Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pramoedya lahir berkali-kali. Pemerintah Orde Baru mungkin menyangka dan telah menganggapnya- "mati" setelah mereka mencoba "membunuh"-nya dengan pembuangan ke Pulau Buru. Ternyata dia lahir- dan lahir kembali dengan karya-karya tetratologi-nya yang terus-menerus diselundupkan, melalui sebuah gerilya- tersendiri; dijual secara bergerilya dan dibaca secara diam-diam oleh beribu, berjuta mata di dunia dalam 41 bahasa yang berbeda.
Dia "mati" lagi-paling tidak itu anggapan para musuhnya--dengan beragam hujatan dan dendam, bahkan setelah dia bebas dan menetap di kawasan Utan Kayu bersama keluarganya-. Dia- tetap lahir dan lahir kembali karena karya-karyanya- terusmenerus dibicarakan di mana-mana, penghargaan internasional terus dilimpahkan padanya, hingga namanya pun masuk dalam daftar calon penerima hadiah Nobel untuk sastra-. Pada akhirnya, Pramoedya bukan lagi sekadar sebuah nama, tetapi dia menjadi seperti sebuah gagasan, sebuah pemikiran, karena dia lebih identik dengan karya-karya sekali-gus sejarah hidupnya yang pernah dianiaya.
Apa yang ditulis sepanjang 16 halaman di majalah ini (baca rubrik Layar serta beberapa kolom dari penulis terkemuka, juga tulisan majalah ini beberapa kali pada tahun 1999) dan Catatan Pinggir oleh Goenawan Mohamad akan memperlihatkan sepak terjang Pramoedya sebagai seorang sastrawan besar, seorang aktivis Lekra di masanya yang pernah berpolemik dengan penanda tangan Manifes Kebudayaan, seorang tahanan politik yang ditahan di Pulau Buru, disiksa hingga pendengarannya hilang; seorang ayah dari banyak anak dan kakek dari banyak cucu, seorang sepuh yang banyak punya pengikut anak muda yang ter-pesona dengan gagasannya, seorang pencipt-a Indonesia yang namanya berkibar di luar negeri hingga ba-nyak produser tergiur mengangkat karyanya ke layar lebar. Tetapi- satu hal yang tak akan dilupakan orang: hingga akhir hayat-nya, dia nasionalis besar dan tak akan meminta maaf atas apa pun yang pernah dilakukannya.
Sikap nasionalistis, selain terpancar dari karya-karya-nya, juga terlihat dari sikap Pram yang berkali-kali me-nolak memberikan novelnya kepada para produser Hollywood (yang angka dolarnya sebetulnya jauh lebih menggiurkan dibandingkan dengan rupiah yang disodorkan produser Indonesia) dengan alasan, "ingin buku ini difilmkan oleh orang Indonesia dan menetap di Indonesia."
Yang juga terbawa hingga ke liang kubur adalah sikapnya yang keras tentang tindakan dan pemikirannya. Harap ingat, di masa lalunya pada tahun 1963, Pram menyerukan paham realisme sosialis dan menggasak humanisme universal. Di mata Pram, yang saat itu masih sangat militan ketika mengasuh Lentera, humanisme universal melemahkan cita-cita revolusi, cerminan kapitalisme Barat. Urusan masa lalu, yang bagi generasi masa kini menjadi polemik basi yang sudah habis dikunyah-kunyah, toh sebetulnya tetap "hidup" karena musuh-musuh Pram di masa lalu tak semuanya pemaaf dan berjiwa besar untuk melupakan pe-rangainya. Dan Pram tetap bertahan pada posisinya, bahkan hingga akhir hayatnya.
Semua polemik dan konflik yang pernah dihadapinya (dengan anggota Manifes Kebudayaan, dengan H.B. Jassin yang dianggap tak cukup membela para tahanan politik yang ditahan Orde Baru, dengan siapa pun musuh politik-nya di masa lalu) tidak membuat Pram berubah sikap se-iring usianya yang semakin renta. Pramoedya menganggap semua alasannya untuk bersikukuh sekeras batu itu logis, dan dia tak bersedia minta maaf pada siapa pun karena, "saya tak mau mengkhianati prinsip saya."
Dan para pengikutnya semakin mengaguminya, karena dia kukuh. Dan karena itu dia pun lahir kembali, setelah sepekan silam dia berpulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo