DEADLINE IN JAKARTA
Ian Steward, Hamlyn Paperbacks, 1981, 222 halaman
SUDOMO akhirnya tertembak mati di pinggir arena Jakarta Fair.
Tokoh PKI ini ternyata bukan komunis berhati baja. Ia terpikat
Lise yang cantik, hingga berantakanlah rencana PKI untuk mencoba
merebut kekuasaan di Indonesia.
Kisah itu, tentu saja, khayalan lan Steward -- yang disusunnya
dalam buku dengan judul yang mungkin menarik bagi pembaca
Indonesia ini. Memang, judul yang menarik belum tentu menjamin
cerita yang baik.
Alkisah, di Indonesia muncullah seorang tokoh baru bernama
Subroto. Politikus muda dengan tampang, kepandaian dan gaya
pidato mirip Bung Karno ini cepat menjulang tinggi.
Lewat Partai Rakyat Islam Sosialis (PRIS), yang kantor pusatnya
di Tanah Abang, Jakarta, Subroto melebarkan pengaruhnya ke
mana-mana. Begitu pesat hingga ia dengan PRlS-nya diramalkan
akan bisa menjatuhkan pemerintah Suprapto yang berkuasa. PRIS
cepat populer, konon berkat ideologinya yang menggabungkan PNI
dulu dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Maka pemerintah Amerika Serikat yang condong pada rezim
Suprapto, khawatir. Dan mengirimkan Martin Brickel, seorang ahli
dari Departemen Luar Negeri AS yang pernah bertugas di Jakarta,
untuk menyelidiki tokoh Subroto.
Selain was-was akan nasib modalnya yang ditanam di Indonesia, AS
juga khawatir mengenai nasib penanaman modal Jepang yang
dijadlkan sasaran kecaman PRIS. Sebab, jika Subroto berkuasa dan
menendang semua modal asing ke luar, Jepang yang bakal
kehilangan pasaran dan sumber bahan mentahnya yang utama bisa
bergeser ke kanan. Ini berarti berkuasanya kembali golongan
militer yang menganut garis keras.
Bricker berhasil hadir dalam salah satu rapat umum kampanye PRIS
di Merak, Banten. Dan itulah pembuka novel Steward ini, yang
sekaligus merupakan awal ketegangan dan misteri yang ingin
dibangun.
Di tengah teriakan "Hidup Bung Broto", mendadak seorang pria
--dengan parang -- berhasil naik panggung dan membacok mati itu
tokoh. Massa pengunjung yang marah segera menyerbu -- dan
menghabisl nyawa Si pembunuh.
Mengiringi pembunuhan Subroto, situasi Indonesia kacau. Jepang
dituduh mendalangi pembunuhan itu. Demonstrasi anti-Jepang,
mirip yang terjadi pada 1974, meletus di mana-mana. Toko-toko
dan kendaraan bermotor dibakar. Kabinet menyatakan keadaan
darurat. Pasukan KKO berpatroli di seluruh Jakarta.
Muncul kemudian tokoh wanita cantik: Lise Widoro. Ia ini seorang
mahasiswi keturunan Cina yang sebetulnya kader PKI. Lise
berhasil mendekati Brickel. Terjalin petualangan cinta. Dan Lise
dan Brickel berusaha membongkar misteri pembunuhan Subroto.
Pemerintah Indonesia, karena desakan masyarakat, memutuskan
hubungan diplomatik dengan Jepang -- dan mencairkan kembali
hubungan diplomatiknya dengan RRC. Ini mendorong bangkitnya
kembali kaum militer-kanan Jepang -- yang ingin kembali berkuasa
dan memberi pelajaran kepada Indonesia. Terungkap juga:
diam-diam Jepang ternyata telah mengembangkan dan memiliki bom
nuklir.
Negara-negara besar pun tidak tinggal diam. AS dan Uni Soviet
bersiaga, sedang RRC mengancam akan membantu Indonesia bila
Jepang menyerang negeri ini. Di balik ini RRC punya maksud lain.
Indonesia yang kacau akan dimanfaatkannya -- bersama PKI yang
selama ini bergerak di bawah tanah, di bawah pimpinan Sudomo
yang pada 1965 berhasil lari ke Pekin.
Menyesatkan
Akhir kisah: perang nuklir bisa dicegah. Lise, alias Min Pang,
mati. Juga Sudomo. Wakil Perdana Menteri Ali Utoyo, yang
ternyata anggota PKI gelap, ditangkap. Dan sang pahlawan adalah
Martin Brickel.
Novel fiksi memang khayalan. Dan itu memang yang dilakukan lan
Steward, yang rupanya pernah menjadi koresponden asing di
Indonesia pada zaman Bung Karno. Tapi bagaimanapun, fiksi selalu
mencoba berpijak pada realitas dan logika. Seorang penulis yang
baik akan bisa membangun dan mengatur ceritanya supaya pas,
tidak berlebih.
Dan inilah kekurangan Steward. Alur ceritanya sering mengambang
dan memberi kesan ngelantur. Steward memilih Indonesia sebagai
tempat ceritanya padahal negeri ini tidak benar-benar
dikenalnya. Buat pembaca Indonesia niscaya akan banyak hal yang
terasa aneh, menyesatkan, bahkan menjengkelkan.
Ketegangan dan misteri yang dibangunnya juga terasa mengada-ada,
gampangan. Akibatnya: sebuah buku yang enteng, nyaris picisan.
Tidak jauh bedanya dengan buku Steward sebelumnya The Seizing of
Singapore. Ian Steward memang jauh di bawah Robert S. Elegant,
wartawan yang juga beralih menjadi novelis dan menulis Dynasty.
Deadline in Jakarta memang bukan buku serius. Satuatunya hal
yang mungkin menarik orang Indonesia adalah judulnya. Dan yang
mungkin juga bisa mengundang senyum adalah namanama yang
dipakai.
Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini