Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA tentang Wiliardi bukan sekadar kisah pelanggaran merit system dalam institusi kepolisian. Ini juga cerita tentang ambisi yang buta: yang membuat seseorang sanggup membunuh atau membantu membunuh demi kenaikan pangkat.
Episode terakhir cerita itu: Wiliardi meletakkan diri sebagai korban. Dalam kasus pembunuhan berencana Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen—yang ramai diwarnai romansa cinta segitiga dan konspirasi politik—kita sampai pada periode manakala semua tersangka berusaha menempatkan diri sebagai korban. Menjadi korban berarti menjadi obyek solidaritas atau menjadi orang yang harus dibela, yang diharapkan berujung kebebasan.
Kita menyaksikan betapa gencar para pengacara ketua komisi antikorupsi Antasari Azhar memproklamasikan bahwa kliennya merupakan korban konspirasi orang-orang yang merasa terancam sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal yang sama dilontarkan pembela Komisaris Besar Wiliardi Wizar. Mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan ini dinilai terlalu lugu dan percaya kepada teman-temannya—kata lainnya: ia korban ”nyanyian” teman-temannya.
Wiliardi Wizar, 43 tahun, tersesat—ia diduga kuat menyiapkan eksekutor dalam pembunuhan itu—karena yakin kerja keras dan kinerja baik saja tak cukup membawanya ke puncak karier. Wiliardi, yang telah bertahun-tahun menjabat komisaris besar polisi, dan merasa kariernya mandek di situ, lantas menempuh jalur alternatif: koneksi. Lelaki yang kehilangan kepercayaan pada penerapan merit system ini cepat mengangguk ketika Antasari Azhar yang akrab dengan Kepala Kepolisian itu berjanji akan mempromosikan kenaikan pangkatnya kepada bos nomor satu.
Wiliardi adalah korban lingkungan yang menempatkan tokoh, atasan—bahkan dalam hal ini kenalan atasan—di atas prestasi kerja. Tentu saja kisah tentang jalan sesat yang ditempuh Wiliardi membangkitkan stereotip yang selama ini melekat pada kepolisian. Apalagi kasus Wiliardi muncul tidak sampai sebulan setelah mutasi Komisaris Polisi Theresia—Kepala Kepolisian Sektor Johar Baru, Jakarta, yang dipindahtugaskan secara misterius setelah sukses membongkar praktek aborsi. Dan tak ada momentum yang lebih tepat untuk menyingkirkan citra buruk itu selain sekarang. Soalnya, seandainya kasus ini tidak terbongkar, Wiliardi atau oknum dengan pikiran sejalan dengannya akan semakin percaya jalur alternatif inilah yang paling bisa diandalkan.
Jalur alternatif—yang tidak selalu berarti membunuh atau melayani order tindak kekerasan—sebenarnya bisa hilang bila merit system diberlakukan ketat dan transparan. Tapi sistem itu barangkali juga tak akan memuaskan perwira yang tak punya kesabaran cukup untuk menunggu. Tak lengkap jika Wiliardi tak dilukiskan sebagai korban ambisi yang tak tertahan. Tapi ia tak mewakili gambaran umum. Banyak perwira menengah yang senasib—kariernya mandek sebagai komisaris besar dan tak berlanjut—yang bisa menahan diri.
Kini bisa kita bayangkan sebuah lembaga yang penilaian jenjang kariernya sangat ditentukan oleh perkenan atasan atau teman atasan. Intrik menjadi begitu sentral. Kesetiaan kepada lembaga dan tugas digantikan dengan kesetiaan kepada tokoh—termasuk tokoh di luar lembaga kepolisian. Apa boleh buat, warisan dari masa otoritarian ini rupanya sulit diakhiri. Kalau sudah begini, kita pun ragu apakah reformasi sempat mampir di lembaga kepolisian negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo