Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Cerita Pembubaran PKI

Soeharto membubarkan PKI berserta organisasi sayap di bawahnya dengan berbekal Supersemar. Berdalih menjaga ketertiban umum. 

 

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Cerita Pembubaran PKI
Perbesar
Cerita Pembubaran PKI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Sebelum Supersemar terbit, orang-orang Soeharto merancang pembubaran PKI

  • Surat pembubaran sempat dibuat namun landasan hukum tak kuat

  • Terbitnya Supersemar menjadi bekal Soeharto membubarkan PKI

SETIAP 30 September, publik mengingat kembali tragedi kemanusiaan yang menewaskan ratusan ribu orang yang terjadi 56 tahun lalu. Pada era pemerintahan Soeharto, Partai Komunis Indonesia atau PKI dituduh sebagai biang Gerakan 30 September, penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal yang dituding hendak menggulingkan Sukarno. Belakangan banyak sejarawan dan peneliti yang mengoreksinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hingga kini peristiwa kelam itu masih menjadi teka-teki. Termasuk Surat Perintah 11 Maret Tahun 1966 (Supersemar) yang menjadi landasan Soeharto membubarkan PKI. Artikel majalah Tempo edisi 22 Maret 1986 yang berjudul "Sebuah Keputusan 12 Maret" mengupas cerita di balik lahirnya surat sakti itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tak banyak orang mengenal Mayor Jenderal Soetjipto. Padahal inilah tokoh yang menurut Jenderal Abdul Haris Nasution pertama kali ditunjuki Supersemar oleh Soeharto. “Ini sudah cukup dipakai untuk membubarkan PKI,” tutur Soetjipto kepada Pak Harto.

Maka rapat di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat waktu itu—yang antara lain membicarakan pembubaran PKI—merasa sudah punya kekuatan, yaitu Supersemar. Dan pada Jumat malam 11 Maret 1966 itu juga berderinglah telepon di Komando Operasi Tertinggi (Koti) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Yang menelepon Mayor Jenderal Soetjipto sendiri, yang kala itu menduduki jabatan G5 Koti (yang menangani masalah hukum, sosial, dan politik). Yang menerima telepon adalah Sudharmono, kala itu letnan kolonel, kini Menteri Sekretaris Negara. Isinya: supaya disiapkan rancangan surat keputusan pembubaran PKI. “Hari telah menjelang pukul 24.00 waktu itu,” kata Sudharmono dalam sarasehan memperingati Supersemar di Hotel Sari Pacific, dua tahun lalu.

Bayangkan, di tengah malam semacam itu, seorang anggota staf mendapat perintah membuat naskah surat keputusan yang sangat penting. Sangat penting, karena tuntutan membubarkan PKI telah menjadi aspirasi yang meluas. Gerakan 30 September itu sendiri secara fisik sudah tertumpas. Tapi PKI yang merupakan sumber gerakan tak kunjung ditindak.

Bung Karno memang yang tak berkehendak membubarkan partai itu. Ini mendorong situasi negara dalam krisis yang makin runcing. Maka terjadilah perdebatan mendalam antara Sudharmono dan Moerdiono. “Apa landasan hukumnya?” ujar Moerdiono seperti diceritakan Sudharmono dalam sarasehan 9 Maret 1984 malam.

“Saya kan sarjana hukum,” tutur Sudharmono menjawab Moerdiono. “Pokoknya bikin saja dulu.” Moerdiono yang kala itu berpangkat letnan, kini Menteri Muda Sekretaris Kabinet, menjawab, “Siap, Overste!” Moerdiono pun pergi ke mesin tik. Tapi tetap masih ada masalah: apa yang dapat dijadikan landasan hukum pembubaran PKI?

Legitimasi politik pembubaran PKI jelas kuat, tapi landasan yuridisnya yang spesifik belum ditemukan. Benar, alasan negara dalam keadaan darurat adalah satu alternatif. Akibatnya, naskah pembubaran PKI itu dirancang, tapi dengan mengosongkan bagian “Mengingat” yang lazimnya menjadi tempat cantolan yuridis disebutkan.

Soal ini tergolong penting karena keputusan pembubaran PKI bernilai historis dan karenanya mengandung nilai yang jauh ke depan. Tapi untunglah,  menurut Sudharmono, datang seorang utusan dari Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang membawa Supersemar.

Orang itu seingat Moerdiono adalah Kolonel Corps Polisi Militer Boediono, Sekretaris SUAD. Dengan adanya Supersemar, kata Sudharmono, naskah pembubaran PKI dapat diselesaikan. Maka lahirlah Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 dan ditandatangani oleh Pak Harto. “Saya ikut mengetik naskah itu sekitar pukul 12 atau setengah satu malam,” kata Sudharmono.

Tepat pukul 06.00 pagi 12 Maret 1966, RRI mengumumkan pembubaran PKI: sebuah tindakan penting, yang pertama diambil dengan landasan Supersemar. Tindakan penting lain, sejumlah menteri, yang menurut penilaian rakyat terlibat G-30-S, pun ditangkap.

Surat keputusan itu tak hanya membubarkan PKI, tapi juga semua organisasi yang bernaung di bawahnya. Padahal dalam anggaran dasar PKI yang resmi disebut hanyalah Pemuda Rakyat. Tapi surat keputusan pembubaran PKI itu juga menjangkau semua organisasi yang berada di bawah “mantel” PKI, seperti Gerakan Wanita Indonesia dan Barisan Tani Indonesia. “Hanya dengan membubarkan PKI ketertiban umum dapat dipulihkan,” tutur Pak Harto.


https://majalah.tempo.co/edisi/1517/1986-03-22 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Erwan hernawan

Erwan hernawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus