Dalam tulisan "Pembauran Pri dan Nonpri: Tergantung Filsafat Hidup" (TEMPO, 14 September 1991, Komentar), Drs. Mawardi Hasan menyebutkan berbagai upaya mempercepat pembauran, termasuk penutupan sekolah Cina dan melarang menggunakan aksara Cina, belum memberikan hasil yang diharapkan. Bahkan, ia menambahkan bahwa yang bisa mengubah seseorang adalah filsafat hidupnya. Dalam surat itu Mawardi Hasan juga menganjurkan agar kita belajar dari Malaysia yang sudah berhasil. Ini sangat saya setujui. Dalam kunjungan saya ke Malaysia, saya melihat sendiri berbagai keturunan yang berbicara dalam bahasa dan logat yang campur aduk. Pada TV-3 Malaysia, juga mereka memakai bahasa campur aduk seperti Melayu, Inggris, Mandarin, dan Kanton. Kalau melihat kesemuanya itu, seharusnya kita berpikir mengapa kita gagal. Haruskah seseorang mengubah filsafat hidupnya sebelum dia bisa "diterima"? Tidakkah ini bertentangan dengan kebebasan dan keadilan? Yang aneh adalah semua perasaan anti itu hanya tertuju pada sesuatu yang berbau Cina. Sebaliknya, malah banyak artikel yang merasa prihatin terhadap cepatnya budaya Barat yang diserap oleh masyarakat. Jadi, yang menjadi masalah adalah perasaan dalam hati kita sendiri. Selama ada perasaan anti yang bercampur dengan iri dan dengki dalam hati, kita tidak dapat menerima sesuatu yang berbau Cina. Memang seharusnya kita dapat sejalan dan seirama dalam membangun negeri ini tanpa saling curiga. Bahasa dan budaya lain tidaklah menjadi ancaman bagi kita. Justru perasaan takut dan curiga yang selalu menghantui kita sendiri. Perluaslah cakrawala pandangan kita dengan mempelajari sebanyak-banyaknya apa saja yang dapat kita pelajari, di samping mempertahankan bahasa dan budaya kita sendiri. Nama dan alamat ada pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini