Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politisasi Pengangkatan Kapolri

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Widjojanto *) *) Praktisi hukum POLISI dan kepolisian kembali mendapat sorotan dari masyarakat. Ada dua soal penting yang disorot: penggantian Kapolri dan tuntutan penundaan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kepolisian. Kedua hal itu berkaitan erat tidak hanya karena subyek persoalannya menyangkut soal polisi dan kepolisian saja, tetapi ada konteks politik negara dan soal politisasi di dalam masalah pengesahan RUU Kepolisian, khususnya dalam penunjukan Kapolri. Kedua hal itu menjadi penting bila diletakkan dalam perspektif untuk membangun supremasi hukum guna mewujudkan negara hukum yang demokratis. Salah satu prasyarat utama untuk mewujudkan supremasi hukum adalah lembaga-lembaga penegakan hukum harus didorong untuk berperan optimal dalam semua interaksi sosial di masyarakat. Kepolisian sebagai salah satu lembaga penegak hukum mempunyai peran yang strategis karena penegakan hukum tak akan pernah bisa berhasil bila polisi dan kepolisian tidak independen, tidak profesional, dan tidak didukung dalam menjalankan tugasnya. Bila masalah di atas diletakkan dalam konteks transisional yang kini sedang terjadi, ada suatu keputusan politik yang telah menetapkan pemisahan institusi kepolisian dari lembaga kemiliteran sesuai dengan Ketetapan MPR No. VI dan VII Tahun 2000. Implementasi proses pemisahan ini menjadi penting diperhatikan karena hampir dapat dipastikan pemisahan ini akan membawa kon-sekuensi yang sangat luas atas fungsi, kewenangan, struktur, ataupun kelak pada sikap dan perilaku kepolisian. Proses inilah yang menjadi salah satu dasar penting diperlukannya Undang-Undang Kepolisian yang baru untuk mengaktualisasikan tujuan penegakan hukum dan mewadahi pemisahan di atas. Di sisi lainnya, ternyata proses pemisahan itu juga mengubah relasi politik antara kepolisian dan lembaga tinggi lainnya, misalnya saja dalam kaitannya dengan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Sebab, berdasarkan Ketetapan MPR No. VII/2000, kini Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dari DPR. Selain itu, juga ada penegasan bahwa kepolisian harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Bila perubahan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian ini dikaji lebih mendalam, perubahan itu mempunyai perspektif pada konteks politik negara. Sebabnya, penentuan Kapolri sebagai pimpinan lembaga kepolisian kini tidak lagi menjadi kewenangan eksekutif saja. Namun, bagaimanapun, kepolisian tetap menjadi salah satu instrumen dalam menjalankan fungsi pemerintahan guna melindungi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Dalam kata lain, kepolisian masih menjadi salah satu alat dari pemerintahan. Dari sisi lainnya, pemisahan itu disertai juga suatu ketentuan yang mempunyai potensi proses politisasi. Di dalam proses pengangkatan dan pemberhentian pimpinan polisi, lembaga parlemen yang pekat dengan kepentingan politik yang sebagiannya berupa interest "politicking" justru ditetapkan menjadi penentu pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dari titik ini dengan mudah dapat dipastikan, di dalam proses itu akan terjadi tarik-menarik atas dasar kepentingan politik praktis yang tidak sepenuhnya berpijak pada kepentingan penegakan hukum secara luas. Kepolisian secara "diam-diam" telah ditarik masuk dalam "interaksi politik" antarkepentingan politik. Fakta ini dapat dilihat dari proses pengangkatan Kapolri baru, ketika pemerintah mengajukan usul agar Da'i Bachtiar disetujui menjadi Kapolri untuk mengganti pejabat Kapolri sebelumnya. Presiden Megawati punya diskresi untuk menentukan Kapolri karena posisi Kapolri akan sangat menentukan sebagian performance pemerintahannya. Ia juga punya kepentingan agar bisa "mengontrol" Kapolri untuk sebagian kebijakannya. Apalagi fakta menunjukkan bahwa salah satu ketidakberhasilan kepemimpinan Mega-Hamzah di seratus hari pemerintahannya terletak pada ketidakmampuannya menegakkan hukum secara konsisten. Megawati dinilai dapat "mengendalikan" tensi politik secara umum, tapi kekerasan dan kriminalitas masih terjadi di seantero negeri, bahkan tindak korupsi masih merajalela dalam skala yang masif dan belum bisa dikendalikan. Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bila Presiden akan memilih orang yang mungkin bisa "dikendalikan" dan "membela" kepentingannya, ketimbang polisi yang diharapkan akan konsisten dalam menegakkan hukum. Tentu saja, Presiden dapat "berlindung" di balik prinsip diskresional yang dimilikinya. Indikasi ini dapat dilihat dari diajukannya hanya satu calon, serta tidak terbukanya pemerintah dalam menetapkan sistem dan mekanisme calon yang mereka ajukan. Sikap ini jelas bertentangan dengan prinsip akuntabiltas dan transparansi sebagai salah satu prasyarat lain dalam mewujudkan negara yang demokratis. Sekaligus, sikap ini dapat "menyuburkan dan melestarikan" potensi penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan. Kelak juga bisa diduga, sebagian anggota parlemen, khususnya dari PDIP, akan mengamankan kebijakan Presiden. Atau, bisa saja terjadi partai ini akan "memelopori" suatu gagasan agar proses fit-and-proper test tidak perlu dilakukan. Partai lain yang punya banyak masalah dengan kejahatan yang dilakukan pada masa lalu dan anggota parlemen tertentu yang telah disinyalir melakukan kejahatan tentu juga punya kepentingan "mengamankan" si calon. Fungsi fit-and-proper test sebagai instrumen untuk melacak kapasitas, kapabilitas, dan integritas seorang calon pejabat publik akan kehilangan makna subtantifnya. Partisipasi masyarakat juga diabaikan untuk turut serta secara tidak langsung dalam menentukan seorang calon. Pendeknya, hendak dikatakan bahwa proses persetujuan Da'i Bachtiar sebagai Kapolri sangat potensial diwarnai oleh politisasi kepentingan praktis sebagian anggota parlemen ketimbang ketimpangan yang mendasar untuk mewujudkan proses penegakan hukum secara konsisten. Kalau berbagai sinyalemen itu terbukti, jelaslah sudah bahwa kepolisian tetap akan menjadi lembaga yang menjadi instrumen bagi kepentingan kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus