KENAPA kau menolak komunisme? Di hari-hari ini, pertanyaan itu bisa dijawab dengan lancar dan mudah dan aman. Tapi 20 tahun yang lalu - menjelang tahun 1965 perkaranya sangat berbeda. PKI masih kuat. Hampir tiap pejabat dan birokrat dan politikus dan wartawan dan apa yang-disebut cendekiawan sedapat mungkin tak mempersoal-kan "kenapa menolak komunisme". Terutama di depan lebih dari tiga orang. Mereka takut. Tapi takut hanyalah sebagian dari penjelasan. Selebihnya, bukan cuma ketakutan itu yang pokok. Yang pokok adalah kesibukan menghafal kaji yang lain, kaji "Revolusi". Ada yang benar-benar terpesona, dan mencemooh siapa saja yang dianggapnya tak memahaminya. Ada yang memang persis seperti mesin penggiling kopi: tak berpikir sendiri, hanya menggerus dan memperhalus Ide-ide yang dituangkan ke kepala. Dan kepala itu 90% kosong. Saya ingat akan Amir, misalnya. Saya kira dia termasuk jenis mesin giling itu. Ia bukan orang PKI. Tapi bila PKI mengganyang Malaysia, ia ikut mengganyang Malaysia. Bila PKI mengganyang "Manikebu", ia ikut mengganyang "Manikebu". Bila PKI menghantam BPS, ia juga akur. Kini, 1985, ketika 20 tahun sudah PKI terkutuk, Amir tentu tak seperti dulu. Ia kini bisa bicara panjang tentang bahaya komunis, bagaimana Pancasila harus diamankan dan "awas isu-isu". Ia kini bisa mencoba menyidik, apakah saya ini misalnya tahu perlunya kewaspadaan terhadap ideologi ekstrem kiri. Dan Amir, sungguh menakjubkan, kini bahkan bisa mencurigai teman saya Arifin. Alasannya: Arifin pernah bicara soal perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Amir memang tak seperti dulu lagi. Tapi toh saya merasa bahwa ia pada dasarnya tidak berubah. Saya teringat hari itu, mungkin bulan Juli 1965. Kami berdua berjalan di Jalan Kramat, lewat di depan kantor pusat Partai Komunis Indonesia. Di atas gedung yang sedang diperbesar itu terpasang sebuah lambang yang menjulang: palu dan sabit. Ada spanduk-spanduk merah bertuliskan sesuatu, saya lupa tentang apa. Tapi saya tak lupa bahwa saya bertanya kepada Amir, satu pertanyaan yang sering mengusik kepala saya: "Jika PKI nanti menang, apa kira-kira yang akan terjadi?" Amir jalan terus dan tertawa. "Satu hal pasti: orang yang kontra revolusioner pasti akan dibabat. Macam kau ini." Saya terdiam. Harus saya akui bahwa prospek seperti itu memang menakutkan dan, 20 tahun yang lalu itu, hal itu tak tampak mustahil. Tapi kemudian saya cuma senyum (mungkin masam), sambil balik bertanya, "Dan orang macam kau bagaimana?" Wajah Amir serius. "Aku lain dari kau, Bung. Aku berada dalam barisan Manipolis. Kau tidak. Kau terus-terusan tak bisa membedakan antara kawan dan lawan. Itu subversif, Bung. Kau menderita komunistofobi. Kau harus tahu itu." Bekas-bekas senyum pun hilang dari tampang saya. Saya tahu, Amir tengah mengusut - dan sekaligus menghakimi - saya. Ia menodong saya dengan pengertian-pengertian ampuh: sederet kata yang dikutip dari sabda suci Revolusi, yang menyebabkan banyak orang tak berkutik untuk berpikir sendiri lagi. Dan itulah memang tanda pertama sukses komunisme: kemampuan menyihir pikiran, menghipnosenya, dan membatasi geraknya dalam kongkongan kategori-kategori: ada kawan dan ada lawan, ada revolusi dan ada kontra-revolusi, dst., dst. Beberapa tahun kemudian, saya membaca sebuah memoar Nadezhda Mandelstam, janda Osip Mandelstam, penyair masa revolusi Rusia yang kemudian - seperti banyak kaum ineeligentzia lain - ditangkap, dibuang dan mati oleh Stalin. Nadezhda melukiskan apa yang terjadi di masa itu di Uni Soviet, sesuatu yang secara mirip terjadi juga di Indonesia menjelang 1965: kata "Revolusi" itulah yang membikin seantero bangsa tunduk, takluk patuh, "hingga mengherankan bahwa para penguasa kami masih juga perlu penjara dan hukuman mati." Tapi sebenarnya tak seluruh bangsa takluk. Selalu saja ada orang macam Mandelstam. Selalu saja ada penyair. Sebab, puisi memang terkena oleh sihir yang lain, betapapun hebatnya hipnose semboyan "Revolusi": sihir keindahan, mungkin keharuan, yang mengimbau dari realitas di sekitar. Realitas itu menggetarkan, lebih kaya, lebih hidup, lebih tak terduga warna-warninya, dan begitu rekalsitran hingga tak tertampung oleh bubu ideologis yang mana pun. Tak heran bila partai komunis, di mana saja, gagal mengontrol para penyair. Maka jika ditanya mengapa saya menolak komunisme, saya kira-kira akan mengutip pengalaman seperti itu. Dan jawaban Amir? Mungkin lain. Karena ia, seperti dulu, (meskipun dari barisan yang berbeda), hanya cekatan dengan kategori-kategori. Ia tak tahu bahwa komunisme kini di mana-mana bangkrut juga karena cuma bisa menghapal kategori - seperti halnya dia, dulu dan kini. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini