ORANG tua yang duduk dekat jendela di lantai 6 itu adalah bekas presiden dan pemimpin Partai Komunis di sebuah negeri Eropa Timur. Ia sudah dimakzulkan. Ia ditangkap. Republik sudah berubah. Sosialisme masuk kotak. Pengawasan negara ke segala penjuru telah dipereteli. Kebebasan, juga kebebasan untuk berdagang (kata lain dari kapitalisme), berkecamuk. Tapi sang bekas diktatur, Stoyo Petkanov, tak merasa bersalah. Di depan jaksa muda Peter Solinsky, si bekas diktatur itu membela diri. "Mereka menginginkan stabilitas dan harapan. Kami berikan itu. Pelbagai hal mungkin tidak sempurna, tapi dengan Sosialisme rakyat dapat bermimpi bahwa pada suatu hari hal-hal itu mungkin bisa jadi sempurna. Kalian - kalian hanya memberi mereka ketidakstabilan dan hilangnya harapan. Gelombang kriminalitas. Pornografi. Prostitusi. Kalian bangga dengan prestasi yang cepat ini?" Suaranya agresif, tak mengenakkan. Tapi dialog begini adalah dialog yang paling sentral di dunia sekarang, setelah sosialisme seperti yang dipraktekkan di Eropa Timur - dengan perilaku dan hasilnya yang buruk - berantakan di mana-mana. Pernah sejenak orang di sana berharap bahwa kehidupan yang menggantikan akan lebih menggairahkan. Dalam arti tertentu benar, meskipun apa yang "menggairahkan" bisa berarti bukan rasa tenteram, bukan stabilitas. Memang "menggairahkan" bisa juga ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak enak - dan itulah yang hendak ditekankan oleh Stoyo Petkanov, sang Komunis No.1, kepada Peter Solinsky, dua tokoh dalam novel Julian Barnes, The Porcupine. Menggairahkan bisa berarti keleluasaan pornografi.... "Memang ada kesulitan," kata Peter Solinsky, pembawa suara orde sosial-politik yang baru, mengakui. Tidak mudah nampaknya baginya untuk mendebat, meskipun serangannya bisa meyakinkan: di bawah kekuasaan Bapak Petkanov toh ada pornografi dalam bentuk yang lain. Bila "pornografi" diartikan sebagai cerita tentang proses pameran kekuatan dan nafsu, dengan menyoroti tingkah laku manusia sebagai organ-organ, maka cerita kehidupan sosial- politik di dalam sebuah kediktaturan (terutama yang bertahan lama) juga sejenis pornografi. Sebab di sana yang berlangsung adalah kisah pergulatan kekuasaan yang dilakukan tanpa malu- malu, oleh manusia yang hanya tampil sebagai "alat", untuk kepuasan instink mereka yang dasar. Dalam kata-kata Solinsky, dalam suasana itu, di bawah kekuasaan rezim Petkanov, tiap orang terus-menerus main dengan orang lain, timpa-menimpa, "screwing one another endlessly". Itulah pornografi politik. Ciri utamanya adalah tidak adanya sebuah cita-cita apa pun, sebuah gagasan, suatu panggilan hati - dengan kata lain tidak ada sense of mission, yang bermula dari sejenis rasa cinta kepada manusia lain - yang nampak menggerakkan seseorang, atau sekelompok orang, untuk memasuki pergulatan politik. Tidak ada sesuatu yang mempunyai makna. Yang ada hanyalah perbuatan yang mempunyai peran sebagai pemuas kesenangan akan jabatan, dan mungkin kekayaan. Dengan cara lain bisa pula dikatakan, bahwa dalam pornografi politik ini, yang berlaku dalam hubungan antar-manusia adalah sesuatu yang tak ada hubungannya dengan orang lain sebagai manusia - tak jauh berbeda dengan apa yang kita lihat dalam sebuah blue film. Bahkan seantero ajang politik yang terutama berperan adalah sosok-sosok yang sesungguhnya bisa digantikan siapa saja, asal ukurannya pas dan wataknya tak rumit. Di dalamnya sebenarnya tak ada cerita, semuanya sudah bisa kita tebak akhirnya, tak ada lagi misteri. Dan meskipun dengan judul yang berbeda, dalam pornografi itu yang "main" adalah sejumlah orang yang cara dan tingkahnya, bahkan juga dialognya, tak berbeda satu dengan yang lain. Pada akhirnya, pornografi - juga pornografi politik - memang cerita pergulatan dan pertemuan antar-organ. Tentu saja bukan hanya di bawah rezim Petkanov yang komunis saja pornografi politik itu mendapatkan panggungnya - dan pada saat yang sama dicoba ditutup-tutupi. Di banyak negeri lain hal yang semacam itu terjadi. Memang ada orang-orang yang lebih menyukai pornografi politik itu ketimbang jenis pornografi yang lain, dalam bentuk majalah Playboy atau Penthouse misalnya. Tapi di ruang tertutup, yang hanya bisa terjaga oleh suatu sistem politik yang tertutup pula, kedua jenis pornografi bisa berlangsung bersama-sama, tanpa banyak keajaiban. Sebab itu Solinsky mengatakan kepada lelaki tua yang ia tahan di lantai 6 itu: "Sang Pemimpin Pertama punya spesialisasi dalam pornografi, kukira." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini