LIMA tahun lalu mereka masih naik bis kota, sekarang sudah mengendarai mobil pribadi. Lima tahun lalu mereka masih menumpang di rumah orangtua, kini sudah tinggal di rumah milik sendiri. Lima tahun lalu mereka masih belanja di pasar biasa sekarang di toko swalayan. Itulah sebuah sketsa yang ditangkap angket majalah TEMPO, seperti dimuat dalam penerbitan 23 Agustus 1986. Sebuah presentasi dan ikhtiar yang rendah hati untuk merekam dan memberitahukan apa yang terjadi dengan kemakmuran rakyat selama lima tahun terakhir ini. Tak ada waktu yang lebih tepat untuk melakukan sebuah stok opname seperti ini daripada sekarang. Bagi ekonomi Indonesia, lima tahun terakhir ini merupakan tahun yang penuh gejolak. Harga minyak turun. Devaluasi rupiah terhadap dolar harus dilakukan pada Maret 1983. Harga komoditi merosot begitu tajamnya, sampai ada yang harganya sama dengan harga tahun 1930. APBN menciut. Pertumbuhan ekonomi tersendat-sendat. Dan awan mendung masih meliputi sektor lapangan kerja. Sebuah profil dari 862 responden (yang dikirimi angket 1.000 orang) muncul, yang memberi kesan bahwa sekalipun angin ekonomi berubah arah, cuaca masih tetap cerah. Memang sulit untuk mengklaim bahwa responden ini merupakan figur yang representatif dari "rakyat Indonesia". Sekalipun distribusi geografis sudah diusahakan merata, toh lebih dari 40% responden tinggal di Jakarta. Lebih dari 90% merupakan wirasastawan dan karyawan. Dengan sendirinya mereka kurang mencerminkan lapisan masyarakat Indonesia yang makin bervariasi itu. Sekalipun demikian, responden yang dapat dijangkau itu sudah bisa bicara tentang sebuah kelas baru, yang laim disebut "kelas menengah", yang sedang muncul di Indonesia, dan yang pemunculannya ke depan didorong oleh pertumbuhan ekonomi selama ini. Sebagai kelas menengah, mereka memang pintar dalam memilih bentuk tabungan. Seperti diungkapkan dalam angket, deposito dan tabanas merupakan bentuk tabungan yang dipilih oleh lebih dari separuh responden, mengalahkan tanah dan rumah, yang hanya menarik 10% responden. Padahal, bentuk tabungan ini, terutama di kota-kota besar, merupakan bentuk tabungan yang paling banyak menghasilkan. Disukainya deposito dan tabanas ini barangkali bisa bercerita banyak tentang kebijaksanaan moneter pemerintah sekarang. Dengan inflasi yang hanya 4%-5%, dan dengan bunga deposito 14%-18%, maka tak ada bentuk investasi lain bisa mengalahkan bunga riil yang diperoleh dari deposito. Pemerintah sudah memenuhi tuntutan pihak bisnis untuk menurunkan harga BBM dan tarif listrik, tapi tuntutan lain dari kalangan bisnis -- supaya pemerintah menurunkan bunga pinjaman bank sampai sekarang belum gol. Mengapa pemerintah belum mau mundur? Mungkin bank-banknya belum efisien sebagai intermediari keuangan. Atau pemerintah masih khawatir penurunan bunga akan menyusup ke peningkatan impor dan pelarian modal -- dua hal yang, saat ini, masih sangat peka untuk neraca pembayaran setelah terpukul oleh merosotnya harga minyak. Disukainya deposito dan tabanas juga punya arti lain. Barangkali memang tak ada peluang menanam modal di sektor bisnis, karena belum berkembangnya pasar. Kalau demikian halnya, membanjirnya dana ke deposito menandakan bahwa hasil jangka pcndek merupakan faktor dorminan dalam putusan investasi. Dalam jangka panjang, ini jelas kurang baik. Setelah membelanjakan penghasilannya, para responden mengungkapkan bahwa tingkat tabungan mereka rata-rata 15%-20%. Kalau benar, maka tingkat tabungan ini hampir menyamai tingkat tabungan rakyat Jepang yang pelit, dan jauh di atas 4%-5% yang ditabung rakyat Amerika yang royal. Dari segi bisnis memang tak ada yang lebih menggairahkan daripada konsumen yang royal, yang sudah kejangkitan konsumerisme. Dari tingkat tabungan, yang diungkapkan para responden, memang belum bisa disimpulkkan tingkah laku konsumen Indonesia secara umum. Untuk hal ini perlu dikaji lebih jauh relativitas penghasilan pas-pasan, dan persepsi para konsumen tentang rasa aman. Kalau ada hal yang bisa menjadi perhatian pemerintah dari angket ini adalah bahwa sebagian besar responden masih belum mempercayai mutu produksi dalam negeri. Mereka berpendapat bahwa barang yang sama dari impor masih tetap lebih unggul. Barangkali sentimen seperti ini tidak terbatas pada responden TEMPO saja, tapi merupakan sebuah perasaan yang hidup di kalangan konsumen pada umumnya. Mungkin ini tidak adil bagi beberapa jenis produksi dalam negeri yang mutunya benar-benar sudah bagus. Tapi sebuah preferensi konsumen memang tak bisa dikikis oleh sebuah kampanye dan sebuah tindakan administratif. Pelarangan impor, misalnya. Angket TEMPO ini bisa dianggap sebuah landskap mini, sebuah miniatur, tentang apa yang dialami sebuah golongan dalam lima tahun terakhir. Lukisan yang dihasilkannya belum sempurna, tapi bentuknya sudah jelas kelihatan. Mungkin sudah waktunya sebuah angket yang sama dilakukan -- baik oleh TEMPO maupun pihak lain -- untuk mengetahui dengan scbenarnya apa yang terjadi selama ini dengan mereka: yang bekerja sebagai buruh di perkebunan ekspor buruh tani yang digeser oleh traktor dan huller, produsen tekstil tradisional yang tersingkir oleh pabrik-pabrik tekstil modern, atau mereka yang sudah di-PHK-kan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini