Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merah putih di puncak es krim

Ekspedisi jayagitri dari bandung: harry suliztiarto, sandy febiyanto, saman pakong, herry hermanu dan husein berhasil menaklukkan puncak eiger, swiss dari sisi barat laut. suka duka ketika mendaki. (sel)

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYO beri aku semangat. Jangan diam, jangan lesu," teriak yang di ujung tali paling atas. "Sikat terus. Hajar terus," sambut dua yang berada di bawahnya. Dan kemudian, tepat pukul 11.52 waktu setempat, 9 Agustus 1986, lima pemuda Indonesia yang terangkai dengan satu tali itu satu per satu mencapai puncak Eiger. Mereka lalu mengeluarkan bendera Merah Putih kecil yang mereka bawa dari Bandung. Kemudian sebuah Merah Putih besar pun mereka bentangkan. Pandawa lima itulah orang Indonesia pertama yang mengibarkan bendera Sang Saka di puncak gunung di negeri Swiss, yang sampai kini dikenal paling berbahaya bila didaki dari sisi barat laut. Mereka berpelukan, mata mereka berkaca-kaca, lalu semuanya saja berdoa. Harry Suliztiarto, yang berteriak itu, anak bontot dari empat bersaudara, lahir di Surabaya 6 Juni 1955. Lulusan Jurusan Patung Seni Rupa ITB ini memang punya hobi memanjat gunung sejak sepuluh tahun lalu. Wajahnya yang penuh cambang, tubuhnya yang kekar dengan tinggi 167 cm dan berat 58 kg memang mengesankan tampang seorang "penantang". Tapi coba dekati, pemuda ini punya selera humor tinggi, suka musik, dan fotografi. Selera humornya itu pula, agaknya, yang mendorongnya bikin kejutan akhir tahun, Desember 1979, di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sebagai peserta Pameran Besar Senirupawan Muda Indonesia, ia dan seorang temannya, Agus Ramona Hadi, tak memamerkan patung di ruang pameran yang disediakan. Tapi, patung itu dipasangnya di puncak atap gedung Planetarium, di kompleks itu, yang licin bagaikan sebuah gundul putih, 25 meter dari tanah. Dan total, naik-turun gundul, mereka membutuhkan waktu delapan jam. Agar selamat dari perhatian, pemasangan patung mereka lakukan mulai pukul 20.00, ketika sekitar Planetarium sepi dan tak begitu terang. Orang yang suka pada hal-hal yang tak lazim inilah ketua ekspedisi Eiger. "Saya senang dapat mengibarkan Sang Merah Putih di puncak gunung yang oleh tiap pemanjat gunung diidam-idamkan itu." Pagi itu, 27 Juli 1986, sekitar pukul 08.30 cuaca sangat baik. Matahari bersinar terang, langit biru, awan tidak begitu banyak. Namun, angin tetap dingin semilir. Sehabis makan pagi di Kleine Scheidegg -- desa terakhir sebelum dimulai pendakian -- mereka berangkat menuju basecamp yang telah mereka survei sebelumnya, persis di kaki Eiger. Setiap orang membawa 2 buah ransel dan mengenakan pakaian tempur. Sebuah ransel makanan untuk 16 hari, seberat 10 kg. Di samping itu, masih ada persediaan makanan untuk 5 hari, masuk dalam ransel perlengkapan tidur. Mereka berjalan penuh semangat tapi kelihatan tegang. Mereka sampai di basecamp tanpa banyak bicara, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Setelah selesai beres-beres, membenahi barang yang akan dibawa duluan, mereka membicarakan rencana jalur yang akan mereka ambil. Tepat pukul 10.30 waktu setempat, tim start dari basecamp menuju lidah salju. Jalan begitu nanjak. Berjalan di depan, Harry Suliztiarto, yang pernah mengecap pendidikan ice climbing di Leysin, Swiss. Luas lidah salju sekitar 5 x 15 meter, dengan kemiringan kira-kira 50. Di ujung lidah ditemukan crevasse, patahan lapangan es, sedalam kurang-lebih 3 meter. Baru, 10 meter di atas crevasse diperoleh tempat untuk penambatan. Etape I sebenarnya cukup gampang ditempuh, dengan syarat harus bisa menghilangkan pikiran bahwa yang mereka panjat adalah Eiger. "Soalnya, Eiger punya banyak cerita seram. Otomatis, medan yang sebenarnya gampang bisa tiba-tiba terasa susah, dan kami memanjat lamban," kata Harry. Seperti diceritakan oleh buku-buku tentang Eiger, kualitas batuan pada etape I sangat buruk. Tersusun dari tumpukan serpihan-serpihan, dinding di sini memang gampang ambrol. Atau, tiba-tiba copot sewaktu dipasang pasak. Di ujung lapangan es ketiga baru didapatkan tempat yang cukup bagus untuk menyimpan ransel. Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 17.30. Kabut mulai datang menutupi 2/3 tubuh Gunung Eiger. Angin pun terasa lebih dingin. Pemanjatan tahap pertama ini telah minta korban. Seorang anggota tim, Saman Pakong, kejatuhan batu runtuh. Untung, ia sempat menangkis "meteor" itu. Tapi jam tangan tercinta mental dan lenyap entah ke mana. Mereka hari itu kerja lebih kurang 14 tahapan atau sekitar 14 x 45 meter tali. Mereka kelihatan lelah, capek, dan tangan mereka gemetaran, karena mereka belum makan siang. Setelah mengganyang makan siang dan makan malam ditambah vitamin, kelima pendaki siap menuju peraduan masing-masing. Di saat inilah terdengar suara batu runtuh, lama sekali. "Bagaimana dengan tali yang terpasang?", pikir Harry. Ia, dan tentunya juga yang lain, tahu benar, tali yang ketiban batu bisa cacat, dan waktu dipakai bisa putus. Tapi karena tak apa pun bisa mereka perbuat di malam secapek itu, tidur tampaknya alternatif terbaik. Sampai dengan hari keempat, 30 Juli, tak ada yang perlu dicatat. Semua begitu lancar. Dua anggota tim termuda, masing-masing 26 tahun, adalah Achmad Husein dan Sandy Febiyanto. Yang pertama sungguh bertentangan dengan ketua ekspedisi yang bercambang itu: wajah Husein licin tandas. Pemuda hitam manis dengan tinggi 160 cm dan berat 51 kg ini adalah mahasiswa tingkat akhir Akademi Teknik Nasional di Bandung. Bila tak sedang di gunung, ia selalu berpakaian necis. Anak ke-10 dari 12 bersaudara mulai belajar memanjat tebing tiga tahun lalu, dibimbing oleh Harry yang memimpin ekspedisi ini. Ia cowok Bandung asli, masih bujangan. Adapun Sandy, pemuda Jakarta yang demi hobi lalu bekerja di Bandung, di PT Jayagiri. Dari kelimanya, ahli memanjat batu kering ini paling tinggi, 173 cm, dan juga paling berat, 65 kg. Bujangan ini tidak suka es. Bukan minum es, tapi kurang suka mempelajari seluk-beluk dinding gunung bersalju. "Apabila medannya memutih, wah, itu bagian kepala ekspedisi untuk berjalan di depan," katanya. Pada hari ke-5, sejak pagi cuaca jelek, mendung, kelabu, dingin. Permukaan Eiger tertutup kabut tebal, jarak penglihatan terbatas hanya beberapa puluh meter. Tiba-tiba, samar-samar kelihatan dua orang jauh di sebelah kanan, sedang berusaha naik rute normal. Yakni rute yang telah sering dijejaki banyak pendaki. Semua merasa senang, rasanya ada teman. Mereka teriak, saling menyapa: Hello, Good morning, Gutten morgen, Hai, dan lain-lain. Pokoknya, segala macam sapaan dilontarkan. Terdengar suara jauh sekali: How are you? Seterusnya suara tidak tertangkap karena gema. Tak peduli mereka dari mana, tapi yang jelas menambah semangat. Di sebuah tempat sepi, dingin, penuh maut, bertemu sesama manusia rasanya benar-benar senasib sepenanggungan. Herry Hermanu mungkin anggota ekspedisi yang tampak paling kurus. Bujangan ini gayanya memang kemanja-manjaan. Wajahnya agak bercambang, tapi tak selebat punya Harry. Dengan tinggi 171 cm dan berat badan 58 kg, dengan rambut panjang tapi tipis -- malah kepala tampak sedikit botak -- tampangnya mirip pendekar jagoan yang agak sinting dalam cerita-cerita silat. Tapi itulah, anak sulung dari lima bersaudara ini memang kocak: piawai menuturkan cerita lucu yang sedikit jorok. Ia periang, banyak tawa. Pengalaman pendakiannya, bolehlah. Gunung Parang, Carztens, dan Ponot pernah dijamahnya. Anak Banjar yang lahir 29 tahun lalu ini tinggal di Bandung bersama neneknya, sementara ayahnya, purnawirawan TNI AD, tinggal di Jakarta. Kami perkenalkan, anggota terpendek dan terkecil, Saman Pakong, putra Bandung yang lahir pada 31 tahun lalu. Sulit dipercaya bahwa ia pun pemanjat gunung. Coba, tinggi 162 cm, berat 50 kg, berkaki kecil khas pelari maraton. Tapi dia inilah dalam ekspedisi Eiger tahun lalu yang gagal -- tertimbun salju, dan beberapa lama tak ingat diri. Anak ke-7 dari delapan bersaudara ini memang punya hobi lari. Baru menambah climbing dalam hidupnya sejak enam tahun lalu. Sekitar pukul 12 Sandy dan Husein sudah menghilang ke balik lintasan berikut, setelah bekerja dari pukul 08.15. Yang di bawah terus melakukan tugasnya: mengikat dan mengangkut barang-barang ke atas. Beberapa kali tubuh-tubuh mereka terlempar, genteyongan. Ditambah dengan beratnya ransel yang audzubillah, semakin lengkaplah rasa capek di tangan. Akhirnya, Harry sampai di bekas bivak tim Cekoslovakia. Di sini ia melihat sarung tangan wol 1 biji dan 2 pasak yang tertancap pada celah, kemudian tali usang yang terjuntai dari atas berakhir di ceruk ini. Ia perkirakan itu tali dari pendakian sepuluh tahun lalu. Tak lama kemudian muncul Saman dengan napas terengah-engah, menandakan ia baru saja menyelesaikan perjalanan yang berat. Tidak lama Harry muncul, dengan kondisi tak berbeda: kecapekan yang sangat. Gelegar petir memecahkan telinga. Gaungnya berkali-kali memantul dari dinding gunung. Hujan segera turun. Kepanikan mulai terasa menjalari para pendaki. Rasanya, ingin cepat turun ke bivak bawah, begitu tentu mereka. Tidak lama kemudian hujan pun turun. Ketiga mereka turun satu per satu dalam hujan, kabut tebal, dan suara petir. Semakin malam hujan semakin lebat. Tak apa pun terjadi, yang bisa mengganggu pemuda-pemuda yang mencoba "menaklukkan" alam ini. Pada hari ke-6, cuaca berkabut tebal. "Memang dua hari ini dan kemarin cuaca mendung, berkabut," ujar Deden, anggota tim yang ditugasi menjaga basecamp. "Saya tidak bisa memonitor pemanjatan, sedih rasanya". Dari bawah (basecamp) kadang-kadang terdengar longsoran bergemuruh -- entah batu atau salju dari gletser Eiger. Suara itu menambah seram suasana, menambah waswas di hati. Suaranya benar-benar menakutkan. Menurut cerita para pemanjat, setelah mereka turun, itu suara longsoran salju dan runtuhan batu. "Kadang ada pecahan batu berdesing di atas kepala kami. Masya Allah, suaranya seperti pesawat jet," seorang pemanjat menulis dalam notesnya. Hari ke-7, cuaca terang. Pemandangan bagus sekali. Terdengar suara asing, seperti suara orang. Ternyata, dua pemanjat yang kemarin sedang meneruskan pemanjatannya. Di bawah mereka ada dua orang lagi. Cihuy! Rame, nih, ye. Hari ini Harry dan Saman Pakong yang membuka jalur. Jalur pemanjatan yang menyajikan banyak overhang, dinding yang menonjol ke luar, besar-besar. Mereka harus jeli mencari lintasan agar tidak langsung menghadapi overhang. Ketinggian yang dapat dicapai setelah enam hari kerja baru setengahnya, sekitar 2.800 m. Tiba-tiba terdengar suara lagi -- masya Allah, ada tiga orang di atas, dua orang di bawah, antre mendaki rute normal. Agaknya, rute normal sangat populer dan diminati para pemanjat gunung. "Tapi yang tak habis kupikir, mereka semua yang memanjat rute normal pada memanfaatkan tali-tali yang menjulur ke bawah, bekas kepunyaan tim sebelumnya yang ditinggalkan," ujar Harry, heran. "Bagi saya pribadi, hal ini selalu saya hindari -- semacam etika. Terus terang sampai sejauh ini kami sepakat untuk tidak berbuat semacam itu. Ada semacam perasaan tidak jujur melakukan hal itu." Tiba-tiba Sandy nyeletuk, "Rasanya, aku pengin putusin tali-tali itu". Pukul 12 siang helikopter REGA, suatu grup penolong kecelakaan, meraung-raung di atas Eiger, mungkin ini pengecekan rutin. Apalagi kali ini yang memanjat Eiger banyak, setidaknya ada lima tim, termasuk tim Indonesia yang satu-satunya mengambil jalur "pillar kanan". Setelah mengangkut ransel makanan, tiba-tiba Pakong muncul dari atas. Katanya kehabisan paku. Pengaman di atas jelek-jelek, dan terpaksa dibor. Saat itu Harry, ketua ekspedisi, merasa bimbang, mungkinkah menyelesaikan tahap sekarang di bawah 10 hari. Sebab, dalam prakteknya, dua hari manjat, sehari kemudian cuma ngangkut barang atau pindahan. Waktu bisa habis untuk mengangkut ransel makanan. Waktu makan malam, persoalan ini didiskusikan. Harus berani memutuskan untuk membawa perbekalan satu rancel saja, dibawa sendiri-sendiri biar bagaimanapun beratnya, tapi karena itu kita tidak pulang balik -- demikian akhirnya kesepakatan. Jadi, mereka akan membawa beban maksimal, yakni makanan hanya untuk enam hari. Lalu dipilih jalur yang kira-kira sesuai dengan kapasitas makanan. Semua setuju. Dan ini memang satu keputusan yang berani. Esok harinya, hari ke-8 pemanjatan, berdasarkan kesepakatan semalam, dibuanglah 5 buah ransel, 105 bungkus makanan, 60 mata bor, 11 kaleng gas, yang berat keseluruhan sekitar 25 kg, dari ketinggian 2.800 meter. Memang dengan setiap pemanjat dibebani 2 jenis ransel 1 ransel perlengkapan tidur dan alat-alat pemanjatan dan 1 ransel lagi berisi perbekalan makanan dan air -- laju pendakian jadi lambat. Dengan 2 ransel ini menyebabkan setiap 2 hari pemanjatan, yang sehari penuh hanyalah digunakan untuk mengerek 2 ransel tersebut ke atas. Praktis hari itu hanya ada nol meter pemanjatan. Maka, kini beban tiap orang hanya ransel seberat lebih kurang 20 kg, berkurang 5 kg dari semula. Hari itu untuk mencapai bibir barat tinggal lebih kurang berjarak satu gulung tali. Tahap berikutnyalah yang jadi masalah. Sebelumnya mereka sudah menduga bahwa lintasan berikut itu tanpa celah dengan kemiringan dinding lebih dari 90. Memang, waktu itu mereka masih menyimpan sekitar 150 mata bor. Namun, untuk melintasi tahapan tersebut (kurang lebih 700 meter), dibutuhkan sebanyak 15 gulung tali. Dan bila lintasan sama sekali tidak bercelah atau tidak ada retakan, untuk satu gulung tali akan memakan 15 sampai 20 mata bor. Artinya, dibutuhkan paling sedikit 225 mata bor. Dari mana harus mendatangkan 75 mata bor lagi, sementara mereka bergelantungan di ketinggian 3.000 m ? Belum soal waktu. Bila satu pengeboran membutuhkan 15 menit demi amannya, total diperlukan 225 x 15 menit, atau sekitar 56 jam. Itu berarti 6 hari (sehari 9 jam kerja). Ditambah 3 hari untuk mengerek barang, maka untuk melintasi tahapan tersebut dibutuhkan 9 hari lagi. Itu berarti mereka harus membawa setidaknya 3 liter air minum, bila kebutuhan minum minimal per orang 1/2 liter per hari. Dari mana air diperoleh jika lintasan di atas benar-benar overhang daerah yang miskin air? Sedangkan kemampuan membawa air tiap orang hanya untuk 5 hari? Itu sebabnya, selain membuang sebagian perbekalan agar kecepatan memanjat diperoleh, juga dicari jalan lebih pendek, berbeda dari semula. Alhamdulillah, hari ke-9, 10, dan 11 dilalui dengan aman. Pada hari ke-12 mereka sampai di bivak, tempat peristirahatan, yang ke-7. Esok hari di bivak ini, 3.300 m, cuaca sangat bagus, meski awan bergumpal-gumpal. Sebentar sempat hujan butiran-butiran salju -- pertanda akan datang badai? Untuk sementara di Dinding Barat, hangatnya sinar matahari terasakan. Bila orang menghadap ke Kleine Scheidegg, desa terakhir, maka tampak di kiri Gunung Monch dan Jungfrau. Di balik gunung-gunung itu gumpalan awan hitam, tebal. Masya Allah, itulah badai. Di tempat terbuka, luas, tanpa ada dinding yang menahan derasnya angin, temperatur cepat sekali berubah. Butir-butir air hujan yang jatuh, tiba-tiba, berubah seketika menjadi butiran-butiran es. Sekitar pukul 17.00 Herry, sebagai orang terakhir, masuk ke Dinding Barat. Wajahnya berseri-seri. "Gimana, Cak? Asyik di situ?" tanya Herry. "Asyik, Her. Ayo," jawab Harry sambil menggigil kedinginan setelah hampir 4 jam dihantam hujan dan angin kencang. Badai dari balik gunung memang datang, seperti yang dijanjikan oleh awan hitam tadi. Hujan semakin deras, angin semakin kencang, sekarang awan berubah hitam gelap. Di sini, barang-barang yang terasa memberatkan pemanjatan berikutnya terpaksa ditinggalkan. Di dalam ransel yang dibawa hanya tersisa jaket, sleeping bag, cincin kait 5, sling 5, paku 5, dan tali. Lalu palu, crampon, ice axes, satu bungkus makanan siang, dan air 1/2 liter. Sejak dari bivak 7, mereka bergerak bersama tanpa pengaman tali atau pengaman apa pun lagi. Cuaca semakin gelap, angin semakin keras, hujan salju semakin besar. Dinding batu hitam di depan kini telah berubah putih. Salju yang menutupi dinding itu masih sangat rapuh. Agar memenuhi syarat dipanjat, diperlukan waktu minimal semalam dengan temperatur yang dingin sekali agar salju membeku. Cuaca semacam ini sangat berbahaya. Batu-batuan acap kali rontok, lepas, dan memang itulah salah satu sebab Eiger jadi terkenal: bahaya itu justru mengundang para pendaki gunung untuk mencobanya. Setiap kecerobohan langkah, baik ke atas maupun ke bawah, membuat batu-batu berjatuhan. Di sela-sela pemanjatan bebas dan berbahaya ini, sering terlintas pada benak mereka untuk memakai tali dan pengaman. Tapi demi kecepatan, agar mereka tak kehabisan air, terpaksa keinginan itu dibunuh. "Akhirnya aku bisa melihat puncak Eiger dengan jelas pada hari ke-13 pemanjatan, sekitar pukul 7 malam. Gelap, menyeramkan sekali sampai bulu kudukku meremang. Entah mengapa, mungkin aku teringat cerita tentang jiwa-jiwa yang menjadi korban untuk menggapai puncak ini," itulah selembar dan catatan harian Harry Suliztiarto. Pada hari ke-13 itu, di ketinggian 3.600 meter bila terjadi badai dan hujan es, suhu udara akan lebih dingin. Dan ini akan mematirasakan tubuh yang tidak terlindung, seperti hidung, daun telinga, juga jari-lari tangan. Sarung tangan mereka umumnya sudah sobek-sobek. "Dalam kesendirianku aku bertumpu tegak pada batu, aku merasakan kengerian yang luar biasa. Tiba-tiba batu pijakan kakiku ambrol. Untunglah, aku sempat menyambar pegangan yang lain," Harry menulis catatan harian. "Batu berhamburan ke bawah, gemuruh bunyinya. Tiba-tiba aku mendengar teriakan-teriakan . . . Pakong, Pakong kena . . ., Mas. Pakong kena! Masya Allah terlihat jauh di bawah, tubuh berjaket merah telentang di hamparan salju, diam. Aduh, Pakong!" Barangkali inilah kecelakaan terberat yang dialami tim ekspedisi Merah Putih ini. Diceritakan kemudian, dengan berteriak-teriak, Harry menanyakan apanya Pakong yang kena. Sambil, ia sendiri tetap mencari keseimbangan, karena kakinya belum juga mendapat pijakan yang meyakinkan, setelah batu yang menjadi tumpuan kakinya ambrol. Tapi tak ada jawaban. Suara Harry hilang ditelan suara badai. Ketika ketua ekspedisi ini memperbaiki pegangannya, celaka, ia malah memegang batu yang sudah hampir lepas. Dan tiba-tiba pegangan yang satunya juga lepas. Ambrollah tubuh itu dari dinding bersama batuan yang rontok. Padahal, ya, Tuhan, ia tidak bertali dan tidak berpengaman sama sekali. Kemudian di buku hariannya, bisa dibaca: "Mati aku, pikirku. Aku melayang berputar bebas bersama batu-batu. Yang aku rasakan hanyalah sekitarku terlihat terbalik-balik. Aku merasa meluncur sangat cepat. Dinding-dinding batu di sampingku semakin mengabur, badanku terempas berkali-kali. Aku sadar, aku berteriak-teriak sekuat tenaga setop . . . ayo setop . . . aku tak mau mati! tiba-tiba terlintas muka istriku, terlintas ibuku dan bapakku. Sebentar daya luncurku terhambat, kemudian meluncur lagi. Sekali lagi aku berteriak setop . . . setop . . . secara refleks aku kerutkan jari-jari tanganku seperti gerakan mencengkeram. Dan . . tiba-tiba rasanya ada yang menahanku, dengan ajaib aku berhenti di ujung jurang yang menganga hitam. Alhamdulillah -- Tuhan Mahabesar!" Beberapa saat ia tak berani menggerakkan badannya karena setiap detik ia bisa meluncur lagi. Samar-samar ia mendengar suara dari bawah, suara Husein. "Herry . . . Herry kena! . . . " Terlihat, di bawah, tergeletak dua tubuh berjaket merah dalam posisi menelungkup. "Kepala Herry kena batu Mas!" teriak Husein dari bawah. "Bagaimana dia?" tanya Harry. Eiba-tiba Herry mengacungkan tangannya, rupanya ia masih sadar. Waktu itu Sandy bergerak naik ke arah Harry, dan Husein ke arah Pakong dan Herry. Badai seperti tak mau tahu. Tetap bertiup kencang. "Saya merasakan kesendirian yang mencekam, suasana hening seperti di suatu rumah duka," tulis Harry, ketika ia tak berani bergeming sehabis terperosot itu. Sesampai di atas, Sandy menarik badan Harry agak ke dalam. Wajah si ahli pemanjat batu itu tegang sekali. Saman Pakong kena rontokan batu waktu pijakan kaki Harry ambrol. Dada sebelah kiri yang kena, karena itu ia pingsan beberapa menit. Sedangkan Herry Hermanu kena rontokan batu berikutnya, yakni waktu pegangan Harry ambrol. Salah satu batu tersebut mengenai Herry pada belakang telinga dan bahunya, ia pun pingsan seketika. Begitu sadar, Pakong datang ke tempat Herry kemudian menyalami dengan tangan kanannya sambil berkata dengan suara yang terputus-putus, "Kita selamat, kita selamat ...." Harry mencoba berdiri, kedua lutut, tulang ekor, dan rusuk kirinya terasa sakit bukan main. Jangan-jangan ada yang patah. Tapi waktu dicoba menggerakkan jari kaki dan jari tangan, terbukti semua beres. Gulungan tali yang Pakong kalungkan di leher mulai diurainya. Maksud wiraswasta ini, itu untuk mengamankan Harry. Di saat itulah terdengar Herry mulai berteriak-teriak, tapi tak jelas ia omong apa. Akhirnya semua dapat berkumpul di tempat waktu Harry terjatuh. Tidak ada yang tahu jam berapa waktu itu, juga berapa suhu udara. Yang jelas, tempat air yang baru saja dikeluarkan dari ransel hampir separuh isinya mulai mengeras, membeku. Padahal, belum setengah jam berada di luar. Tetap tak ada penjelasan mengapa Herry berteriak tadi, dan apa yang diteriakkannya. Untuk menanyakan kepada yang bersangkutan pun, agaknya mereka segan, mengingat kejadian yang hampir membawa korban tadi. Sehabis bencana itu muncul pula persoalan yang menjengkelkan, tapi terasa lucu juga. Makan malam Sandy dan Pakong ternyata sudah habis. Mereka tidak lagi punya sejumput makanan pun. Padahal, semua membawa jumlah makanan yang sama. Terpaksa jatah dibagi. Malam itu dinginnya luar biasa, 6 lapis pakaian penghangat masih juga kurang. Semua menggigil. Ini mungkin akibat cedera dari musibah sore tadi. Tapi Sandy juga menggigil, Husein juga, padahal mereka tak cedera. Jadi, ini mungkin karena jatah makan yang dibagi itu, hingga semuanya kekurangan kalori. Jalan satu-satunya, menghibur diri, sebentar lagi pagi cerah datang, matahari bersinar terang. "Semalaman aku dicekam suasana kesunyian yang luar biasa. Bau kematian sore tadi terasa sangat dekat denganku," Harry mencatat. Menjelang tengah malam, di tengah deru badai dan kilatan petir, terdengar sayup-sayup suara orang bernyanyi lagu Sunda. Entah lagu apa tidak ada yang memperhatikan. Suasana jadi terasa absurd. Seperti berada di awang-awang, kata mereka. Menjelang pagi, bintang mulai tampak pertanda besok cuaca pasti bagus, terang, dan hangat. Tapi lagu Sunda itu, benarkah memang ada yang menyanyikan, atau sekadar halusinasi? Pagi sudah menampakkan sinarnya. Salju semalam telah mengeras. Batu-batu yang mudah lepas saat ini akan terekat dalam jalinan salju yang mengeras. Ini memudahkan pendakian. Tidak begitu memerlukan waktu untuk memilih pijakan. Sarapan hanya kacang mente, dan minum sisa tetesan air yang membeku dari botol plastik. Tapi inilah hari ke-14, kurang dari 300 meter lagi adalah puncak Eiger. Betapa. Pada waktu menuju puncak mereka sepakat untuk terikat dalam satu tali. Ini keputusan spontan, dengan pertimbangan yang tak jelas. Mungkin cerminan dari rasa persaudaraan, jauh di atas bumi. Sebagai orang pertama Harry Suliztiarto, lalu menyusul Sandy Febiyanto, Saman Pakong, Herry Hermanu, dan terakhir Achmad Husein. Mereka moving together, agar gerak memanjat hari terakhir ini lebih cepat. Tapi gaya gerak ini memerlukan kehati-hatian yang ekstra. Apabila salah seorang tergelincir, orang berikutnya yang bertugas mengamankan lengah, maka ia akan ikut terseret dan orang yang berikutnya pula akan terseret dan seterusnya, karena beban menjadi semakin berat. Ah, ya itulah, rupanya. Keterikatan bersama, selain menyimbolkan kebersamaan, juga peringatan agar semua saja bertindak hati-hati . Pagi semakin cerah. Rasa dingin hilang. Badai dahsyat semalam berubah jadi angin semilir, menelusup ke dalam sanubari, membentuk keyakinan bahwa siang ini, hari ke-14 pemanjatan, puncak segera dicapai. Setelah berdoa mereka pun mulai bergerak. Tiga jam sudah mereka memanjat tanpa henti. Di hadapan mereka kini terlihat jelas batas batu-batuan yang terselimuti salju dan langit biru. Betapapun rasa capek dan sakit-sakit di tubuh, semangat memanjat tambah berkobar. Seakan-akan mereka mesin yang sudah dipanaskan. Batas batu dan langit cuma mengisyaratkan satu kemungkinan: puncak Eiger sudah dekat. Lapangan salju semakin menebal dan keras. Garis cakrawala di kiri dan kanan mereka menajam menuju satu titik. Mereka semua yakin, titik pertemuan tersebutlah puncak Eiger. Napas semakin memburu, degup jantung terasa bekerja ekstra, rasa capek tiba-tiba hilang seketika. Di sepanjang jalan menuju ke puncak ini, Harry yang paling atas, sering berteriak kepada yang lainnya: memberi semangat, atau sebaliknya. Suara teriakan-teriakan memang terasa bagaikan tonikum penambah tenaga. Salju yang selama ini mereka takuti, kini bagi anak-anak negeri tropis itu seolah cuma tumpukan pasir. Beberapa puluh meter ke puncak, gugusan salju terasa semakin mengeras. Terpaksa mereka semua berhenti untuk memasang crampon, sepatu bercakar. Puncak Eiger sungguh sebuah tantangan, yakni bila ditempuh lewat dinding barat laut. Ada yang bilang gunung ini mirip sebuah gundukan es krim. Lalu, sebuah sendok besar, mengerok sisi barat laut itu. Jadilah sebuah lekukan mirip sendok dengan cekungnya menghadap ke luar. Dinding seperti itulah yang menantang bagi pemanjat-pemanjat gunung. Banyak dinding miring hampir tegak lurus, bahkan miring lebih dari 90. Tinggi Eiger memang tak seberapa 3.970 m, kurang dari tinggi Puncak Everest di Pegunungan Himalaya. Tapi medannya sunuh berbahaya. Mereka yang benar-benar punya lisensi seorang pemanjat gunung baru boleh menapakkan kakinya di sini. Cuacanya tak mudah ditebak, sebentar badai, sebentar cerah. Dindingnya yang selalu basah akibat pertemuan tiga angin dari Prancis, Laut Atlantik, dan Laut Baltik. Lalu saljunya, yang sering meleleh tiba-tiba menggelincirkan pemanjat yang lagi sial. Dan jenis batuannya, limestone, yang mudah rontok. Tujuh tantangan disediakan oleh Eiger bagi para penantang alam. Jatuh tergelincir karena salju tiba-tiba leleh. Kepala muncrat terkena batu yang ambrol. Pemanjat menjadi beku diterpa angin salju. Keempat, mungkin ini yang paling gila, terperangkap dalam ceruk, naik mustahil turun pun dihadang maut. Mati lemas dan kedinginan adalah kemungkinan terbesar, bila keajaiban tak muncul. Yang kelima, seorang pemanjat bisa saja terperangkap di gantungan tali, mengxelantung antara langit dan bumi. Atau, bisa juga karena mental yang tak kuat, lalu bingung, tali panjatan pun menjirat leher. Dan, akhirnya, batu-batu yang mudah ambrol memang menjanjikan sang pemanjat jatuh terbanting-banting, kepala remuk, tulang-tulang remuk. Ada cerita, entah sejauh mana kebenarannya, beberapa pendaki yang sukses, mengalami shock karena lolos dari bahaya-bahaya mengerikan itu, dan bertingkah laku agak aneh di sisa hidupnya. Gawatnya Eiger terlihat juga dari kuburan di kota Grindelwald, tempat para penunjuk pendakian gunung yang mengalami kecelakaan dimakamkan. Biasanya, di nisan dituliskan sebab-sebab kematian mereka. "Jatuh dari puncak Jungfrau," umpamanya. Jungfrau, salah satu puncak tetangga Eiger. Tapi yang meninggal dalam pemanjatan Puncak Eiger cukup dituliskan dalam satu kata yang cukup menggetarkan: "Dinding barat laut Eiger." Bahkan sebuah makam cuma bergambarkan replika Puncak Eiger. Nama itu, konon dari bahasa Latin Egere, sudah cukup memberikan informasi tentang kegawatan si gunung. Sudah pada tahun 1850-an Eiger didaki orang, tapi lewat dinding yang bukan barat laut. Baru pada 1938, setelah hampir 30 orang jadi korban, dua orang Jerman, Anderl Heckmair dan Ludwig Vorg, masing-masing 32 tahun, sukses memanjat dinding barat laut Eiger sampai ke puncak. Hingga 1977, tercatat 43 pemanjat gunung dari 10 negara tewas di dinding maut. Menyadari medan yang memang bukan main-main itulah, Tim Jayagiri kita demikianlah nama tim ini mempersiapkan diri dengan keras. Ini merupakan perjalanan mereka untuk kedua kalinya. Tahun lalu mereka gagal, karena memang belum begitu siap. Maka, untuk ekspedisi sukses kini, penggemblengan boleh dikata setahun penuh. Tanpa lowong, ada jadwal lari naik gunung bukit tiga kali seminggu. Angkat besi, praktis tiap hari. Berjalan di kabel baja, untuk melatih keseimbangan, pun sering dilakukan. Juga melatih otot-otot lengan untuk mengangkat atau menarik tubuh merupakan latihan pokok. Caranya, tangga baja digantungkan hampir horisontal, lalu mereka memanjatnya dari bawah. Tak tanggung-tanggung, ada pula latihan membawa beban ke gunung. Latihan yang ini memilih medan di Gunung Canggak, Jawa Barat. Gunung ini terletak antara Subang dan Sumedang, tingginya sekitar 2.000 m. Kaki gunung nyaris tertutup tumbuhan rambat. Tanpa beban, menurut penduduk sekitarnya, Canggak bisa didaki dalam waktu lima jam. Tapi tim Eiger menempuhnya dalam 10 hari. Betapa tidak, bila sebagai beban mereka membawa sebuah kayu gelondong seberat 70 kg, ditambah ransel untuk makanan dan perbekalan air. Semuanya, begitulah target latihan -- ya orangnya, ya kayunya, ya ranselnya -- harus sampai ke puncak dengan selamat. Latihan nyata kedua di Air Terjun Ponot, Sumatera barat laut. Air terjun ini tinggi lebih dari 400 meter, berdinding batuan jenis andesit. Dari atas, Sungai Ponot meluncurkan air bercampur kikisan pasir kuarsa yang memedihkan kulit. Bahkan, air terjun ini kadang-kadang membawa pula kayu gelondongan. Angin yang membawa percikan air sudah terasa pada jarak 150 meter, dan dalam tempo 3 menit yang berada di situ langsung basah kuyup. Rencana ekspedisi ini 21 hari sesuai dengan persediaan makanan yang dikemas dalam kantung plastik, yang sudah diperbaiki porsinya setelah dicoba pada ekspedisi kecil Canggak. Ponot, yang licin dan basah, adalah untuk membiasakan mereka agar tidak kaget memanjat Eiger, yang dikenal selalu tertutup kabut dan dindingnya selalu basah, berair, karena salju yang mencair. Hasil dari Ponot, bekal makanan harus diperbaiki mutunya guna melawan basah. Akhirnya memang sebuah sukses. Koran-koran Eropa memberitakan tim ini, yang telah merambah jalur baru dari dinding maut Eiger. Hidup, kata seorang pujangga entah siapa, justru terasakan maknanya dalam satu kegiatan yang seperti tanpa guna. Mungkin, para "Pandawa Lima" itu dan para pemanjat gunung yang lain -- memang merasakan itu. Yang jelas, tiap anggota tim ternyata punya kesan dan pengalaman masing-masing yang berbeda-beda. "Minggu pertama pemanjatan, saya merasa rindu kampung," kata Sandy Febiyanto, kelahiran Jakarta ini. "Lama-lama tak ada perasaan apa-apa, selain agar ekspedisi ini cepat selesai." Sandy, yang sempat mendekati Harry sewaktu yang belakangan ini terperosot, mengenang, "Saya melihat dengan jelas ketika ia meluncur ke bawah. Lalu Mas Harry bisa berpegangan pada batu. Tapi ia tak bergerak-gerak. Saya menduga ia memang tak bisa bergerak lagi. Sebentar aku jadi kacau karenanya. Untunglah, cuma sebentar. Malamnya kami tak sedikit pun menyinggung ihwal jatuh itu. Dan besoknya semua bergerak seolah-olah di hari kemarin tak apa pun terjadi." Ahli pemanjat batu kering ini ternyata tak begitu bangga dengan puncak. "Aku tak tertarik oleh puncak. Rasanya, lebih menarik retak pada dinding batu. Perasaan yang paling saya jiwai yakni pada saat akan keluar dari retak itu. Puncak hanya suatu kewajiban untuk menyelesaikan sesuatu. Kalau sudah sampai puncak, ya, selesai," tutur orang yang sehari-hari dikenal pendiam ini. Achmad Husein lain lagi. "Paling ngeri saat melihat teman akan celaka. Melihat Mas Harry jatuh, saya panik seketika. Tapi kami sepakat, seandainya salah satu jatuh, apa pun yang terjadi, yang lain harus menyelesaikan pemanjatan." "Waktu sampai di puncak, terasa seperti mimpi. Senang dan terharu, setelah sebelumnya nyaris celaka. Sudah sejak di bawah kita berikrar, mati sekalipun tidak mengapa. Tujuan kita mengibarkan Merah Putih di Eiger," kata Herry Hermanu yang sempat terbanting itu. "Hari itu saya tertimpa batu, waktu akan menolong Pakong yang kena batu dari atas. Saya tak sadar seketika." Sang kepala ekspedisi sendiri tak banyak bicara. Mungkin karena ia telah menulis sebuah catatan harian. "Saya senang bisa mengibarkan Sang Saka di Puncak Eiger. Saya akan memperbaiki kekurangan diri sendiri dan tim," cuma itu tuturnya. Dan kata Pakong, singkat, "Saya merasa bangga sekali." Ah, ya, hampir terlupakan, padahal ada satu orang yang begitu penting meski tak ikut sampai ke puncak. Namanya Deden Putra Darma Bhakti, kelahiran Jakarta, 14 Desember 1957. Dialah orang bawah atau baseman. Tugas pegawai negeri di Cabang Dinas Perburuhan Kodya Bandung ini menjaga segala kemungkinan. Jelasnya, ya, keselamatan para pemanjat itu. "Saya sedih waktu mereka berangkat memanjat. Komunikasi hanya lewat teropong dan senter. Tak ada radio. Saya hanya bisa berdoa. Kalau Eiger tertutup kabut, jelas saya tak bisa memonitor pemanjatan. Di sore yang cerah, tampak anak-anak istirahat. Rasanya, sedih tak ikut. naik," tutur bujangan yang sebetulnya juga seorang pemanjat gunung ini. Deden tinggal dalam tenda dan mendapat jatah makan sama dengan yang ke atas. "Rasanya, di bawah lebih tegang, apalagi waktu ada petir sambar-menyambar," katanya mengenang. Bahkan ia sempat lari ke desa terdekat Kleine Scheidegg. Pernah juga, entah mengapa, tendanya diserang, lalu diinjak-injak oleh seekor sapi. Deden memang tak menantang dinginnya es. Di basecamp suhu berkisar antara 4 derajat dan 14 derajat Celsius. Ada kesepakatan. Bila malam, sekitar pukul 21.30 waktu setempat, mereka akan saling berkirim kode. Lap lap kosong lap lap kosong, tanda aman. Lap lap lap .... terus-menerus, nah itu tanda bahaya. Untung, lap lap lap lap lap tak pernah diberikan. Akan halnya rencana pemanjatan ini sendiri, sudah sejak 1982 dirundingkan. Ide pertama datang dari Doddy Kasum, pengusaha muda yang menjual peralatan outdoor sport. Dan dia pulalah sponsor ekspedisi ini. "Eiger punya reputasi internasional, karakteristik gunungnya menantang," itulah alasannya. Dan, ia memang juga seorang rock climber. Sejak berangkat dari Indonesia, Tim Jayagiri memang telah memutuskan untuk mengambil teknik pemanjatan yang berbahaya, tapi cepat dan murah ongkos. Inilah sistem yang disebut Single Push Tactic, taktik sekali jalan. Maksudnya, para pemanjat berangkat dari basecamp dengan seluruh perlengkapan, memutuskan hubungan dengan penjaga kamp dasar. Dengan cara ini, selain hemat waktu, juga hemat, setidaknya, tali. Tentu, seumpama terjadi kecelakaan, pertolongan tak bisa cepat dilakukan, karena tali-tali tak ditinggalkan. Persiapan yang matang, latihan yang keras, rupanya, meyakinkan semua anggota tim untuk menempuh bahaya apa pun. Alhamdulillah, Tuhan beserta mereka. Cara lain, dengan memelihara jalur tali untuk naik-turun, disebut Himalayan Tactic. Tentu, cara ini memerlukan tali lebih banyak: dari basecamp hingga ke puncak tali-tali itu tetap terpasang. Lebih aman, memang, terutama bila terjadi apa-apa. Dan para penolong juga dengan gampang, lewat tali-tali itu, memberikan bantuan. Betapa cara yang diambil Harry dan kawan-kawannya sangat hemat, bisa disimak catatan ini. Ketika berangkat kelimanya membawa 100 mata bor, dan ternyata cuma terpakai 27 buah. Paku sebanyak 67, masih ada sisa 7 biji. Karena tak harus meninggalkan jalur tali, tim ini cuma berbekal 6 gulung tali. Tercatat, dua gulung rusak, ketika malam-malam terjadi batu-batu ambrol. Selebihnya, peralatan yang lain pun terhitung hemat. Mereka cuma membawa 9 pengait celah 45 cincin kait 30 cincin gelang 5 pasang jumar atau alat untuk naik dan 5 pasang alat untuk turun. Harry, kepala ekspedisi kita, tak suka melihat para pemanjat Eiger menggunakan tali-tali yang ditinggalkan oleh pemanjat beberapa lama sebelumnya, yang sukses. Di kalangan para climber memang ada sejumlah etik tak tertulis. Umpamanya, seorang atau sebuah tim tak akan mengulang satu rute yang sama sekali lagi, bila yang pertama mereka lakukan gagal. Mereka akan menunggu beberapa tahun, sebelum mencoba kembali merangkaki tebing-tebing miring yang pernah dicoba. Atau, memilih jalur lain. Memanjat gunung, tampaknya, memang merupakan olah raga yang aneh. Tak ada piala tahunan yang diperebutkan. Tak ada di antara para pemanjat saling tantang. Tak ada juga aturan berapa orang selayaknya tergabung dalam satu tim. Singkat kata, tak ada yang disebut angka atau nilai standar, atau siapa lebih unggul secara formal dengan ukuran yang jelas. Satu-satunya reputasi seorang pemanjat gunung, tulis Arthur Roth, seorang pemanjat gunung juga, dalam buku Eiger: Wall of Death, hanyalah diperoleh dari sahabatnya, yakni pemanjat yang lain. Seberapa tinggi si karib itu menghargai gayanya, kemampuannya, tekniknya, dan keberanian memanjatnya. Toh, rasanya tetap ada penghargaan, setidaknya rasa kagum, untuk mereka yang mempertaruhkan nyawa entah untuk apa itu. Bahkan, latihan-latihan yang gila-gilaan, boleh jadi, membuat banyak orang memandang aneh kepada para pemanjat. Seorang tentara komando yang berlatih memanjat tali dengan kedua tangannya tak akan ditanya untuk apa ia berlatih. Seorang pemain sepak bola, yang tiap hari melahap jarak puluhan kilometer, bisa dimaklumi untuk apa latihan ketahanan fisiknya itu. Sebab, bila ia kemudian menjadi tukang cetak gol, jutaan dolar menunggunya. Tapi seorang pemanjat gunung? Coba, melupakan kerja, Harry dan kawan-kawan tiga kali seminggu lari memanjat bukit. Seorang pemanjat dari California, konon, tiap hari berlatih memanjat tali dengan kekuatan kedua tangan sebanyak 1.200 kali angkat. Dan ini kedengarannya hanya mungkin ada dalam film silat: seorang John Gill dari Colorado mampu mengangkat tubuhnya menyusuri tebing tegak lurus hanya menggantol ke ceruk-ceruk tebing dengan satu jari: empu atau jari tengahnya. Yang kemudian menambah latihan keterampilan panjat dan ketahanan fisiknya dengan latihan spiritual ada juga. Umpamanya yang melakukan yoga, atau meditasi transendental jenis lain. Ada yang menduga, kegandrungan para pemanjat menyrempet bahaya disebabkan tubuh mereka memproduksi adrenalin lebih banyak. Itu berarti, dalam keadaan kritis, karena produksi adrenalin lancar, para pemanjat itu bisa tetap tenang. Setidaknya mereka tak akan pingsan. Tapi itu baru dugaan. Dan masih bisa dipertanyakan apakah hal itu bukannya diperoleh sewaktu mereka latihan -- jadi bukan bakat alam. Sebagaimana jems olah raga yang lain, memanjat gunung pun, bagaimanapun score mereka tak saling diperbandingkan, toh, tantangan selalu dengan sendirinya ditingkatkan. Kini, ketika praktis tak satu puncak gunung pun yang belum dijamah manusia, para pemanjat toh tak ingin mengulang sukses yang sudah-sudah. Itu berarti tantangan bahaya yang harus mereka hadapi lalu ditingkatkan. Puncak Eiger itu umpamanya. Setelah berbagai tim dari berbagai negara menjamahnya, sejak awal 1980 para pemanjat mulai berpikir-pikir, bagaimana seumpama gunung itu dipanjat sendirian, tanpa alat-alat pengaman yang selama ini dipakai. Padahal, pada awal 1800-an, para petani di kaki Eiger masih percaya bahwa memanjat Eiger -- sendirian atau berombongan -- itu tabu. Bukan karena bahaya yang menanti, tapi mereka percaya, di puncaknya berdiam sejenis raksasa (Ogre) yang menakutkan. Apa sebenarnya yang kaucari, wahai para pemanjat? Sudah sejak abad ke-18 para ilmuwan di Eropa mencoba mendaki Pegunungan Alpen. Bukan demi olah raga, tentu. Tapi, mereka mempelajari jenis batuan di gunung itu, kehidupan floranya, atau melakukan observasi meteorologi. Kegiatan inilah agaknya yang kemudian berkembang dan menjadi olah raga. Menurut Encyclopaedia of Britannica, pembuka jalan lahirnya jenis sport berbahaya ini adalah seorang ilmuwan muda, Horace Benedict de Saussure, dari Jenewa, Swiss. Pada 1760, ia mengumumkan semacam sayembara: akan memberi hadiah sejumlah uang kepada pendaki pertama Puncak Mont Blanc, gunung di perbatasan Prancis-Italia. Baru 25 tahun kemudian, seorang dokter bernama Michel-Gabriel Paccard dan pembantunya, Jacques Balmat, menuntut hadiah tersebut. Dan kemudian, kini tak lagi ada puncak-puncak gunung yang dianggap tinggi yang belum pernah didaki atau dipanjat oleh manusia. Perkembangan itu pun lalu membedakan antara mendaki dan memanjat gunung. Sekadar berjalan di lereng-lereng curam untuk sampai ke sebuah puncak, atau harus pula memanjat dengan tali di dinding-dinding batu yang tegak. Lalu gunung-gunung pun diklasifikasikan ke dalam dua jenis: yang tergolong sulit, dan yang termasuk keras. Dan dinding barat laut Eiger tergolong gunung yang "amat sangat sulit". Sungguh pantas bila Tim Jayagiri merasa bangga. Dan kemudian para pengusaha pun tertarik pada Eiger yang sensasional itu -- setidaknya produser film. Pada 1974 Hollywood datang ke puncak "Raksasa" ini, bersama bintang yang kini jadi wali kota, Clint Eastwood. Dibantu oleh sejumlah pemanjat gunung dari Inggris, jadilah sebuah film cerita berjudul The Eiger Sanction. Menemukan kebahagiaan, entah kedamaian dari mempertaruhkan hidup, itu barangkali yang mendorong sejumlah orang lalu menjadi pemanjat gunung. Seorang pemanjat gunung yang juga penyair Inggris, Geoffrey Winthrop Yons, menulis puisi begini: Tergantung antara ujung-ujung jari dan pinggir yang tajam dan kaki yang tegak pada bibir dinding batu, adalah hidup seorang manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus