan dan peraturan pelbagai aparat pemerintah. Pada 23 September dinihari lalu, kapal Singapura MV Arch yang sedang berllyal dari Singapura menuju Sabang dua kali ditembaki kapal patroli Ditjen Bea Cukai BC 3003. Menurut pihak Bea Cukai, Arch melarikan diri waktu diminta berhenti hingga tembakan peringatan terpaksa dilepaskan. Posisi kapal tersebut waktu itu di sekitar Pulau Karimun dan sudah memasuki perairan Indonesia. Merembes Keluar Lain lagi cerita pihak Singapura. Mcnurut nakoda Matsum Junadi, Arch waktu itu sedang berlayar di perairan Malaysia. Setelah terjadinya penembakan, ia memutar kemudi menuju Penang kemudian kembali ke Singapura. Insiden itu kabarnya sudah dilaporkan Atase Perdagangan Kedubes Singapura di Jakarta kepada Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Meskipun kapal itu tidak rusak, taukenya keberatan mengirim kapalnya ke Sabang lagi, sebelum ada jaminan keamanan dari pemerintah Indonesia. "Bukan hanya kapal Arch saja, siapa pun yang lewat di sini harus mentaati ketentuan. Kalau diperiksa ya harus mau," tegas Dirjen Bea Cukai Tahir pada TEMPO Senin lalu. "Kalau tidak bersalah, kenapa lari? Mengapa takut diperiksa?" tambahnya. Sikap Tahir ini rupanya dibenarkan oleh Pangkowilhan I. "Mereka memang diberi wewenang untuk itu," ujar Betjen Wijogo. Itu bisa terjadi kalau kapal yang memasuki perairan Indonesia itu setelah diberi eringatan malah melarikan diri. "Asal tembakan peringatan itu jangan kena," lanjutnya. Penembakan Arch rupanya menyulut api yang sudah ]ama membara. Banyak pihak di Aceh yang gusar. Gubernur Madjid Ibrahim misalnya, menganggap insiden itu "sebagai suatu indikasi adanya sementa.ra aparat yang mau menggagalkan status Sabang sebagai daerah dan pelabuha n bebas." Seorang anggota DPRD Acel juga menuduh adanya orang "yang dengan sengaja mau menyulut api di Aceh." Insiden Arch bukan yang pertama. Pada 8 Mei lalu kapal Accres yang biasa melayari Singapura-Sabang ditahan pihak Bea Cukai. Kedua kapal ini dimiliki Eastern Shipping & Trading Coy (Singapura). Di kapal ini ditemukan muatan yang tidak dicantumkan dalam manifes, antara lain mobil pikap Datsun, skuter Vespa, televisi berwarna dan video tape recorder dan kaset-kasetnya. Dirjen Bea Cukai Tahir waktu itu datang ke Belawan untuk menyaksikan pembongkaran tersebut. Sidang pengadilan mengadili para awak kapal itu telah dimulai di Medan 6 Oktober yang lalu. Sumber dari semua ini adalah status Sabang sebagai daerah bebas dan pelabuhan bebas yang ditetapkan berdasar UU no. 3 dan 4 tahun 1970. Berdasar UU ini pengangkutan barang-barang luar negeri ke dan dari Sabang bebas dari semua peraturan impor dan ekspol yang berlaku. Pihak Bea Cukai rupanya menganggap status Sabang ini diselewengkan. Barang dari luar negeri yang dengan bebas masuk ke Sabang kemudian diketahui "merembes" keluar lewat Aceh tanpa membayar cukai -- hingga bisa diang gap penyelundupan. "Semua orang tahu, barang yang keluar dari Sabang itu tidak benar. Apakah itu akan terus dibiarkan?" kata Tahir. Diakui, Bea Cukai tidak bisa masuk ke Sabang untuk ikut mengawasi pemasukan barang dari luar negeri secara langsung. Berdasar UU, Sabang dikelola oleh Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang (KP4 BS) yang dipimpin oleh Administrator Pelabuhan (Adpel) Sabang. Menurut Tahir, 2 tahun yang lalu ia pernah menghimbau KP4BS agar membenahi pengawasan barang yang keluar dari Sabang. Adpel Ibrahim Abdullah maupun Sekretaris Ramli Ridwan menyanggupinya."Ternyata cuma kesanggupan saja," ujar Tahir. Karena itu Bea Cuki memandang perlu untuk mengambii tindakan. Caranya: menghentikan kapal yang menghubungkan Sabang dengan Singapura. Kapal ini rata-rata 4 atau 5 kali dalam sebulan mengangkut barang ke Sabang. Setelah Accres ditahan, Arch meneruskan tugasnya. Hingga terjadilah insiden penembakan pada Arch. Sikap Bea Cukai rupanya segaris dengan pihak Laksusda Aceh, yang sejak Juli lalu melancarkan Operasi Jaring. Tujuannya: menyetop penyelundupan. Salah satu sasarannya ialah Sabang yang dianggap sebagai sarang penyelundupan. Namun pihak pemerintah daerah Aceh berpandangan lain. "Sabang bukan saja kebanggaan rakyat Aceh, tapi juga kebanggaan rakyat Indonesia -- karena satu-satunya pelabuhan bebas yang ada sekarang ini adalah Sabang," kata Gubernur Madjid Ibrahim. Kebanggaan itu rupanya tersengat oleh tindakan-tindakan pihak Laksusda Aceh dan Bea Cukai. KP4BS sendiri punya alasan mengap3 Sabang harus membuka kran impor: sejak Sabang disahkan sebagai daerah dan pelabuhan bebas, tidak ada bantuan dana dari pemerintah pusat. "KP4BS harus berdikari. Karena itu pintu impor barang terpaksa dibuka. Itupun terbatas," ujar Ramli Ridwan, Sekretaris Adpel dan KP4BS. Menurut Ramli, impor ke Sabang hanya berkisar sekitar 400 ton sebulan dari Singapura. Berdasar wewenangnya, Adpel Sabang mengutip pungutan jasa 2% dari barang impor tersebut, sedang dari minuman keras dan rokok dipungut retribusi 3%. Dari pungutan itu, tahun lalu Adpel/KP4BS berhasil mengaut Rp 350 juta. Dengan itu Adpel membayar 60 pegawai lokal dan menutupi biaya rutin per bulan Rp 25 juta. "Laporan keuangan tiap bulan kami kirim ke Dewan di Jakarta," kata Ramli. Ramli, 38 tahun, pada 27 September lalu ditahan oleh Opstibda Aceh untuk diminta keterangannya mengenai "hilangnya" uang Rp 271 juta yang disimpan di BNI 1946. Uang itu milik 80 pedagang yang membuka usaha di Sabang dan menyerahkannya pada KP4BS sebagai jaminan impor mereka. Kabarnya uang ini sudah digunakan PT Pembangunan Pulau Weh yang dimiliki Badan Penguasaan Pelabuhan Sabang. Dibentuk pada 1972, PT ini konon digunakan untuk mencari biaya membangun Sabang. Usahanya antara lain perdagangan cengkih, sebagai penyalur barang-barang impor eks Sabang dan juga memiliki pabrik karet bongkah. Penahanan Ramli cukup menimbulkan heboh. Antara lain disebabkan karena Ramli juga menjabat sebagai Ketua DPD Golkar di Sabang. Hingga ada dugaan masalah ini telah dipolitikkan. Pemda Aceh dan DPD Golkar Aceh sempat meminta agar Ramli diberi status tahanan luar. Namun seorang pejabat di Kodam I/Iskandar Muda membantah keras bahwa Ramli ditahan. "Dia hanya dimintai keterangan," ujarnya. Karena pemeriksaan dilakukan Opstibda di Banda Aceh, Ramli yang tinggal di Sabang disarankan tinggal di Banda Aceh sampai pemeriksaan selesai. Dugaan Pemda Aceh bahwa ada yang mencoba mengutik-utik status Sabang sebagai daerah dan pelabuhan bebas ternyata tidak berdasar. Pangkowilhan I Letjen Wijogo misalnya menegaskan, langkah penertiban yang dilakukan Opstibda Aceh di Sabang tak akan mematikan status hehas pelabuhan itu. Pangdam I Brigjen R.A Saleh sependapat. "Selama undang-undangnya belum dicabut, sebagai aparat pemerintah pelabuhan bebas Sabang harus saya amankan," ujarnya. "Yang penting, bentuk Sabang sebagai pelabuhan bebas harus dijaga," tambahnya. Maksudnya, jangan sampai nama Sabang "tercemar". Dirjen Bea Cuki Tahir juga tidak mempermasalahkan jstatus Sabang. "Bea Cukai juga bertuga melindungi pembangunan," katanya. Yang diinginkannya adalah agar bisa bekerjasama untuk menertibkan pemungutan retribusi atas barang yang keluar dari Sabang. Perebutan Rezeki Yang selama ini dituding sebagai biang kerok adalah tidak adanya peraturan pelaksanaan dari UU no. 3 dan 4 tahun 1970 ini. Akibatnya timbul berbagai penafsiran yang kemudian mengakibatkan bentrokan. Misalnya ada yang menganggap kapal asing berbobot 1000 ton ke bawah yanglnenuju Sabang tidak terkena Surat Keputusan Bersama (SKEP) Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan yang mengharuskannya mengisi manifest. Sebabnya: status Sabang yang bebas berarti berada di luar daerah pabean Indonesia. Namun pihak lain, termasuk Bea Cukai, menganggap SKEP itu berlaku juga untuk Sabang. Dewan Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang diketuai Menteri Ekuin Widjojo juga kurang berfungsi. Namun setelah kasus Accres dan Arch, tampaknya beberapa kekurangan ini akan diperbaiki. Menurut Gubernur Madjid, suatu Keputusan Presiden yang berisi peraturan pelaksanaan diharapkan akan keluar Oktober ini. Dalam Kepres ini Dewan yang mengelola daerah dan pelabuhan bebas akan diperbaiki dan Gubernur setempat akan diikutsertakan dalam Dewan. Lalu lintas dari dan ke pelabuhan bebas juga akan diatur untuk menghindari tabrakan antara sesama aparat. Menurut seorang anggota DPR dari daerah Aceh, berbagai kasus yang belakangan ini terjadi di Sabang, sebetulnya disebabkan karena "perebutan rezeki". Namun menurut dia, status pelabuhan bebas Sabang perlu tetap dipertahznkan. "Yang perlu ditindak cuma pelaku yang menyeleweng," katanya. Ia setuju dengan pendapat "Untuk membunuh tikus, tidak perlu membakar rumahnya." Karantina Selama ini tampaknya perhatian terhadap status Sabang sebagai daerah dan pelabuhan bebas lebih ditujukan pada impor barangnya yang bebas. Sedang tujuan dan fungsinya seperti disebut UU no. 3 dan 4 tahun 1970 -- jauh lebih luas. Misalnya untuk penyediaan barang konsumsi, peningkatan mutu, pengolahan, pengepakan serta menumbuhkan dan memperkembangkan industri. Sejauh mana hal ini telah tercapai? "Baru sebagian kecil," kata seorang pengusaha. Sebabnya: banyak pengusaha asing yang menganggap status Sabang sebagai pelabuhan bebas belum 100% aman. Di Sabang saat ini baru ada industri pengawetan ikan tuna dengan kapasitas 900 ton. Industri kayu terpadu dan industri pemrosesan rotan masih dalam taraf persiapan. Demikian juga sedang dirintis pembangunan suatu galangan kapal. Yang tampaknya akan segera dilaksanakan adalah: akan dimanfaatkannya Sabang sebagai tempat karantina merangkap tempat penggemukan ternak impor. Ini merupakan kepwtusan Presiden. Dalam waktu dekat ini suatu tim dari Jakarta akan mengunjungi Sabang untuk melakukan penelitian tanah. "Presiden memilih Sabang sebagai tempat karantina karena daerahnya memungkinkan," cerita seorang pejabat penting Aceh. Impor barang lewat Sabang pekan lalu sudah pulih lagi. Menurut Pangkowilhan I, pekan lalu kapal Arch sudah kembali membongkar muatan di Sabang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus