KONGRES I Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi) sudah usai dua bulan lalu. Tapi salah satu buntutnya masih terlihat pekan lalu. Pada kongres itu, terpilih sebagai ketua umum Biksu Girirakkhito Thera, tokoh asli Bali yang menetap di Wihara Banjar, Bali utara. Tapi akhir bulan lalu, di Surabaya, Upasaka (pendeta) Djoekino, 47, Sekretaris Majelis Budhayana Indonesia -- satu dari tujuh sekte agama. Budha di Indonesia masih mempersoalkan kedudukan Biksu Giri sebagai orang pertama Walubi itu. "Biksu itu wakil Budha, tujuannya tiada lain mencapai nirwana. Orang yang sudah menjadi biksu harus melepaskan urusan duniawi," kata Djoekino, dalam konperensi pers yang diadakannya. Insinyur sipil lulusan Universitas Sumatera Utara ini secara panjang menjelaskan bagaimana seorang biksu dipagari berbagai aturan sesuai dengan ajaran Budha. Seorang biksu dari sekte Theravada -- seperti Biksu Giri -- dibatasi peraturan disiplin (vinaya) yang jumlahnya 227 pasal. Biksu dari sekte lain lebih banyak lagi -- umpamanya sekte Mahayana, 250 pasal. "Satu pasal saja dilanggar biksu, ia harus dihukum," kata Djoekino. Apakah Biksu Giri bisa melanggar pasal-pasal itu? Kemungkinan itu, menurut Djoekino, amat besar. Anggaran dasar Walubi menyebutkan, antara lain, Walubi sebagai wadah tunggal umat Budha menampung dan menyalurkan aspirasi seluruh potensi umat Budha untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. "Sudah tentu pengurus Walubi akan menghadapi berbagai persoalan yang bersifat duniawi," kata Djoekino, yang mengaku mendalami masalah vinaya dan sudah diwisuda sebagai upasaka dua bulan lalu. Contohnya. Ketika seorang biksu ditahbiskan dalam upacara yang dinamakan upasampada, ia harus mengucapkan sepuluh janji atau dasasila. Salah satunya: tidak akan menari, atau menyanyi, atau bermain musik, juga melihat atau mendengarkannya. "Ketika memperingati Hari Waisak, Walubi biasa mengadakan perayaan besar-besaran dan mengundang para pejabat. Dalam perayaan itu ada kesenian segala. Bagaimana seorang Ketua Umum Walubi yang juga biksu bisa hadir menemani pejabat di hari raya itu?" Jadi, "Tempatkanlah para biksu itu di tempat mereka sendiri, tempat suci yang tidak lagi bercampur duniawi. Toh masih banyak tokoh Budhis yang bisa memimpin Walubi," kata ayah dua anak ini. Yang terasa janggal, Djoekino sendiri ikut dalam kongres I Walubi (di Balai Sidang Senayan, 8-10 Juli) dan menganggap sah terpilihnya Biksu Giri. Kongres yang panas itu mencalonkan dua tokoh, Girirakkhito dan Sumantri M.S. -- yang terakhir ini ketua umum lama. Dan mayoritas dari 3.000 utusan akhirnya memenangkan Giri lewat pemungutan suara. Sumantri kalah -- dan tanda-tandanya sudah tampak sejak awal, ketika pertanggungjawabannya ditolak sidang. "Saya memang mengakui Bhante (panggilan kepada biksu) Girirakkhito sah terpilih. Tapi, apakah sah juga menurut ajaran Budha?" kilah Djoekino. "Lho, memangnya kenapa? Walubi itu 'kan organisasi keagamaan. Lagi pula, Bhante Giri tidak berkampanye. Bhante dipilih, bukan meminta," kata Khemawati, 52, Sekretaris Walubi Jawa Timur. Dosen agama Budha di Institut Teknologi Surabaya ini malah bersyukur seorang biksu bersedia memimpin Walubi. "Walubi ricuh terus-menerus. Untuk kerukunan itu perlu kehadiran Biksu Giri." Tentang vinaya ? "Biksu itu lebih tahu dari kita dalam hal ajaran Budha. Kalau biksu menerima jabatan itu, berarti tidak melanggar vinaya." Walubi dibentuk 1979. Pada saat pembentukan, memang ada upaya untuk tidak mendudukkan para biksu dalam kepengurusan. Terpilih waktu itu Soeparto. Tetapi orang ini tak tahan menghadapi berbagai kericuhan intern, apalagi menjembatani berbagai kepentingan sekte. Kongres luar biasa 1981 menjatuhkan Soeparto dan mendudukkan Sumantri M.S. yang juga dinilai para tokoh Budhis "belum berhasil merukunkan umat Budha". Puncaknya, di dalam Kongres, laporan pertanggunganjawabnya tak bisa diterima sidang. Sebuah tim khusus dibentuk, dan akhirnya -- supaya kongres tidak macet -- laporan diterima, dengan embel-embel "tidak memuaskan". Inilah latar belakangnya, kenapa Walubi menokohkan biksu alias ulama. Yang jadi sorotan, Biksu Girirakkhito, 60, datang pekan lalu ke Surabaya. Ia bermaksud mengadakan jumpa pers untuk menjelaskan duduk soalnya. Tapi dibatalkannya sendiri. Alasan: "Sama halnya melawan racun dengan racun." Apa boleh buat. Toh ia bersedia menanggapi Djoekino. "Walubi itu organisasi agama, seperti DGI, MUI, PHD," katanya kepada TEMPO. Jadi, tak masalah dipimpin biksu. Kalau Walubi itu maskapai dagang, biksu tak boleh ikut." Ia mengakui, ada pasal larangan seorang biksu menyanyi, berdansa, melihat pertunjukan seni. "Tapi itu jangan dipahami secara harfiah," katanya. Dalam keadaan terpaksa, misalnya, karena tuntutan keadaan, seorang biksu melihat tarian yang dibawakan wanita cantik. Lah, bagaimana? "Seorang biksu mampu mengunci pikirannya, tidak membayangkan yang bukan-bukan," jawabnya lagi. Apalagi, "menghindari jangan sampai melihat tarian, banyak caranya. Bisa menunduk, bisa membaca buku." Karena itulah Biksu Giri bersedia menjadi anggota MPR periode 1972/1977. Dan kini memimpin Walubi. Dosen agama Budha di Universitas Udayana, Denpasar, ini menjadi samanera (calon biksu) pada 1962, dan empat tahun kemudian diwisuda jadi biksu di Muangthai. "Ketika mau diangkat jadi anggota MPR, saya juga bimbang, dan bertanya pada guru saya di Muangthai. Ternyata, dibolehkan," tuturnya. Tenang, dah. Putut Setia, Laporan Choirul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini