Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Protes Abdurrahman

Protes itu berbau politik, politik dewasa ini sebagai panglima. menurut abdurrahman wahid, tidak perlu protes karena tidak ada gunanya. bila pendidik, urus soal mendidik, agamis urus soal agama.

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Protes Abdurrahman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PEMERINTAH Kennedy sudah tuli, buta dan bisu, gerutu senator Barry Goldwater dari Ariona yang gersang dan pengap. Dia terus mencak-mencak hingga ngos-ngosan dan dia tulis buku A conscience of a conservative. Dugaannya benar: pemerintah memang sudah tuli, buta dan bisu. Dan dia kalah. Amerika Serikat menggelinding sebagaimana biasanya dan orang menganggap pikiran Barry Goldwater "ketinggalan 100 tahun." Sekarang Barry tak kedengaran beritanya lagi, jangan-jangan lagi sibuk urus Hak Penggunaan Hutan model sana. Kalau saja Barry mesantren di Ciganjur dan belajar dari Abdurrahman Wahid, pastilah dia tidak usah pakai ngos-ngosan segala. Bukankah petuah kiai Ciganjur ini kita harus "tinggalkan sikap protes dan cari budaya politik baru"? Seorang kiai tidak akan menggunakan kata-kata tuli dan buta dan bisu kepada pemerintah, apa pun ulah pemerintah itu. Lain kiai lain masinis kereta api. Kita boleh merasa tidak puas, kita boleh merasa tersandung-sandung, tapi protes jangan. Telan saja semuanya itu ibarat kita menelan permen. Bukankah pemerintah di mana pun juga -- kecuali di dasar laut -- berhasrat besar memantapkan kekuasaannya lewat ajaran yang tertulis di buku atau di batu-batu? Lagi pula, apalah arti "protes" itu? Dia 'kan cuma berasal dari mitologi Yunani purba tatkala seorang jagoan memimpin gerombolan Thessalian melabrak Troya yang hasilnya mengambil nyawa dari badannya? Dongeng ini ada diangkat oleh penyair Homer dalam dia punya karya Iliad yang masyhur. Dongeng namanya, tentu bisa berkepanjangan. Seri berikutnya mengisahkan bahwa sang istri yang bernama Laodamia, begitu mendengar lakinya mati, mohon kepada dewa-dewa yang berbaring di atas awan agar dia diberi kesempatan menjenguk mendiang agak tiga jam, kira-kira sama dengan waktu jenguk yang diperkenankan buat tahanan di penjara dunia. Permohonan ini diluluskan. Itu prihal protes kuno. Protes lebih belakangan lagi tentu berkaitan dengan perlawanan terhadap Gereja Katolik Roma. Karena belum mendengar petuah Kiai Abdurrahman Wahid dari Ciganjur, di abad tengah muncul John Wycliffe dari Oxford, menyusul Jan Hus dari Praha, Martin Luther dengan dia punya poster "95 tesis" yang ditempel di pintu gereja Wittenberg, Jerman, tahun 1517, kemudian dikembang biakkan oleh John Calvin, Huldrich Zwingli, John Knox dan lain-lain orang tak punya kesempatan sama sekali menjenguk Ciganjur. Berhubung sekte-protes ini berkembang tidak ketulungan banyaknya (tahun - 1950 di AS saja ada 250), maka yang punya hobbi sama bergabung dalam "Gerakan Ekonomi", seperti para penembak bergabung dalam Perbakin. Bapak-bapak serta ibu-ibu dan saudara-saudara sekalian, mulai hari ini kita tidak perlu protes-protesan lagi, karena toh protes itu tidak ada gunanya, kata Abdurrahman Wahid. Yang pendidik, mendidik sajalah. Yang agamis, urus soal agama sajalah. Yang ingin penduduk sehat bikin rumahsakit sajalah, karena toh sekarang ini rumahsakit sama saja dengan industri. Stop protes. Protes itu berbau politik, padahal politik sekarang ini panglima. Jika tempo hari "politik sebagai panglima" dimaki-maki karena identik dengan golongan, maka sekarang politik adalah panglimanya panglima. Di Sidang MPRS 1966 Nono Anwar Makarim dan Adnan Buyung Nasution menjerit hingga hadirin terperanjat: Mesti ada right to dissent. Hak beda pendapat bukan sekedar sambil senyum-senyum, tapi juga mengandung makna protes. Jika beda pendapat tidak dapat ladenan, apa lagi yang layak dilakukan selain protes? Bukankah istilah dissenters berkaitan dengan protes antipati kebijaksanaan gerejani yang diletakkan Ratu Elizabeth I dari Inggris? Kaum Presbyterian, kaum Conggregationalist, kaum Baptist, kaum Quaker, semua itu dimasukkan ke dalam botol yang namanya dissenters, Mana saya bisa terka apa yang ada dalam pikiran kedua tokoh 1966 itu mendengar petuah kiai muda kita dari Ciganjur ini. Zaman sudah berjalan, model sepatu sudah berlainan, dulu hak rendah kini hak tinggi. Siapa tahu -- mudah-mudahan - mereka mengangguk-angguk dan mendalami apa yang tersirat pada petuah Abdurrahman. Dan bukan sampai di situ! Mereka berkeputusan mengaji lagi di Ciganjur, entah usul fiqh, entah nahwu, entah tarikh, dan entah tasawwuf. Jika tasawwuf masih kurang memadai di situ, boleh datang ke Jember tiap Selasa malam. Di sana Kiai Ahmad Siddiq khusus ngajar Ihya 'Ulumuddin-nya Imam Ghozali. Bupati, Sekwilda, Kodim, juga suka ikut hadir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus