Saya merasa lebih terkejut membaca Laporan Utama TEMPO, 16 Januari, yang, antara lain, menyebutkan bahwa para tokoh yang seharusnya mengetahui "terkejut" oleh besarnya jumlah utang kita. Kalau Pak Soerjadi (orang nomor 1 di PDI), Saudara Kwik Kian Gie (poitikus PDI dan ekonom), dan Saudara Hamzah Haz (seorang wakil ketua Komisi APBN DPR) sudah sama-sama terkejut, tentu, ada "permainan sulap" luar biasa canggihnya di samping unsur merosotnya nilai dolar. Kurang serasikah kerja sama antara lembaga tinggi negara bernama pemerintah dan DPR? Ataukah tidak/kurang sama tinggi kedudukannya sebagaimana ditentukan dalam Tap MPR Nomor VI Tahun 1973 dan tap-tap penerusnya? Saya pada 1974 memang sudah prihatin membaca Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, yakni di Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037, yang mengenai pemerintah daerah, ada tulisan berbunyi sebagai berikut. (3). Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa walaupun DPRD adalah unsur pemerintah daerah, DPRD tidak boleh mencampuri bidang eksekutif, tanpa mengurangi hak-haknya sesuai dengan undang-undang ini . Bidang eksekutif adalah wewenang dan tanggung jawab kepala daerah sepenuhnya. Ketentuan itu benar-benar menyimpang dari UUD 1945, yang penutup Sub I Penjelasan pasal 18 berbunyi, "Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah, oleh karena di daerah pun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan." Kata pun itu tegas menunjukkan bahwa pemerintah, baik di pusat maupun di daerah harus berdasarkan permusyawaratan, tidak boleh dimonopoli sendin oleh pihak eksekutif. Maka, kiranya perlu ada pengamanan yang ekstra ketat, agar jangan sampai mencari pinjaman dari luar negeri, yang begitu besar konsekuensinya, dilakukan dengan carayang bertentangan dengan UUD45. Para anggota MPR, yang akan bersidang pada Maret yang akan datang, harus sadar terhadap hal itu. JOEWONO, S.H. Jalan Prof. Supomo S.H., 52 Jakarta Selatan 12870
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini