Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSEKUSI terhadap pengguna media sosial yang dituding menista agama dan ulama membuktikan tak semua orang menikmati kebebasan berekspresi. Setiap warga negara Indonesia semestinya bebas menyampaikan pendapat. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Setiap orang juga berhak menyampaikan informasi lewat segala jenis saluran.
Belakangan ini, Muslim Cyber Army dan beberapa kelompok lain memburu, mengintimidasi, dan mengancam orang yang mengunggah status tentang Rizieq Syihab, pemimpin Front Pembela Islam yang tersandung perkara mesum. Bulan lalu, sekelompok orang mendatangi dokter Fiera Lovita di tempat kerjanya, Rumah Sakit Umum Daerah Solok, Sumatera Barat. Mereka mendesak Fiera mencabut statusnya di Facebook, yang antara lain mempertanyakan kepergian Rizieq ke luar negeri.
Nasib serupa menimpa pengusaha biro perjalanan di Tangerang, Indrie Sorayya, yang menulis status tentang Rizieq di Facebook. Sekelompok orang mendatanginya, lalu menggiringnya ke markas Kepolisian Resor Kota Tangerang. Seorang remaja perempuan di Banyuwangi, Afi Nihaya Faradisa, bahkan mendapat ancaman pembunuhan setelah tulisannya tentang toleransi dan kebinekaan viral di media sosial.
Teror kepada orang yang kritis terhadap ulama pun ditebar melalui akun "Database Buronan Umat Islam" di Facebook. Akun ini menampilkan sejumlah ujaran kebencian bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) beserta foto-foto pengguna Facebook yang kritis terhadap intoleransi. Data yang meresahkan para netizen ini sudah diblokir oleh Facebook, tapi tak ada jaminan aksi persekusi bakal berhenti.
Persekusi sudah mengkhawatirkan. Southeast Asia Freedom of Expression Network(SafeNet), jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara, bahkan mencatat tindakan itu telah merata di seluruh Indonesia. Persekusi dilakukan dalam beberapa tahap, dari mencari orang-orang yang menghina agama atau ulama hingga menggiring massa dan memburu target. SafeNet mencatat persekusi dialami oleh 56 pengguna media sosial sejak Januari lalu.
Polisi, yang menjadi saksi tindakan main hakim sendiri itu, tak seharusnya membiarkan Muslim Cyber Army dan kelompok lain menegakkan "pengadilan jalanan". Polisi sudah saatnya bertindak karena perbuatan itu telah meresahkan masyarakat. Kelompok masyarakat tak berhak melakukan persekusi dengan dalih apa pun. Penertiban ujaran kebencian di media sosial harus dilakukan petugas berwenang, bukan oleh massa.
Pendukung Rizieq dapat mengadu ke polisi bila tak terima dengan status yang dianggap mencemarkan. Sebaiknya pendapat dibalas dengan pendapat, bukan dengan intimidasi, ancaman, atau laporan ke polisi, karena perbedaan pendapat wajar dalam demokrasi. Hasutan dari pasukan cyber dan kelompok pendukungnya dapat menyebabkan proses penegakan hukum berdasarkan tekanan massa atau mobokrasi dan mengesampingkan asas praduga tak bersalah. Bila dibiarkan, persekusi akan menghambat kebebasan berekspresi.
Kasus persekusi juga menjadi bukti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat mengancam kebebasan berpendapat. Pasal 27 ayat 3 undang-undang tersebut kerap dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menjerat orang lain dengan dalih mencemarkan nama baik seseorang di dunia maya. Pasal karet ini juga dapat membuat orang menjadi jera menyampaikan pendapat. Seseorang tak boleh dihukum hanya karena menggunakan haknya berpendapat di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo