Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang dua menit menjelang tengah malam. Kiamat tak lama lagi. Menurut Doomsday Clock, pada 2018, dunia kian mendekati bencana besar: jarum merapat ke angka 24.00.
Kita tak lagi hidup di tahun 1991. Waktu itu jarum jam simbolik itu—yang dikelola pengurus Bulletin of the Atomic Scientists sejak 1947—berada pada menit ke-17 sebelum “tengah malam”. Cukup jauh. Waktu itu manusia merasa terlepas dari bahaya kehancuran bersama oleh perang nuklir. Amerika Serikat dan Uni Soviet, dua negara yang daya destruktifnya bisa meluluhlantakkan bumi dan manusia, akhirnya bersepakat mau menanggalkan senjata pamungkas itu.
Tapi kini keadaan berbalik. Dalam edisi Januari 2018, Bulletin of the Atomic Scientists mengumumkan, kita sedang kembali mendekati “tengah malam” yang mengerikan.
Generasi yang lahir setelah 1960-an tak bisa membayangkan rasa ngeri itu. Sejak bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima pada 1945, orang tahu bahwa senjata nuklir—berpuluh kali lebih ganas ketimbang dua bom yang me-ngalahkan Jepang itu—akan menghabisi Homo sapiens. Tapi yang menakutkan bukan hanya ledakannya yang membunuh ratusan juta, tapi juga yang menyusul: radiasi nuklir akan menyebar.
Film terkenal On the Beach (1959) menggambarkannya dengan muram. Alkisah, Perang Dunia III telah menghabisi- sebagian besar bumi. Hanya di Australia sisa-sisa manusia mencoba saling menopang. Tapi pengharapan punah. Pemerintah membagikan pil bunuh diri agar penduduk bisa mati cepat, lebih baik ketimbang menderita sakit terkena radiasi yang merusak pelan-pelan.
“Siapa yang akan menyangka manusia begitu bodoh hingga meledakkan diri lenyap dari bumi?” kata John Osborne, tokoh ilmuwan dalam On the Beach.
Tapi kini bukan karena bodoh manusia menggerakkan kiamat. Bulletin of the Atomic Scientists memuat satu statemen bertanggal 25 Januari 2018. Para ilmuwan memperingatkan tiga hal yang menyeret manusia ke “tengah malam”. Pertama: perang nuklir yang ternyata tetap bisa meledak. Kedua: perubahan iklim. Ketiga: perkembangan teknologi yang tak terkendali.
Dalam ketiga hal itu, manusia tak bodoh. Ia serakah.
Pertama: perang nuklir. Bukan mustahil perang gila itu akan pecah antara India dan Pakistan. Kedua negeri itu berkali-kali menunjukkan bagaimana fanatisme agama berarti pembunuhan. Fanatisme: bentuk lain keserakahan—rakus ingin jadi pemegang monopoli kebenaran. Dalam keadaan demikian, siapa menjamin tak akan ada pemimpin Hindu atau Islam di sana yang tak akan menekan tombol nuklir, untuk menghabisi musuh dan masuk surga?
Kedua: perubahan iklim. Kita tahu ceritanya, bahkan tanpa menonton film An Inconvenient Truth. Kita tahu apa yang terjadi bila hutan ditebang, lahan hijau didesak, gunung dan lembah ditambang, sungai dan laut jadi tempat sampah. Orang makin berlomba melontarkan belerang dioksida (SO2) ke angkasa dari mobil dan sepeda motor yang makin beji-bun. Lapisan ozon rusak, matahari seakan-akan langsung membakar; bumi kian terik. Menurut International Panel of Climate Change, kini udara lebih panas 1 derajat Celsius ketimbang 160 tahun yang lalu, dan itu sudah cukup membuat gunung es meleleh, permukaan laut naik, banjir makin melanda, dan kekeringan lebih sering. Angka 1 derajat itu akan segera naik. SO2 adalah indeks keserakahan kita, jalan pasti ke kiamat kita.
Bisa dilihat, keserakahan bukan cuma berlebihan mengkonsumsi dan memiliki. Keserakahan adalah sikap tak peduli efek buruk kelebihan konsumsi kita bagi orang lain. “Dunia cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tak akan cukup buat memenuhi kerakusan tiap orang,” kata Mahatma Gandhi, memperingatkan. Pada 1972 sebuah telaah The Club of Rome diterbitkan. The Limits to Growth menunjukkan terbatasnya sumber kehidupan bagi pertumbuhan ekonomi dunia dan malapetaka yang menanti.
Semua itu kini mungkin akan dicemooh Donald Trump. Orang Amerika, apa boleh buat, memilih seorang presiden yang menolak kesepakatan dunia untuk merawat lingkungan. Baginya, yang penting adalah “to make America great again”. Trump mengejek “nyanyian palsu globalisme”. Kejayaan Amerika (dan dirinya) itu bukan sekadar narsisisme, tapi juga sikap rakus yang merusak tatanan dunia.
Ketiga: teknologi. Mungkin ini bagian utama keserakahan modern. Heidegger, yang menganggap teknologi tidak identik dengan mesin, menunjukkan yang lebih mendasar pada manusia. Teknologi modern, kata Heidegger, mengungkapkan dunia dalam sikap menantang maju, Herausfordern. Alam ditaklukkan dan dijadikan cadangan untuk dipakai kapan saja manusia ingin.
Kiamat mungkin dimulai dari sana: rakus, cemas, jemawa. Ketika ditanya bagaimana manusia bisa bebas dari arah yang salah itu, Heidegger menjawab: hanya dewa-dewa yang bisa menolong.
Itu suara yang fatalistis. Tapi mungkin kita memang butuh sejenis dewa di bumi. Bukan yang mahakuasa, tapi yang berbisik: ada sesuatu yang lebih kuat ketimbang harapan—entah apa, yang membuat kita bisa ingat sesama.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo