Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Untuk apa pemerintah membentuk Lembaga Pengelola Investasi?
Indonesia butuh investasi besar untuk menggerakkan ekonomi.
Lembaga Pengelola Investasi belum memberi hasil optimal.
APA yang dikhawatirkan dari pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) kini makin nyata. Lembaga yang diklaim sebagai institusi dana kekayaan negara atau sovereign wealth fund (SWF) ini tak ubahnya agen pemasaran proyek pemerintah. Tanpa pengelolaan yang transparan dan akuntabel, skema ini bisa menjadi bumerang di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal niat pemerintah membentuk LPI sudah janggal. Lazimnya, institusi SWF didirikan ketika negara memiliki devisa berlimpah, atau juga kelebihan fiskal. Dana kekayaan negara ini kemudian dikelola, dioptimalkan pemanfaatannya, sehingga kelak dapat mendatangkan keuntungan sekaligus mendorong ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan LPI lahir dari rahim Undang-Undang Cipta Kerja ketika Indonesia tak memiliki semua kekayaan tersebut. Itu sebabnya lembaga ini menempuh jalan berbeda: mencari investor sebanyak-banyaknya dari luar negeri agar mau membenamkan modal sebesar-besarnya di Indonesia. Presiden Joko Widodo menargetkan LPI akan mendatangkan dana senilai US$ 20 miliar dalam beberapa bulan setelah resmi berdiri pada Januari lalu. Belakangan, Jokowi sesumbar LPI mampu menarik investasi senilai US$ 200 miliar atau sekitar Rp 2.860 triliun dalam dua-tiga tahun ke depan.
Walhasil, sembilan bulan berdiri, LPI lebih sibuk mencari aset atau proyek pemerintah yang layak ditawarkan kepada calon investor ketimbang mengidentifikasi sumber-sumber dana kekayaan negara yang dapat mereka kelola. Lembaga ini hendak dibangun sebagai semacam one stop shopping bagi pemodal asing, termasuk institusi SWF dari negara lain.
Pasar SWF global memang tengah menggeliat dalam beberapa tahun terakhir. Para pemain utamanya juga makin agresif mengembangkan portofolio investasi secara langsung ataupun kemitraan (co-investing). Namun pemerintah harus tetap berhati-hati mengikuti arus baru ini. Skema bisnis SWF makin kompleks, menuntut kekuatan modal, kompetensi, pengalaman, dan dukungan sistem tata kelola yang baik untuk mengantisipasi berbagai risiko di masa depan.
Sedangkan LPI belum punya semua persyaratan tersebut. Tanpa perhitungan yang matang dan pengawasan yang ketat, keberadaan lembaga ini bisa berujung malapetaka pada masa mendatang. Indonesia semestinya belajar dari skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Badan pengelola investasi pemerintah Malaysia ini sukses mengeruk dana asing, tapi belakangan terbukti dikemplang untuk memperkaya segelintir orang.
Yang bikin cemas, Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya memang memberikan pelbagai keistimewaan kepada LPI untuk menjalankan misi besar mencari investasi. Pengelolaan keuangannya tak tersentuh audit negara. Pemerintah bahkan dapat menambah modal jika akhirnya lembaga merugi.
Betapapun kerugian itu belum terjadi, anggaran negara sebenarnya telah menanggung beban Rp 15 triliun untuk membentuk LPI. Biaya itu belum termasuk rencana pengalihan aset-aset negara yang ditargetkan terkumpul Rp 60 triliun pada tahun ini sebagai bagian dari modal awal lembaga. Ongkos sebesar itu sejatinya adalah opportunity loss bagi negara yang sedang terimpit utang dan butuh dana besar guna menangani pandemi.
Setelah sudah sembilan bulan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bekerja, gembar-gembor aliran investasi yang dijanjikan pemerintah masih jauh panggang dari api. Lalu untuk apa lembaga ini berdiri?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo