Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Petral Bubar, Mafia Minyak?

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTAMINA mencatat sejarah baru pekan lalu: membubarkan Pertamina Energy Trading Limited (Petral) dan semua anak usahanya. Tapi tak ada alasan berhenti di sini. Anak usaha Pertamina itu sudah terlalu lama diduga bergelimang "uang panas" komisi jual-beli minyak. Direktur utama baru Pertamina, Dwi Soetjipto, mengungkapkan dahsyatnya pemborosan Petral. Hanya tiga bulan setelah Pertamina mengambil alih tugas Petral, perusahaan minyak pelat merah itu meraup laba US$ 20 juta atau sekitar Rp 260 miliar. Itu sebabnya ketidakefisienan bertahun-tahun ini, yang sulit disebut sebagai kebetulan semata, wajib dibongkar sampai akar-akarnya.

Mungkin saja inefisiensi itu sudah terjadi sejak awal, manakala Pertamina membentuk Perta Oil Marketing Corporation Ltd yang berbasis di Hong Kong dan California, pada 1969, untuk menjual minyak Indonesia ke Amerika Serikat. Di masa kekuasaan Orde Baru yang otoriter, tentu tak ada yang berani "mengusik" sepak terjang Petral Group-perusahaan gabungan Perta Oil dengan perusahaan Amerika. Begitu pula ketika perusahaan joint venture ini mendirikan Pertamina Energy Services Ltd (PES) di Singapura untuk berdagang minyak mentah, produk minyak, dan petrokimia. Sejak 2001, ketika PES ditugasi mengimpor crude oil dan bahan bakar minyak lantaran produksi minyak Indonesia tak cukup menutupi kebutuhan dalam negeri, isu "meriahnya" komisi dan fee sudah ramai terdengar walau belum ada yang mengusutnya.

Monopoli Petral melalui PES pantas dicurigai menjadi sumber bagi mafia minyak untuk menyedot rente. Selingkuh itu bisa berlangsung "aman tenteram" tentu lantaran kongkalikong manajemen Petral dengan pejabat pemerintah dan para penguasa politik Indonesia. Begitu kuatnya "tangan" yang mempertahankan Petral itu sampai-sampai Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno-kakak Rini Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara saat ini-pada 2008 terpental lantaran membekukan Petral dan menggantinya dengan divisi Integrated Supply Chain (ISC). Alih fungsi berlangsung sejenak, Ari terdepak, Petral hidup kembali.

"Kedigdayaan" Petral membuat perusahaan itu terus melaju pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rencana Menteri BUMN Dahlan Iskan membubarkan Petral tidak kesampaian. Padahal Dahlan-yang sudah mondar-mandir ke Istana untuk melapor-mendapat banyak aduan soal praktek bagi-bagi komisi kepada orang-orang tertentu dari setiap barel minyak mentah yang diperjualbelikan Petral. Niat Dahlan mentok di meja bosnya? Wallahualam bissawab. Hanya, pekan lalu bos Dahlan, mantan presiden Yudhoyono, membantah telah menjadi "pelindung" Petral.

Setelah Petral bubar, bisa saja jual-beli crude oil dan produk minyak lain dikelola divisi ISC. Tapi Pertamina perlu hati-hati. ISC tak serta-merta menjamin lelang minyak bebas mafia. Kejadian pembelian crude cocktail Zatapi pada 2008 perlu diingat. Ketika itu, Ari Soemarno duduk sebagai Direktur Utama Pertamina dan Sudirman Said (kini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) penasihatnya. ISC sudah digagas. Ternyata, investigasi majalah ini masih menemukan banyak kejanggalan dalam lelang. Pertamina ditengarai rugi sekitar US$ 6,5 juta. Buntutnya, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia sempat menetapkan empat tersangka, baik dari Pertamina maupun pihak pemenang tender, Gold Manor International Ltd, milik pengusaha Riza Chalid. Namun kasus tersebut kemudian menguap.

Hanya keledai yang dua kali masuk kubangan yang sama. Pembubaran Petral dan anak usahanya mesti dibarengi pembenahan menyeluruh atas sistem jual-beli minyak Pertamina. Ini tanggung jawab Pertamina, Kementerian BUMN, dan Kementerian ESDM. Ketiga lembaga ini mesti punya pandangan sama: yang terpenting bukan hanya pembubaran Petral, melainkan membuat jual-beli minyak mentah menjadi transparan, efisien, terbuka untuk diaudit kapan saja.

Selanjutnya, Pertamina wajib menutup semua peluang bagi para pencari rente. Cara paling mudah adalah membeli minyak mentah tanpa perantara. Sebagai pembeli besar yang setiap hari berbelanja 500-600 ribu barel crude oil, seharusnya Pertamina bisa berhubungan langsung dengan pemilik pertama. Tujuannya jelas, selain didapatkan harga lebih murah, pintu bagi pencari rente praktis tertutup.

Masyarakat tentu menunggu realisasi janji Pertamina untuk mengaudit Petral dan anak usahanya sebelum dilikuidasi tahun depan. Pemerintah melalui Kementerian BUMN dan ESDM perlu memastikan janji itu bukan basa-basi belaka. Audit forensik diharapkan mengungkap semua persekongkolan buruk yang menggerogoti Pertamina dan merugikan negara triliunan rupiah selama ini. Pemerintah Joko Widodo tak perlu ragu menyeret "pemulung" rente itu, setinggi apa pun pangkat dan jabatannya di masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus