Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU pujian lagi untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Pujian yang pantas karena komisi itu kembali membongkar suap dalam kasus Abdullah Putehmengulangi sukses pengungkapan kasus "Mulyana W. Kusumah". Yang lebih penting, Komisi berhasil merontokkan sebuah mitos bahwa praktek suap-menyuap sulit dilacak apalagi diungkapkan. Kejahatan itu dianggap akan terus "abadi", bagai kanker stadium ganas yang tak terobati. Tak hanya bisa mengendus, anggota Komisi juga berhasil menjebak dan menangkap pelaku di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Penyuapan yang terjadi diduga bertalian dengan kasus korupsi Abdullah Puteh, gubernur non-aktif Nanggroe Aceh Darussalam. Ia telah divonis hukuman 10 tahun penjara, lalu naik banding dengan harapan putusan berubah. Sehari sebelum pengumuman vonis banding itulahyang tetap menghukum Puteh 10 tahunpengacara terdakwa, Teuku Syaifuddin Popon, tertangkap basah. Dia kepergok menyerahkan tas berisi duit Rp 250 juta kepada Ramadhan Rizal, Wakil Panitera Kepala Pengadilan Tinggi Jakarta.
Keberhasilan KPK membongkar dua kasus penyuapan bisa dijadikan momentum baru untuk membasmi suap dan korupsipraktek hina yang sudah berurat berakar di pengadilan. Segala urusan, mulai dari pelanggaran lalu lintas, pengemplangan pajak, penyelundupan, sampai kasus korupsi, sudah lazim diselesaikan dengan suap. Praktek suap bukan hanya menyuburkan korupsi yang menyedot ratusan triliunan uang negara, tapi juga membikin bobrok mental pejabat, pegawai, dan penegak hukum.
Daya rusak suap terhadap penegak hukum seperti hakim sungguh luar biasa. Masyarakat seakan sudah pasrah saja dengan banyaknya putusan hakim yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Ada ungkapan pesimistis, kalau kita melarat dan harus beperkara di pengadilan, itulah "siksa" dunia yang pedih. Sebaliknya, para koruptor selalu bisa menghindari terali besi, atau menjadikan bui "tempat kontrakan" yang nyaman. Itu sebabnya Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi memberikan ancaman hukuman setimpal dalam kasus penyuapan hakim. Si penyuap dan yang disuap bisa dihukum selama 15 tahun penjarahukuman ini 10 tahun lebih berat daripada ancaman hukuman dalam kasus penyuapan pegawai atau pejabat.
Kita harapkan kasus ini menggelinding jauh seperti perkara suap Mulyana yang akhirnya bisa membongkar korupsi di KPU. Mestinya kasus Puteh bisa pula menyingkap perilaku buruk penegak hukum di Pengadilan Tinggi Jakarta. KPK hanya perlu selangkah lagi, karena sudah muncul indikasi ada seorang hakim yang diduga terlibat dalam transaksi perkara itu.
Dua kasus suap yang ditangani KPK jelas hanya "sekuku hitam" bila dibandingkan dengan meruahnya praktek suap di negeri ini. Karena itu langkah KPK ini mesti disokong, kalau perlu dijadikan awal bergulirnya perang terhadap suap dan sogok. Dengan teknologi sms, dan niat baik, rasanya informasi terjadinya praktek busuk ini bisa disampaikan dengan cepat kepada KPK.
Senjata untuk memerangi korupsi, termasuk suap, telah lengkap, yaitu UU Antikorupsi, pengadilan ad hoc kasus korupsi, dan KPK yang memiliki kewenangan luar biasa. KPK bisa melakukan penyadapan dan memeriksa rekening di bank, terhadap orang yang dicurigai terlibat penyuapan.
Kalau ada perangkat hukum yang perlu ditambahkan, itu mungkin undang-undang perlindungan saksi. Anggota masyarakat yang melaporkan atau membongkar penyuapan bukan saja dilindungi, tapi diberi penghargaan setimpal. Sebelum undang-undang itu lahir, masyarakat bisa menjadi "informan" bagi KPK. Kalau perang tak dilakukan seka rang, apa mesti menunggu para hakim kita jatuh ke tangan mafia peradilan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo