Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tentang Nama yang Hilang

Seorang mahasiswi program doktor filsafat di Universitas Indonesia terancam drop out karena lalai. Harapan terakhir ada di tangan rektor.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Tentang Nama yang Hilang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hati Adrian Venny sedang gundah gulana. Ibu satu anak itu resah memikirkan nasib masa depan kuliah program doktornya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dia terancam didepak alias drop out dari kampus karena melanggar aturan administrasi.

Gara-garanya, Venny, yang mengambil program S-3 Filsafat, cuti selama empat semester dan alpa melakukan daftar ulang. Padahal, kewajiban daftar ulang bagi mahasiswa yang cuti tertulis jelas dalam buku peraturan yang dibagikan kepada para mahasiswa. ”Saya tidak membaca buku itu. Jadi, saya sama sekali tidak tahu aturan itu,” kata Venny.

Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan itu mengatakan, cuti panjang yang diambilnya pun bukan tanpa alasan. Venny terpaksa mengambil cuti karena hamil, dan proses kehamilannya tak berjalan mulus. Dokter menyarankan agar ia banyak beristirahat karena kondisi janin dalam rahimnya kurang sehat.

Surat cuti pun dikirim ke kampusnya pada Januari 2003. Salahnya Venny, ia tak melakukan daftar ulang. Setelah melahirkan pada Juni 2003, kondisi kesehatannya tak segera pulih. Malah bayinya mengalami sakit kuning. Alhasil, ia harus bolak-balik ke rumah sakit. Tak pelak lagi, kuliahnya terbengkalai, begitu pula kewajiban melakukan daftar ulang.

Memasuki Desember tahun lalu, perempuan asal Semarang ini mendapat teguran dari Ketua Departemen Filsafat Dr Ahyar Lubis. Ia disarankan membereskan persoalan administrasi. Namun, ketika perempuan yang menyelesaikan S-1-nya di Universitas Parahyangan Bandung itu mengurus administrasi, ternyata namanya sudah terhapus dari sistem komputer universitas.

Venny jelas sangat terkejut dan langsung menanyakannya kepada pihak Fakultas. Keterangan yang ia peroleh bagai petir di siang bolong: jika mahasiswa selama dua semester berturut-turut tak melakukan daftar ulang, ia dianggap mengundurkan diri.

Tak puas dengan jawaban itu, Venny menghubungi beberapa pejabat di Fakultas Ilmu Budaya. Salah seorang pejabat menyarankan agar ia kembali mendaftar sebagai mahasiswa baru. Tentu saja Venny menolak, karena Program S-3 Jurusan Filsafat tidak dibuka lagi.

Kesal lantaran selama enam bulan urusan administrasi tak jua kelar, jiwa aktivisnya muncul. Pada 3 Juni lalu, Venny melakukan aksi mogok makan di kampusnya. Dua temannya, Baby Ahnan dan Rhyda Aida, ikut melakukan aksi serupa sebagai bentuk solidaritas.

Aksi yang menyedot perhatian media massa Ibu Kota itu hanya berlangsung dua hari. Sabtu malam pukul 20.00, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Ida Sundari Husein memanggil Venny. ”Saya meminta dia menghentikan aksi itu. Dia kan seorang ibu dan punya anak,” katanya.

Selanjutnya Ida menyarankan Venny mengajukan permohonan untuk bisa kuliah lagi kepada rektor. Sebab, pihak Fakultas tak bisa mengubah aturan yang tertuang dalam Surat Keputusan Rektor tentang registrasi.

Tanpa membuang waktu, Seninnya Venny mengirim surat permohonan yang diminta. Rektor Universitas Indonesia Usman Chatib Warsa mengaku sudah menerima surat tersebut. ”Kami sedang mempelajari kasusnya dan belum mengambil keputusan,” ujar Chatib yang baru pulang dari kunjungan ke Rusia.

Bagaimana peluangnya? Juru bicara Universitas Indonesia Henny Widyaningsih menyatakan, aturan dalam Surat Keputusan Rektor sebetulnya sudah jelas, tapi dengan adanya surat permohonan dari Venny, pihak Rektorat masih membuka pintu untuk melakukan pembahasan. ”Hasilnya diharapkan keluar secepatnya. Paling lama pekan depan,” katanya.

Venny sendiri masih menyimpan harapan bisa menyelesaikan program doktornya. Dia tak ingin cita-citanya terganjal hanya karena persoalan administrasi. ”Hukum saja aku seberat-beratnya, denda pun aku sanggup membayarnya, tapi tolong jangan depak saya,” ujarnya.

Menghadapi kasus pelanggaran administrasi seperti ini, pengamat pendidikan Arif Rachman menyarankan pihak universitas tetap menegakkan aturan. Tujuannya agar mahasiswa tak menganggap peraturan mudah ditawar-tawar.

Namun, menurut Arif, memang perlu ada pengecualian bagi mahasiswa program S-3 dan S-2. Soalnya, kita masih kekurangan ahli di level itu, sementara mahasiswa pada jenjang tersebut kadang-kadang harus berjuang memenuhi kebutuhan keluarga dan kuliahnya.

Arif berkata bijak, ”Kalau dia bersalah, beri sanksi yang tidak membuat dia harus terhenti kuliahnya. Tapi calon doktor juga harus menghormati aturan.”

Eni Saeni, Sita Planasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus