Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
JANGAN jadi pejabat jika ingin kaya. Ungkapan ini sering kita dengar. Tahun lalu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron menasihati para pejabat Sulawesi Tenggara dalam rapat koordinasi pengawasan internal. Agustus lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga menasihati anak buahnya agar tak berharap sugih selama menjadi pegawai negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Agaknya, nasihat-nasihat itu sudah klise. Sebab, fakta menunjukkan sebaliknya. Harta pejabat kita melebihi para pengusaha. Tengok saja harta Arifin. Ia Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta yang punya kekayaan Rp 24,59 miliar. Atau mantan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang punya kekayaan hampir Rp 180 miliar. Belanja bulanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo sewaktu menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Rp 600 juta, padahal gajinya hanya Rp 35 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Para penegak hukum hanya bisa menyatakan harta para pejabat kita tak wajar tanpa bisa menelusurinya. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata hanya bisa menyentil para pejabat Jakarta dalam rapat koordinasi di Balai Kota pada 15 Desember 2022. Ia mengatakan ada pejabat DKI punya aset 20-25 bidang tanah. Marwata berharap para pejabat itu mendapatkannya dengan cara halal.
Jika kita serius memerangi korupsi, KPK seharusnya tak hanya mengimbau apalagi menasihati pejabat. Kekuasaan itu cenderung korup. Menjadi pejabat itu gampang korupsi, karena ada kebutuhan dan didukung aturan. Maka, mestinya, KPK proaktif menelusuri kekayaan para pejabat kita. Buat apa KPK mewajibkan para pejabat melaporkan harta mereka jika menemukan kekayaan tak wajar malah menceramahinya, bukan mengusutnya.
Baca juga: Disorot KPK, Simak Daftar Harta Kekayaan para Pejabat Pemprov DKI Jakarta
Masalahnya, hukum kita belum mengadopsi cara mengusut kekayaan pejabat negara yang diduga berasal dari sumber tak sah atau illicit enrichment. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang belum mengaturnya. Apalagi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tak mengakui pembuktian terbalik harta pejabat negara. Memasukkannya dalam UU Perampasan Aset, dijegal para politikus.
Dalam soal ini, kita ketinggalan oleh Argentina, India, Australia, Brunei Darussalam, bahkan Cina. Aturan-aturan di negara itu mengadopsi illicit enrichment karena menjadi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia sudah meratifikasinya pada 2006 bersama 43 negara lain. Tapi, konvensi ini belum jadi landasan hukum mencegah korupsi. Illicit enrichment baru jadi pelengkap mengusut korupsi seseorang untuk memperkuat alat bukti.
Jangankan memburu harta tak wajar pejabat yang butuh usaha keras dan biaya mahal, menindak korupsi yang terang-terangan saja kini jadi perkara sulit. Presiden Jokowi menganggap penindakan korupsi menghambat pembangunan. Akhirnya, ia merevisi UU KPK dan menempatkan lembaga ini berada di bawahnya. KPK pun tak lagi independen dan cenderung politis mengusut dugaan korupsi.
Belum lagi memasukkan illicit enrichment butuh revisi undang-undang. Artinya, harus melibatkan DPR. Sementara, menurut survei Transparency International Indonesia (TII) dari tahun ke tahun, DPR dipersepsikan publik sebagai lembaga paling korup. Para anggota DPR bisa jadi akan bersatu-padu menghadang ketentuan illicit enrichment karena bisa merugikan mereka. Mereka hanya antusias membahas aturan-aturan yang menguntungkan segelintir kalangan seperti UU Cipta Kerja ataupun UU Ibu Kota Negara.
Jadi, berharap Indonesia bebas korupsi masih jauh panggang dari api. Pemberantasan korupsi hanya manis di bibir. Tiap pidato, Jokowi bilang korupsi kejahatan luar biasa, tapi ia menumpulkan taji KPK. Pemerintahan ini terkesan menganggap korupsi adalah “oli” pembangunan. Karena itu, jangankan punya ide memasukkan illicit enrichment dalam undang-undang, memberantas korupsi saja dianggap menghalangi program pemerintah.
Puncak komedi pemberantasan korupsi ditabuh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pekan lalu. Di depan Ketua KPK Firli Bahuri dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024, ia mengatakan operasi tangkap tangan KPK terhadap pejabat yang diduga korupsi membuat citra pemerintah jelek. Pak Luhut benar. Indonesia akan terlihat bersih dan bebas korupsi kalau tak ada pejabat yang ditangkap karena korupsi.
Baca juga: Misteri Sumber Harta Kekayaan Pejabat DKI yang Jadi Sorotan KPK