Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samsudin Adlawi*
Ketika diberi tahu rombongannya akan dijemput dari hotel pukul 06.30 WIB, beberapa penyair dari Malaysia hanya melongo. Tidak ada suara. Mereka hanya berbicara lewat pandangan mata. Saat itu, saya bilang begini kepada mereka: ”Besok kami jemput dari hotel menuju Bandara Banyuwangi pukul setengah tujuh pagi.”
Sekadar informasi, rombongan penyair Malaysia itu terdiri atas delapan orang. Dipimpin langsung oleh Dr Mohamad Saleeh Rahamad, Presiden Persatuan Penulis Nasional Malaysia, mereka mengikuti Kemah Sastra Nusantara di Banyuwangi, Jawa Timur, 28-29 April 2018.
Sejurus kemudian, penyair Norazimah Abu Bakar memecah kesunyian: ”Apakah yang Bapak maksud itu kami akan dijemput jam enam setengah?” Rupanya, para penyair tamu dari negeri jiran itu kurang familiar dengan penyebutan bilangan jam yang jamak digunakan masyarakat Indonesia.
Saya langsung mafhum. Antara Malaysia dan Indonesia memang terdapat banyak perbedaan takrif kosakata dan istilah. Termasuk dalam penyebutan jam. Orang Indonesia terbiasa mengatakan pukul 06.30 dengan ”pukul setengah tujuh” atau ”jam setengah tujuh”. Sedangkan sahabat sejawat saya dari Malaysia mengatakannya dengan ”jam enam setengah”. Sama-sama menggunakan kata ”setengah”, tapi beda peletakannya. Dan berbeda pula cara membacanya. Walhasil, meski berbeda secara verbal, keduanya menunjuk ke angka yang sama: 06.30.
Harus diakui, dari sudut pandang matematika, pengucapan ”enam setengah” orang Malaysia lebih tepat daripada ”setengah tujuh”-nya orang Indonesia. Sebab, dalam matematika, ”setengah tujuh” itu sama dengan ”tujuh dibagi dua”. Itu berarti jam ”setengah tujuh” menurut logika matematika sama dengan pukul 03.30. Berbeda halnya ”enam setengah”. Dalam matematika, ”enam setengah” itu berarti ”enam’ ditambah setengah” atau ”enam lebih setengah”.
Sama dengan orang Malaysia, orang Inggris membaca pukul 06.30 dengan ”half past six” atau dengan sebutan lebih ringkas: ”six thirty”. Demikian pula bangsa Arab. Mereka menyebut pukul 06.30 dengan bahasa matematika yang benar juga, yakni ”al-sadisah wa al-nisfu” (وَالنِّصْفُ السَّادِسَةُ). Perbedaan pengujaran bilangan jam antara orang Indonesia dan bangsa lain (terutama Malaysia, Inggris, dan Arab) itu membuat ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa” menemukan pembenarnya. Setiap bangsa mempunyai gaya pembacaan dan pengungkapan bahasa sendiri-sendiri. Salah satunya dalam membaca jam.
Masih tentang logika matematika dalam bahasa. Orang Indonesia, terutama orang Jawa, ketika ditanyai suatu alamat, sering memberi ancar-ancar jalan. Agar memudahkan si penanya alamat, mereka menyebut misalnya ”perempatan” dan ”pertigaan”. Contoh: ”Dari sini, Bapak terus saja berjalan lurus. Sampai di pertigaan pertama, Bapak belok ke kiri. Dari pertigaan itu, Bapak jalan terus saja. Setelah ketemu -perempatan yang kedua, baru Bapak belok ke kanan. Dari situ, Bapak ambil jalan yang lurus saja. Jangan belok ke kanan atau ke kiri, ya.”
Ketika diterapkan dalam logika matematika, kata ”pertigaan” atau ”pertigan” (Jawa) dan ”perempatan” menjadi kurang tepat. Menurut logika matematika, yang namanya ”pertigaan” itu seharusnya tiga cabang jalan yang memiliki lebar yang sama. Misalnya, satu ruas jalan selebar tiga meter, maka lebar dua jalan lain juga harus tiga meter. Begitu pula ”perempatan”. Empat jalan yang bersimpangan itu harus memiliki lebar yang sama persis. Tidak boleh ada yang lebih sempit atau lebih luas. Faktanya, kita sering menjumpai bahkan melewati ”pertigaan” dan ”perempatan” yang lebar cabangnya tidak sama.
Ada lagi sebutan ”perliman” (dari ”perlimaan”) atau ”proliman” (Jawa). Umumnya salah satu simpangan/cabang dari ”perliman” itu lebih kecil daripada empat simpangan lain. Contohnya di kota saya: Banyuwangi. Lebar cabang/simpangan yang mengarah ke Jalan Jaksa Agung Suprapto (ke barat) lebih kecil daripada lebar cabang dari Jalan Panglima Besar Sudirman (dari utara), Jalan dr Sutomo (timur laut), Jalan Wahid Hasyim (ke timur), dan Jalan Ahmad Yani (ke selatan). Lebar empat jalan yang saya sebut terakhir itu juga tidak sama persis.
Maka jalan bercabang lima di kota saya itu tidak bisa disebut ”perliman”. Sekali lagi, menurut logika matematika, seharusnya lebar kelima cabang jalan itu sama. Taruhlah lebar tiap jalan itu enam meter. Karena lebarnya tidak sama, lebih tepat jika kita gunakan istilah ”simpang lima”. Kita juga harus membiasakan memakai istilah ”simpang tiga” untuk mengganti ”pertigaan” dan ”simpang empat” sebagai pengganti ”perempatan”.
*) PENYAIR, WARTAWAN JAWA POS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo