KASUS Prof. Ismail Sunny adalah kasus yang menarik untuk
menunjuk hubungan di antara maksud, akibat dan kenyataan.
Guru-besar itu konon pernah berkata dalam suatu diskusi di IKIP
Rawamangun Jakarta tanggal 27 Desember 1977, bahwa ada 2 orang
jenderal berindikasi PKI yang diangkat oleh pemerintah, dan
bahwa ada pejabat Indonesia yang mempunyai simpanan sebesar Rp
140 milyar. Ismail Sunny diminta membuktikan kebenaran ucapannya
dalam jangka-waktu 3 x 24 jam. Konon dia tak dapat memenuhi
ketentuan tersebut, dan itu pula sebabnya dia ditahan. Alasan
penahanan: memfitnah dan menghasut.
Pertanyaan yang timbul adalah apa atau siapakah yang sebetulnya
menghasut? Apakah tindakan Ismail Sunny menyampaikan "berita"
tersebut, itulah yang dianggap menghasut, ataukah bahwa kalaulah
benar ada pejabat yang mempunyai simpanan sebesar Rp 140 milyar,
maka kenyataan itu sendiri sudah cukup bersifat menghasut?
Dengan lain perkataan dapatlah ditanyakan hal mana yang
sebetulnya lebih bersifat provokatip. Entah pemberitaan tersebut
adalah pemberitaan yang bersifat menghasut (untuk sementara
janganlah dipersoalkan benar tidaknya berita tersebut) ataukah
entah faktum bahwa ada pejabat mempunyai duit Rp 140 milyar di
Indonesia (di sini diandaikan bahwa berita itu adalah faktum)
adalah suatu faktum yang bisa menghasut?
***
Dalam beberapa aliran filsafat etika mutakhir ini, mulai
dipersoalkan lagi apa yang dinamakan the nornative power of
data, yaitu kekuatan normatip data. Umumnya kita percaya begitu
saja bahwa data hanya bersifat indikatip: menunjuk dan
barangkali jua menerangkan suatu keadaan. Data dianggap tidak
bersifat norrmatip: tidak mengisyaratkan suatu pedoman bagaimana
mestinya orang atau masyarakat seharusnya berlaku.
Akan tetapi kekuatan data bisa bersifat memaksa kadang-kadang
atau sering. Berarti, data dapat mengarahkan orang kepada sikap
bahwa keadaan sebagaimana ditunjuk oleh data tersebut, adalah
keadaan yang karena nyatanya demikian. Menurut teori ini, kalau
terbanyak atau sebahagian terbesar orang ternyata tidak jujur,
dan korupsi juga berlaku di mana-mana, maka mengapakah kita
masih harus percaya bahwa manusia pada dasarnya baik dan jujur -
sebagaimana diakui oleh Anne Frank dalam Diary-nya yang
termashur?
Kalau di sebuah kampung, 90o penghuninya adalah maling, Inaka
norma mengenai hak-milik menjadi tidak lagi relevan. Kalau 90%
penduduk kampung tersebut menjalankan praktek mencuri, maka
mencuri bukan lagi penyelewengan, melainkan adalah sifat atau
"kodrat" penduduk kampung tersebut. Realitas telah berubah dan
menjelma menjadi norma.
***
Dalam analogi dengan teori itu, marilah kita berbicara tentang,
sebutlah, the provocative power of facts, yaitu kekuatan
menghasut dari fakta yang ada. Tanpa dimaksud, tanpa
direncanakan. barangkali juga tanpa disadari, sebuah tindakan
yang pada dasarnya netral, dalam konteks sosial tertentu dapat
berubah menjadi provokatip. Kalau di rumah sini ada kematian
anak tunggal, dan di rumah sana orang ramai-ramai dengan musik
hard rock sambil minum mabok, maka tindakan terakhir ini yang
sehari-harinya mungkin hanya dianggap aneh. dapat menjadi
provokatip dalam perasaan keluarga yang dirundung kematian.
Untuk mengambil contoh yang lebih berlingkup nasional, kalau
berita mengenai penduduk Karawang makan encenggondok masih
terngiang di telinga kita, dan sementara itu pesta pora
tengah-malam tahun baru di hotel-hotel besar Jakarta
menghabiskan biaya Rp 35.000 per kapita per noctem, apakah
kontras itu mustahil menjadi provokatip? Para pemegang
karcis-masuk HI, Sahid, atau Borobudur, niscaya hanya ingin
melepas-pergi tahun 1977, dengan santai, tenang, lega dan
berlupa. Masak mau bikin provokasi di malam sesahdu itu!
Tetapi itulah! Dalam konteks sosial tertentu, dalam hubungan dan
kaitan dengan kenyataan masyarakat lainnya. sebuah tindakan
netral dapat menimbulkan akibat yang bersifat provokatip, banyak
atau sedikit.
***
Penahanan Ismail Sunny karena dituduh menghasut, menunjukkan
betapa besar sikap peka dan waspada terhadap tindakan atau
ucapan yang dianggap bermaksud menghasut. Provokasi politik
dihadapi dengan serius. Menjadi pertanyaan, apakh ada kepekaan
yang sama tingginya terhadap tindakan yang dapat berakibat
menghasut? Provokasi sosiai tampaknya tak pernah mengejutkan
kesadaran kita.
Bila hasutan adalah power yang berbahaya, maka sepatutnyalah
dari mana pun ia bersumber - politik, sosial-ekonomi atau agama
- dia harus dihadapi dengan hati dan kebijaksanaan yang sama
cerdas dan sama waspada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini