Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA Komisi Pemberantasan Korupsi masih di bawah ketiak presiden, pemilihan pimpinan lembaga itu adalah lelucon belaka. Siapa pun yang terpilih menjadi komisioner KPK sulit diharapkan bersikap independen dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi politikus dan pejabat korup, KPK yang independen memang jadi musuh besar. Karena itu, dengan berbagai cara mereka berusaha mengebiri KPK. Setelah merevisi Undang-Undang KPK, presiden dan para politikus di Dewan Perwakilan Rakyat memilih pimpinan yang dapat dikendalikan seperti KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanda-tanda itu tampak dalam seleksi calon pimpinan KPK periode 2024-2029. Dari 525 orang yang mendaftar sebagai calon pimpinan hingga 15 Juli 2024, empat di antaranya jenderal polisi aktif. Mereka adalah Komisaris Jenderal Setyo Budiyanto, Komisaris Jenderal Ridwan Zulkarnain Panca Putra Simanjuntak, Inspektur Jenderal Djoko Poerwanto, dan Inspektur Jenderal Didik Agung Widjanarko. Kecuali Djoko, para perwira itu pernah bertugas di KPK.
Dari sisi pemerintah dan DPR, mengendalikan pimpinan KPK dari kalangan polisi—yang juga masih di bawah kendali presiden—tentu saja lebih mudah daripada mengontrol pimpinan KPK dari kalangan independen. Sementara itu, dari sisi kepolisian, pencalonan keempat jenderal tersebut patut ditengarai sebagai upaya memasang kaki-kaki di pimpinan KPK.
Kepolisian lebih dulu memasang kaki-kakinya di level penyidik, direktur, hingga deputi. Motifnya tak lain adalah mengendalikan semua kebijakan di dalam KPK seperti tebang pilih kasus. Era Firli Bahuri adalah contoh nyata bagaimana kasus korupsi bisa diredam ketika berkaitan dengan mereka yang sedang berkuasa.
Kasus suap yang melibatkan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, misalnya, sekian lama mengendap karena diduga bisa menyeret Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Belakangan, setelah PDI Perjuangan pecah kongsi dengan Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2024, kasus Harun Masiku seperti dibangkitkan dari kubur. KPK mengusut lagi kasus tersebut di tengah kritik keras Hasto terhadap kecurangan pemilihan presiden di bawah rezim pemerintah Jokowi.
Melihat manuver KPK seperti itu, wajar bila masyarakat menduga-duga para jenderal yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK dipasang untuk mengamankan kepentingan penguasa ke depan. Tak berlebihan juga bila ada dugaan bahwa mereka dipasang untuk melindungi kepentingan kepolisian dengan tidak mengutak-atik perkara di internal serta mengendalikan lawan politik lewat ancaman kasus korupsi.
Selain itu, keempat jenderal tersebut tampak seperti pencari kerja karena di dalam kepolisian mereka tak kebagian jabatan. Banyak perwira non-job karena masa pensiun polisi di usia 58. Pada 2018, Komisi Kepolisian Nasional mencatat lebih dari 400 perwira berstatus non-job. Jumlah ini diperkirakan bertambah apabila revisi Undang-Undang Polri disahkan, karena usia pensiun polisi diusulkan menjadi 60 tahun.
Dengan karut-marut seperti itu, sulit berharap KPK akan kembali ke muruah awalnya. Seleksi calon pimpinan boleh jadi malah memunculkan “buaya-buaya” baru di dalam KPK.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Calon ‘Buaya’ di Sarang KPK"