Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Indonesia di suatu masa, dalam ...

S.l.: hamlyn paperbacks, 1981 resensi oleh: susanto pudjomartono. (bk)

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Indonesia di suatu masa, dalam ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DEADLINE IN JAKARTA Ian Steward, Hamlyn Paperbacks, 1981, 222 halaman SUDOMO akhirnya tertembak mati di pinggir arena Jakarta Fair. Tokoh PKI ini ternyata bukan komunis berhati baja. Ia terpikat Lise yang cantik, hingga berantakanlah rencana PKI untuk mencoba merebut kekuasaan di Indonesia. Kisah itu, tentu saja, khayalan lan Steward -- yang disusunnya dalam buku dengan judul yang mungkin menarik bagi pembaca Indonesia ini. Memang, judul yang menarik belum tentu menjamin cerita yang baik. Alkisah, di Indonesia muncullah seorang tokoh baru bernama Subroto. Politikus muda dengan tampang, kepandaian dan gaya pidato mirip Bung Karno ini cepat menjulang tinggi. Lewat Partai Rakyat Islam Sosialis (PRIS), yang kantor pusatnya di Tanah Abang, Jakarta, Subroto melebarkan pengaruhnya ke mana-mana. Begitu pesat hingga ia dengan PRlS-nya diramalkan akan bisa menjatuhkan pemerintah Suprapto yang berkuasa. PRIS cepat populer, konon berkat ideologinya yang menggabungkan PNI dulu dengan Nahdlatul Ulama (NU). Maka pemerintah Amerika Serikat yang condong pada rezim Suprapto, khawatir. Dan mengirimkan Martin Brickel, seorang ahli dari Departemen Luar Negeri AS yang pernah bertugas di Jakarta, untuk menyelidiki tokoh Subroto. Selain was-was akan nasib modalnya yang ditanam di Indonesia, AS juga khawatir mengenai nasib penanaman modal Jepang yang dijadlkan sasaran kecaman PRIS. Sebab, jika Subroto berkuasa dan menendang semua modal asing ke luar, Jepang yang bakal kehilangan pasaran dan sumber bahan mentahnya yang utama bisa bergeser ke kanan. Ini berarti berkuasanya kembali golongan militer yang menganut garis keras. Bricker berhasil hadir dalam salah satu rapat umum kampanye PRIS di Merak, Banten. Dan itulah pembuka novel Steward ini, yang sekaligus merupakan awal ketegangan dan misteri yang ingin dibangun. Di tengah teriakan "Hidup Bung Broto", mendadak seorang pria --dengan parang -- berhasil naik panggung dan membacok mati itu tokoh. Massa pengunjung yang marah segera menyerbu -- dan menghabisl nyawa Si pembunuh. Mengiringi pembunuhan Subroto, situasi Indonesia kacau. Jepang dituduh mendalangi pembunuhan itu. Demonstrasi anti-Jepang, mirip yang terjadi pada 1974, meletus di mana-mana. Toko-toko dan kendaraan bermotor dibakar. Kabinet menyatakan keadaan darurat. Pasukan KKO berpatroli di seluruh Jakarta. Muncul kemudian tokoh wanita cantik: Lise Widoro. Ia ini seorang mahasiswi keturunan Cina yang sebetulnya kader PKI. Lise berhasil mendekati Brickel. Terjalin petualangan cinta. Dan Lise dan Brickel berusaha membongkar misteri pembunuhan Subroto. Pemerintah Indonesia, karena desakan masyarakat, memutuskan hubungan diplomatik dengan Jepang -- dan mencairkan kembali hubungan diplomatiknya dengan RRC. Ini mendorong bangkitnya kembali kaum militer-kanan Jepang -- yang ingin kembali berkuasa dan memberi pelajaran kepada Indonesia. Terungkap juga: diam-diam Jepang ternyata telah mengembangkan dan memiliki bom nuklir. Negara-negara besar pun tidak tinggal diam. AS dan Uni Soviet bersiaga, sedang RRC mengancam akan membantu Indonesia bila Jepang menyerang negeri ini. Di balik ini RRC punya maksud lain. Indonesia yang kacau akan dimanfaatkannya -- bersama PKI yang selama ini bergerak di bawah tanah, di bawah pimpinan Sudomo yang pada 1965 berhasil lari ke Pekin. Menyesatkan Akhir kisah: perang nuklir bisa dicegah. Lise, alias Min Pang, mati. Juga Sudomo. Wakil Perdana Menteri Ali Utoyo, yang ternyata anggota PKI gelap, ditangkap. Dan sang pahlawan adalah Martin Brickel. Novel fiksi memang khayalan. Dan itu memang yang dilakukan lan Steward, yang rupanya pernah menjadi koresponden asing di Indonesia pada zaman Bung Karno. Tapi bagaimanapun, fiksi selalu mencoba berpijak pada realitas dan logika. Seorang penulis yang baik akan bisa membangun dan mengatur ceritanya supaya pas, tidak berlebih. Dan inilah kekurangan Steward. Alur ceritanya sering mengambang dan memberi kesan ngelantur. Steward memilih Indonesia sebagai tempat ceritanya padahal negeri ini tidak benar-benar dikenalnya. Buat pembaca Indonesia niscaya akan banyak hal yang terasa aneh, menyesatkan, bahkan menjengkelkan. Ketegangan dan misteri yang dibangunnya juga terasa mengada-ada, gampangan. Akibatnya: sebuah buku yang enteng, nyaris picisan. Tidak jauh bedanya dengan buku Steward sebelumnya The Seizing of Singapore. Ian Steward memang jauh di bawah Robert S. Elegant, wartawan yang juga beralih menjadi novelis dan menulis Dynasty. Deadline in Jakarta memang bukan buku serius. Satuatunya hal yang mungkin menarik orang Indonesia adalah judulnya. Dan yang mungkin juga bisa mengundang senyum adalah namanama yang dipakai. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus