Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Netflix segera merilis Squid Game musim kedua dengan tetap mempertontonkan kematian yang brutal.
Manusia memang putus asa dan menderita, tapi tak layak dihadapkan pada kematian yang meneror.
Ada momen hidup penuh syukur, seperti menghirup bau tanah basah setelah hujan yang sebentar.
APA yang tersisa dari pornografi kesadisan? Dalam hal Squid Game, jawabannya tidak ada. Atau samar-samar ada. Sampai akhir film, sampai episode selesai, sampai semua orang mati secara mengerikan, sutradara Hwang Dong-hyuk gagal menjawab pertanyaannya sendiri tentang untuk apa segala pertunjukan kematian yang brutal sepanjang 460 menit itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barbarisme sudah mengentak sejak episode pertama. Lebih dari 460 orang yang putus asa dengan hidup digiring ke gulag permainan, mengantarkan nyawa mereka ketika kalah, atau tak cermat berhitung, bahkan tak sempat berpikir memenangi permainan. Gim itu memperebutkan hadiah 46 miliar won. Siapa yang bisa hidup dan menang dalam lima jenis permainan, ia akan menggondol uang besar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pemainnya tak bisa keluar atau melarikan diri karena gulag ini ada di sebuah pulau entah di mana, kecuali mayoritas pemain sepakat tak ingin melanjutkan permainan. Ketika dijemput staf bertopeng, para pemain dibius. Mereka hanya mengikuti perintah dan terpaksa menempuh pelbagai permainan masa kecil kanak-kanak Korea yang tak bisa mereka tebak ujungnya. Kita mungkin hanyut dengan permainan kematian ini.
Kita mungkin mengikuti emosi para pemain menjelang ajal mereka. Kita mungkin terbawa perasaan dengan pilihan-pilihan sulit para pemain antara keinginan menyelamatkan diri atau menghidupkan solidaritas dan kemanusiaan. Dilema dan bayangan kematian yang sukses diaduk begitu rupa oleh Dong-hyuk dan disajikan secara cergas melalui gestur para pemainnya.
Barangkali karena plot yang menegangkan ini, serial di Netflix itu begitu populer dan ditonton orang di 90 negara. Kita terhibur menonton kebrutalan seraya menanti jawaban untuk apa segala adegan yang sadis itu dibuat. Untuk apa permainan Squid Game ini diadakan dan oleh siapa. Juga untuk apa Dong-hyuk membuat serial ini.
Dong-hyuk memang sempat menyinggung bahwa ada manusia yang hidup begitu terdesak. Bagi mereka, dunia begitu sempit. Kota-kota, akibat kemajuan dan modernisasi seperti di Korea Selatan, menyajikan persaingan berebut peradaban yang membuat manusia tersisih dan terasing. Dalam keadaan terdesak, manusia akan mempertaruhkan segalanya agar bisa bertahan. Dong-hyuk ingin menunjukkan bahwa manusia memang punya insting saling mengeremus.
Jika hanya itu soalnya, Dong-hyuk tak menghormati hidup yang penuh syukur. Manusia memang putus asa dan menderita, tapi tak layak menghadapkannya pada kematian yang ditentukan oleh perjudian dan keberuntungan. Bahkan, untuk manusia yang serakah dan jahat sekalipun, kematiannya tak layak diserahkan hanya pada nasib tanpa pilihan.
Apalagi kematian-kematian yang zoom in itu ternyata untuk kesenangan belaka. Bapak tua superkaya yang menjadi dalang permainan ini konon hanya bosan hidup dan bingung menghabiskan uang serta ingin mengenang masa kecilnya yang bahagia penuh permainan. Ia pun membangun gulag di pulau terpencil itu dan menggiring orang-orang belangsak ini untuk mati melalui permainan Squid Game.
Orang sangat miskin dan orang sangat kaya, kata pak tua itu, akan sama tersiksanya dalam menjalani hidup. Mungkin benar. Tapi Dong-hyuk tak bisa melihat manusia dari materialisme semata. Toh, kita bisa bahagia hanya menghirup petrikor—tanah basah sehabis hujan yang sebentar. Bahagia itu adalah tanda syukur kita pada penciuman, pada udara, pada hujan, pada alam yang melahirkan keajaiban. Bahkan, jikapun kita jadi kebal oleh segala penderitaan atau keserakahan, akhir hidup tiap orang tak layak diganjar dengan kematian yang meneror.
Pak tua superkaya itu memang tak lagi percaya kepada manusia. Buat dia, semua manusia sama brengseknya. Setelah semua materi yang ia inginkan tercapai, setelah semua kekayaan ia dapatkan, ia sampai pada kesimpulan, manusia tak lebih dari seonggok daging yang bisa dikendalikan dengan uang. Manusia tak lebih dari kuda pacuan. Maka ia menciptakan Squid Game agar orang bersaing berebut uang miliaran dengan membunuh kemanusiaannya sendiri. Lihat, dalam sistem yang rapi-tertib dan segala tersedia di gulag itu, para staf tetap melakukan korupsi dengan diam-diam menjual organ pemain Squid Game yang mati.
Barangkali ini juga sejenis permainan. Dong-hyuk mungkin sengaja menghentikan Squid Game di episode ke-9 ketika pertanyaan pokok yang ia tanyakan sendiri melalui pemain utamanya masih menggantung, untuk ia jawab di musim kedua yang akan tayang 26 Desember nanti. Dalam kapitalisme, rasa penasaran penonton adalah modal bagus mengeruk uang dan berjualan. Film Dong-hyuk mengingatkan bahwa kini manusia dan dunia berada dalam fase yang tak konvensional: bisa jahat tanpa perlu alasan.
Mungkin saya orang yang tak paham film, hingga mencampurkan moral ketika menilai karya seni. Bukankah seni lahir untuk menghibur? Jadi nikmati saja anasir-anasirnya: plot, akting, dialog. Justru di situ soalnya: seni menjadi tak menghibur ketika ia tak meninggalkan jejak dan makna yang membuat tiap kita merasa berharga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo