Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagong Suyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemerintah perihal kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2024 bukan saja mengecewakan kaum buruh, tapi juga berisiko membuat kehidupan mereka tahun depan menjadi lebih sulit. Kaum buruh menuntut kenaikan upah hingga 15 persen. Nyatanya, kenaikan upah buruh yang diketuk pemerintah terentang 1,2-7,5 persen. Jika diekuivalenkan dalam jumlah uang, rentang kenaikan upah buruh hanya Rp 35.750-223.280. Kenaikan ini jauh dari harapan.
Kenaikan UMP yang hanya single digit ini tidak akan memperkuat daya beli dan daya tahan kaum buruh. Sejak lama, kaum buruh dan masyarakat harus menanggung efek domino kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Kenaikan harga beras, misalnya, dalam beberapa bulan terakhir, bahkan sudah mencapai lebih dari 20 persen. Belum lagi kenaikan harga telur, cabai, minyak goreng, dan harga berbagai komoditas lain yang harus dibayar masyarakat.
Keputusan pemerintah soal UMP ini dapat memicu protes dari kalangan buruh yang merasa dirugikan. Pemerintah dinilai tidak punya empati dalam mempertimbangkan kebutuhan riil kaum buruh sehari-hari. Kenaikan upah buruh yang hanya puluhan ribu rupiah atau sekitar Rp 200 ribu tentu tidak akan banyak berarti untuk menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok yang jauh lebih tinggi.
Posisi Bargaining
Mencari titik temu besaran kenaikan upah buruh yang sesuai dengan harapan buruh dan kemampuan pengusaha bukanlah hal mudah. Kalangan pengusaha biasanya menolak usulan kenaikan upah yang memberatkan biaya produksi perusahaan. Upah buruh dalam kacamata pengusaha masih dipersepsikan sebagai beban. Setiap kenaikan besaran upah buruh niscaya akan dikalkulasikan sebagai tekanan bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Sepanjang upah buruh masih dianggap sebagai beban perusahaan, bisa dipastikan para pengusaha akan selalu berusaha menekan upah buruh ke tingkat paling minimal. Setiap kenaikan upah buru akan dianggap sebagai beban. Dalam relasi buruh-majikan yang serba kontraktual, posisi kaum buruh umumnya lebih banyak dituntut patuh.
Aspirasi buruh, kebutuhan untuk berserikat, dan penghargaan terhadap kinerja umumnya akan dinilai sebagai bentuk kerewelan serta sikap buruh yang tidak patuh. Di mata pengusaha, buruh hanya memiliki peran untuk mendukung peningkatkan produktivitas, tapi hak-haknya diabaikan. Alih-alih berusaha memenuhi besaran upah yang layak, para pengusaha memilih menekan kaum buruh agar tidak resistan. Melarang buruh terlibat dalam serikat perburuhan adalah salah satu langkah yang dilakukan perusahaan untuk mencegah kaum buruh berdaya.
Bagi pengusaha, buruh yang baik dan produktif adalah pekerja yang rajin menghasilkan komoditas untuk diperdagangkan. Adapun buruh yang aktif melakukan unjuk rasa biasanya akan dianggap sebagai gangguan. Dengan demikian, jangan kaget jika mereka berusaha disingkirkan dari tempat mereka bekerja.
Di banyak perusahaan, para pengusaha umumnya senang jika buruh tidak berserikat. Buruh yang baik adalah buruh yang penurut dan mau berproduksi sebanyak-banyaknya untuk mendukung peningkatan laba perusahaan. Posisi bargaining buruh dalam perusahaan yang kapitalistis umumnya lemah karena di pasar kesempatan kerja lowongan untuk buruh kerap tidak banyak. Meski mereka mendapatkan perlakuan yang kurang manusiawi dan sering menjadi korban eksploitasi, tidak banyak buruh yang berani mengambil langkah progresif. Buruh yang menjadi korban eksploitasi kebanyakan memilih diam. Sebab, risiko yang ditanggung akan tidak terduga jika mereka berani menentang perusahaan.
Di berbagai daerah umumnya sudah lazim terdapat kaum buruh yang pasrah. Ketika unjuk rasa memanas, sebagian kaum buruh sering memilih berdiam diri. Mereka takut terhadap risiko yang bakal ditanggung jika berani ikut campur. Pengalaman telah banyak membuktikan, ketika ada buruh yang berani ikut unjuk rasa, mereka rawan menjadi korban PHK. Banyak cerita terungkap bahwa kaum buruh terpaksa harus berdiam diri meski tidak puas akan upah yang diterimanya. Mereka memilih menahan diri dan menerima nasib apa adanya. Tak ada kepastian apakah aspirasi mereka bakal didengar perusahaan atau tidak.
Sementara itu, pemerintah yang diharapkan dapat menjadi wasit yang adil justru lebih banyak memperhatikan kepentingan pengusaha ketimbang kepentingan buruh. Dengan dalih kenaikan upah buruh akan menyebabkan investor hengkang, pemerintah akhirnya cenderung mencari jalan tengah yang aman. Daripada menaikkan upah buruh sesuai dengan tuntutan mereka, pemerintah akhirnya memilih menaikkan upah ala kadarnya. Pada titik ini, bisa dipahami bahwa muncul benih-benih ketidakpuasan dan perlawanan di kalangan buruh.
Perlawanan
Walaupun pada awalnya muncul gejolak dan unjuk rasa menolak kenaikan UMP yang dinilai terlalu rendah, seiring dengan berjalannya waktu bisa dipastikan kondisi akan kembali normal. Unjuk rasa buruh pelan-pelan akan berkurang. Apakah ini merupakan sinyal kekalahan kaum buruh dan kemenangan para pengusaha yang ingin upah buruh tetap rendah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu harus mengkaji secara lebih mendalam. Mungkin benar di permukaan tampak gerakan buruh yang tidak lagi intens. Di berbagai daerah bisa dipastikan unjuk rasa tidak akan berkepanjangan. Namun di balik itu semua bukan berarti persoalan telah selesai.
Kajian yang dilakukan James C. Scott (1987) menunjukkan bahwa senjata orang-orang yang kalah sebetulnya tidak hanya demonstrasi dan bentuk-bentuk perlawanan yang keras. Ketika masyarakat marginal hidup dalam struktur yang menindas, mereka memilih mengembangkan bentuk perlawanan yang tidak kelihatan, tapi sangat signifikan. Aktivitas sabotase dalam kerja dan aksi malas-malasan dalam bekerja sesungguhnya akan sangat kontraproduktif bagi kelangsungan sebuah usaha.
Bagi buruh yang lincah, mereka mungkin memilih berhenti dan mencari pekerjaan lain yang dinilai lebih sesuai dengan harapan. Bagi kaum buruh yang taktis, mereka biasanya akan memanfaatkan situasi dengan mengembangkan bentuk perlawanan diam-diam, tapi berpotensi merugikan perusahaan tempat mereka bekerja.
Upah adalah bentuk investasi sosial yang penting. Maka mempekerjakan kaum buruh tanpa didukung penghargaan niscaya akan kontraproduktif. Sayangnya, para pengusaha cenderung mengabaikannya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo