Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemala Atmojo
Pencinta Film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman membedakan antara pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman. Yang pertama bersifat nonkomersial, yang terakhir komersial. Namun keduanya terkena aturan yang sama: setiap karya mereka yang hendak diedarkan dan dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor (Pasal 57). Hal itu ditegaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi, tak peduli itu jenis film apa, diedarkan dan dipertunjukkan di mana, semuanya harus disensor lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi masyarakat pers, sensor adalah kata yang "asing". Tak ada kata sensor dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun wartawan wajib menaati Kode Etik Jurnalistik. Himpunan etika profesi itu memberikan batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan wartawan. Bagi yang melanggar dapat diadukan ke Dewan Pers. Demikian juga dalam dunia perbukuan, tidak ada kata sensor dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.
Sensor hanya ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Perfilman. Undang-Undang Penyiaran menyebutkan isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga berwenang. Selain itu, seluruh isi siaran dikontrol Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Khusus mengenai film, meski telah mendapatkan surat tanda lulus sensor dari LSF, KPI tetap melakukan pengawasan sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
Alasan utama terhadap televisi dilakukan pengawasan dan sensor adalah karena penyiaran televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga serta dilindungi negara. Itu harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Adapun film, terutama di bioskop, tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Badan sensor dulu dibentuk pemerintah Hindia Belanda yang antara lain bertujuan melindungi citra mereka dimata penduduk lokal. Ketika Indonesia merdeka, segala badan dan aturan tetap berlaku sebelum dibuatkan penggantinya. Jadi, lembaga dan kebijakan sensor pada masa penjajahan itu diterima begitu saja dan diteruskan hingga kini.
Begitu luas jangkauan dan kuasanya, LSF-dalam batas tertentu, juga KPI-mirip dengan "polisi pikiran" dalam novel Nineteen Eighty Four (1984) karya George Orwell. Novel ini ditulis pada 1948-1949, tapi "meramalkan" situasi yang terjadi di London pada 1984. Digambarkan, seorang anggota partai level bawah bernama Winston Smith, yang selalu berusaha menjadi warga negara yang baik meski di dalam hati dan pikirannya bersemayam antipati terhadap kediktatoran yang ada. Namun Winston tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka sebab polisi pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi ada di mana-mana. Winston merasa frustrasi dan hanya bisa membuat tulisan secara sembunyi-sembunyi.
Orwell menggambarkan bagaimana seorang diktator dapat memanipulasi dan mengontrol sejarah, pemikiran, dan kehidupan orang lain. Kini kata "Orwellian" dipakai untuk menunjukkan situasi atau kondisi yang merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka. Kata itu juga digunakan untuk menggambarkan kebijakan brutal melalui propaganda, pengawasan, dan penolakan kebenaran oleh pemerintah represif modern. Intinya: totaliterianisme.
Jadi, seperti teleskrin, LSF dan KPI mengontrol apa saja yang boleh dan tidak boleh dibuat sineas serta apa saja yang boleh dan tidak boleh ditonton masyarakat. Seperti teleskrin, akhirnya LSF mempengaruhi ide dan kreativitas sineas, bahkan sejak masih berada dalam pikiran.
Jalan keluarnya? Pertama, masyarakat perfilman harus membuat kode etik produksi. Norma-norma yang dimuat dapat menjadi pedoman bersama tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan dalam memproduksi film. Mereka yang melanggar kode etik itu dapat diadukan kepada Badan Perfilman Indonesia (BPI) versi baru dan kalau perlu diproses lewat jalur hukum. Kedua, LSF diubah menjadi lembaga pemeringkat saja. Seperti "aturan pakai" dalam produk obat-obatan, hasil pemeringkatan film LSF juga berfungsi sebagai "aturan pakai" bagi siapa saja yang ingin menikmatinya. Sehingga terwujudlah self- censorship yang dicita-citakan insan film dan para anggota sensor saat ini.