Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN memilih Boediono, dan bukan calon wakil presiden dari koalisi partai pendukungnya, Susilo Bambang Yudhoyono seakan-akan ingin menyampaikan beberapa hal. Meskipun tak diucapkan secara gamblang, SBY yang serba terukur itu meletakkan kualitas dan prestasi seseorang di atas kepentingan membangun koalisi.
Hal terpenting, ini penghargaan terhadap meritokrasi, meskipun ”ongkos politik”-nya tak sedikit. Partai Keadilan Sejahtera, mitra koalisi Partai Demokrat, hampir saja membatalkan dukungan. Partai Amanat Nasional akhirnya urung bergabung—selain akibat konflik internal di dalam partai matahari itu.
Pemihakan Yudhoyono terhadap meritokrasi ini kelihatan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Tentu kemenangan besar Partai Demokrat, yang menghasilkan tiket pencalonan presiden tanpa perlu dukungan partai lain, membuat SBY lebih percaya diri mengendalikan resistensi itu.
Hal lain yang juga penting, Yudhoyono menganggap tantangan lima tahun mendatang lebih banyak datang dari sektor ekonomi. Anggapan ini sangat logis. Reformasi ekonomi masih jauh dari selesai. Angka kemiskinan masih cukup tinggi. Dampak krisis global akan terus berlanjut. Boediono, seorang teknokrat dan ekonom, mempunyai kemampuan menjawab tantangan itu—modal berharga untuk menambal kelemahan yang justru kentara pada diri SBY.
Doktor ekonomi bisnis lulusan Wharton School University of Pennsylvania, Amerika Serikat, itu sudah pula membuktikan kemampuannya di bidang moneter. Sudah dua kali ia berhasil ”menaklukkan” inflasi, musuh terbesar ekonomi Indonesia. Pada masa pemerintahan Megawati, sebagai Menteri Keuangan ia berhasil menurunkan inflasi dari 13 persen menjadi hanya lima persen. Pada 2005, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan SBY, ia sukses memotong inflasi sampai separuh dari angka 17 persen. Rupiah menjadi lebih ”berotot”. Fondasi pertumbuhan ekonomi pun semakin kuat.
Hanya satu catatan ”merah” untuk guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini ketika menjabat Direktur Bank Indonesia: ia dianggap ikut menyetujui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada konglomerat pemilik bank pada 1997. Tiga direktur Bank Indonesia diadili dalam kasus ini. Di luar BLBI, kritik yang sering mampir ke alamat Boediono, termasuk dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia dinilai terlalu lamban.
Yudhoyono agaknya menganggap nilai plus Boediono jauh lebih banyak. Itu sebabnya SBY seolah tak menggubris segala tudingan—baik yang diteriakkan dari jalanan maupun oleh partai politik—bahwa Boediono adalah penganut neoliberalisme dan antek asing.
Tudingan itu kelihatan kurang memiliki dasar yang kukuh. Boediono, misalnya, ikut berperan dalam pengucuran Bantuan Langsung Tunai, tindakan yang dalam paham neoliberal dianggap intervensi serius terhadap ekonomi domestik. Tak adil juga menempelkan gelar antek asing untuk Boediono, yang justru membebaskan ekonomi kita dari utang Dana Moneter Internasional (IMF).
Kalau SBY kembali memerintah, tantangan politik memang tidak seserius bidang ekonomi, walau tak bisa diremehkan. Besar kemungkinan di Senayan akan hadir koalisi ”oposisi” Partai Golkar-PDI Perjuangan-Hanura-Gerindra. Kemampuan komunikasi politik Boediono perlu dipoles, walaupun selama ini ia intens berkomunikasi dengan DPR melalui rapat kerja atau forum lainnya.
Tentu perimbangan kekuatan politik di Senayan nanti akan menguntungkan pasangan SBY-Boediono. Partai Demokrat dan koalisinya—Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan—menduduki 314 kursi atau 56 persen kursi DPR. Dengan kekuatan itu, pemerintah tak perlu khawatir program-programnya bakal diganjal ”oposisi” di DPR. Tapi, demi efektivitas kerja, Boediono akan lebih bermanfaat bila difungsikan penuh di bidang ekonomi. Hubungan dengan DPR, terutama partai ”oposisi”, bisa saja dikerjakan oleh menteri sekretaris kabinet misalnya.
Kans pasangan ”SBY-Berbudi” ini diyakini paling besar. Tapi, bila tuduhan miring pada Boediono tak dikelola dengan baik, dukungan suara bisa terkuras. Kampanye menyerang Boediono pasti akan semakin ramai seiring dengan semakin dekatnya pemilu. Dengan kemenangan besar Partai Demokrat dalam pemilu legislatif, juga tingginya elektabilitas SBY menurut survei, Boediono dianggap sasaran tembak untuk mengurangi pamor pasangan itu. Apalagi dua pasangan pesaing—Jusuf Kalla-Wiranto dengan semboyan ”JK Win”, atau Megawati-Prabowo alias ”Mega-Pro”—sangat bersemangat berkampanye tentang ekonomi kerakyatan.
Dahinya tak menghitam, ia pun tak memelihara janggut, tapi banyak yang menyatakan ia sangat ”islami” dalam bertindak dan berkata-kata. Dengan prestasi yang sudah disumbangkan, Boediono layak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dengan calon lain. Selanjutnya, terserah Anda di bilik suara nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo