Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pontianak mon amour

Orang dayak di pontianak pada tgl 17 okt 1967, bergerak mengambil alih tanah, toko dan kebun orang cina. kini hubungan cina dengan dayak baik sekali, dan orang cina gigih berjuang menghidupi anak cucunya.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT lelucon, Roma ialah Kairo tanpa orang Mesir. Kini bisa ditambahkan: Pontianak ialah Bandung tanpa jalan rusak dan pengotoran udara. Di Pontianak, ada banyak warung kopi, rumah makan, banyak jeruk dan lotre TSSB, dan memang banyak orang Cina. Kalau Bandung ialah Paris van Java, Pontianak ialah Hong Kong dari Kalimantan. Dari ratusan tukang becak tidak ada satu yang namanya Hap Seng tapi ada orang Cina yang mengerjakan sawah atau kerja sebagai kuli. Yang berpendapat semua orang Cina mempunyai Mercedes dan lemari es boleh mengunjungi PT SumberJantin, pabrik karet tempat orang Cina kerja dalam ruang gelap, lembap, dan bau seperti penghuni neraka yang menderita dalam Inferno, karya Dante. Di seberang jalan ada kompleks besar dengan gubuk-gubuk, tempat para kuli tinggal. Tapi dengan bangga kepala keluarga bisa bertutur bahwa anaknya di SMP dan SMA, dan dia mengharap nanti bisa masuk fakultas. ni semua akibat sebuah kejadian tahun 1967 yang masih menghantui impian banyak orang. Waktu itu "konfrontasi" mengganyang Malaysia sudah selesai, tapi di perbatasan Serawak keadaan belum tenang. Peristiwa G-30-S baru dua tahun berlalu, ada kolone kelima di Kalimantan, dan ada bahaya bergabungnya orang-orang Cina komunis dengan unsur tentara Indonesia yang tidak mau kembali ke Indonesia sesudah G-30-S -- yang disusul dengan penumpasan besar unsur komunis di mana saja. Sementara itu, keadaan ekonomi jelek. Tanggal 17 Oktober 1967 sekonyong-konyong orang Daya mulai bergerak. Perintahnya: jangan bunuh atau bakar, hanya ambil alih tanah, toko, dan kebun. Gerakan bermula dengan suku Menjoekee yang mengirim mangkuk penuh darah ke suku-suku lain. Apa sebabnya tidak diketahui pasti. Tujuh puluh ribu orang Cina petani mengungsi ke Pontianak. Seorang pastor yang saya kenal masih ingat keadaan panik waktu itu. Aneh, banyak orang Cina yang berada tidak merasa terpanggil untuk menolong. Tapi harap maklum Cina tani dan kuli sangat berbeda dengan Cina pedagang di kota. Mula-mula tidak ada pembunuhan, tapi akhirnya hal itu juga terjadi. Antara 200 dan 1.000 orang, pria, anak, dan wanita hilang nyawanya. Orang Jakarta dan Jawa, yang sendirinya mengalami peristiwa bunuh-bunuhan di sekitar peristiwa G-30-S, hanya senyum penuh simpati, tapi tidak bisa menolong. Sekarang, banyak luka sudah sembuh. Orang Cina yang di bawah dengan gigih merangkak dari lubang, dan berusaha menciptakan duia lebih baik bagi anak dan cucu. Itulah mengapa di gubuk Pontianak itu si kepala keluarga bercerita tentang anaknya yang mau ke fakultas. Perhubungan antara Daya dan Cina kini baik sekali. Sebelum kembali ke Jawa, saya ikut big dinner dekat pelabuhan Pontianak. Ada kepiting paling besar di dunia, dan udang yang jadi kekhasan setempat, suatu specialite de la maison. Seorang pedagang cerita, dia setiap bulan ke hulu, menjual minyak tanah dan kembali membawa hasil hutan. Itulah aktivitas banyak Cina di Pontianak -- hal yang berguna untuk kedua pihak. Cina disebut sobat oleh Daya, dan kalau kedua-duanya Katolik, mereka menjadi anggota satu keluarga. Lain diferensiasi antara Daya dan Melayu. Di negeri tetangga di balik perbatasan, 60% orang Serawak dan Sabah yang bukan Melayu merasa iri kalau mendengar tentang Pancasila. Mereka merasa dijajah 40% orang Melayu yang membuat aturan ketat yang asing bagi mayoritas. Semoga Pancasila tetap jaya di Kal-Bar, kata sang saudagar waktu big dinner. Indonesia memang negara besar dan menarik pengaruh dari banyak negara lain. Satu di antara pengaruh itu ialah kedatangan orang Cina, dan hal itu tidak merugikan kemakmuran Kalimantan Barat. Di Sambas ada Mo-sanfu, seorang pastor yang lahir di Belanda, hidup di Kal-Bar, dan dalam omong serta gerakan telah menjadi orang Cina. Dengan bangga beliau menyatakan Sambas telah mempunyai telepon, dan jalan yang dulu lebih jelek dari jalan pasir sekarang telah jadi jalan aspal bermutu tinggi. Gereja diberi atap baru dan lantai pastoran dibuat dari kayu, suatu kemewahan yang jarang terdapat dalam rumah modern. Waktu malam kami berkumpul, minum bir dan mulai berfilsafah. Pokok persoalan ialah kecinaan orang Cina dan kedayaan orang Daya. Pater Marecellus Lie Po Hin pernah bertanya bagaimana jiwa orang Cina. Dia sendiri lahir dan tumbuh di negara Han dan heran apakah orang Cina benar materialistis. Memang jelas keadaan di Cina sering begitu dahsyat (kelaparan, banjir, kekeringan, perang, dan penyakit) sehingga dalam perjuangan untuk survival of the fittest, hanya orang yang keras dan kuat yang bisa menang. Sifat utama orang Cina ialah realisme. Juga spiritualitas mereka mempunyai sifat realistis. Kalau orang Cina beruntung dia masuk Konghucu, kalau dia menderita dia mencari perlindungan dalam aliran Tao atau Budha. Tapi juga hal itu bukan inti sifat kecinaan orang Cina. Sambil minum bir dan merokok pipa, saya tidak bisa menahan diri dan bercerita bagaimana saya pernah duduk di pinggir danau di Hanchow, firdaus para maharaja negara Han, dan merasa luar biasa bahagia karena mengalami keharmonian universal baik rohani maupun jasmani. Itulah inti Cina, yakni sesuatu yang sangat spesial yang ada dalam sebuah periuk yang indah, lukisan Gunung Guiling, renungan Men-tze, atau pemandangan di pinggir Danau Hanchow. Semua istilah seperti materialistis, spiritualistis, idealistis, atau realistis tidak memenuhi syarat. "Bagaimana watak Daya?" tanya seorang peserta simposion (harap maklum, "simposion" berarti minum bersama). Lain, jawab seorang teman. Orang Daya bersatu dengan alam. Berakar dalam tanah dan terikat pada sungai. Suara dari pohon, air, dan tanah dipantulkan dalam jiwanya dan dia tidak segan memanggil hantu itu. Hujan berhenti, yang sakit jadi sembuh dan yang mati dipanggil kembali ke tanah air. Kalau Cina menghadap alam supaya alam diubah, sang Daya duduk main suling dan mendengarkan bisikan roh halus. Orang Daya duduk dan senyum, hatinya penuh kebijaksanaan orang yang menyaksikan penciptaan dunia. Waktu ada padri Kapusin berbaju cokelat datang dan cerita tentang malaikat, setan, dan Sang Penebus, hal itu bukan asing bagi orang Daya, karena sejak lahir dia dekat dengan misteri. Memang hal itu mulai berubah. Juga Daya akan tinggal landas dan masuk abad ke-21. Dari semua mahasiswa Untan, sebanyak 4.000, sepertiganya orang Daya. Besok pulauku akan jadi kaya dan Daya bersama Cina akan kera bersama, kata seorang mahasiswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus