Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur larangan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK bertemu dengan pihak berperkara, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36 huruf a.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun,” bunyi regulasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha, salah satu nilai dari KPK adalah indepedensi dan bebasnya dari konflik kepentingan. Hal itu diwujudkan dalam Pasal 36 UU KPK tersebut guna menciptakan sistem yang kuat untuk mencegah adanya konflik kepentingan dan membentuk keindependenan lembaga anti rasuah.
“Salah satu nilai dari KPK adalah indepedensi dan bebasnya dari konflik kepentingan. Hal tersebut merupakan design fundamental dari KPK yang tercermin pada ketentuan dalam Pasal 36 UU KPK,” kata Praswad pada 12 September 2023 silam, seperti dikutip dari laman im57+.org.
Namun, desain fundamental agar KPK independen tersebut belakangan digugat oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Alex melayangkan uji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi atau MK lantaran dirinya merasa dirugikan. Adapun permohonan itu diajukan pada Senin, 4 November 2024.
Dalam surat permohonan uji materi tersebut, bukan hanya Alexander Marwata yang menjadi pemohon, melainkan juga ada beberapa pegawai KPK lain seperti Auditor Muda KPK Lies Kartika Sari dan Pelaksana Unit Sekretariat Pimpinan KPK Maria Fransiska.
Gugatan dilayangkan oleh Alex dan kawan-kawan buntut pertemuan Alex dengan eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto. Akibat pertemuan itu, Alex dilaporkan ke Polda Metro Jaya, karena dianggap bertemu pihak berperkara. Pada saat ini, Eko Darmanto telah dijebloskan ke penjara.
Pasal 36 huruf a UU KPK yang Digugat Alexander Marwata
Kuasa Hukum Alex, Abdul Hakim, menyebut pasal 36 huruf a berpeluang digunakan untuk mengriminalisasi pimpinan KPK. Pertama, pasal tersebut, tidak memberikan kepastian hukum terhadap Komisioner KPK. Kedua, ada diskrimisasi terhadap instansi KPK di mana hanya lembaga KPK yang dibatasi.
“Sedangkan penegak hukum lain seperti jaksa dan kepolisian tidak batasan apa pun. Kami ingin menyampaikan kalau ingin dibatasi penegak hukum, kepolisian, jaksa, harus dibatasi karena mereka kurang lebih sama tupoksinya dengan KPK,” ucap Abdul kepada Tempo, Kamis, 07 November 2024.
Pihaknya juga mengklaim Pasal 36 huruf a UU KPK tersebut kontradiktif dengan Pasal 6 tentang tugas dan fungsi anggota KPK. Dalam Pasal 6 UU KPK terdapat enam poin dari a sampai f. Di antaranya:
KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi korupsi, koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik, monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPK juga melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Saya sebutkan tadi pasal 6 sedangkan pasal 36 a komisioner tidak boleh berhubungan dengan siapa pun dengan alasan apa pun. Secara teori pembatasan berhubungan dengan siapa pun dengan alasan apa pun hanya berlaku pada hakim bukan pada penegak hukum,” kata dia.
Petitum Alexander Marwata
Sementara itu, saat dikonfirmasi Alex menyatakan pasal 36 huruf a UU KPK tersebut multitafsir. Misalnya ketidakjelasan frasa ‘pihak lain’ serta arti frasa ‘dengan alasan apa pun’. Alex juga mempertanyakan tidak adanya standar batasan tahapan perkara yang dipaparkan dalam beleid ini.
“Pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu ditahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya?” ujar Alex saat dikonfirmasi pada Kamis, 7 November 2024.
Alex menyatakan pemaknaan pasal itu harus jelas. Jika tidak jelas, menurut dia, penerapannya pun akan semau-maunya. Makna frasa ‘Pihak lain’ misalnya, menurut dia, frasa itu bermakna pihak yang ada hubungannya dengan tersangka, seperti rekan kerja, atasan, sopir, dan keluarga pihak yang tengah berperkara.
“Tapi kalo dimaknai terpisah bisa juga sepanjang ada hubungannya dengan perkara,” katanya.
Selain itu, Alex juga menyatakan meminta agar MK memperjelas makna kata ‘Perkara’ dalam pasal itu. Dia menyatakan perlu ada penjelasan pada tahap mana sebuah peristiwa itu dianggap sebagai perkara seperti dalam pasal tersebut.
“Apakah laporan masyarakat yang bahkan belum penyelidikan juga dianggap perkara? Jangankan menyebutkan tersangkanya, peristiwa pidana korupsinya pun belum jelas,” katanya.
Alex juga menyatakan frasa ‘Dengan alasan apa pun’, memiliki makna yang terlalu luas. Alex menyatakan frasa itu tak mengecualikan pertemuan dalam rangka melaksanakan tugas dan dalam kondisi tidak mengetahui status orang yang ditemui.
“Kalo tanpa pengecualian, berarti bertemu di kondangan pun bermasalah. Sekali pun tidak ada hal penting yang dibahas,” ujarnya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | DINDA SHABRINA | DANI ASWARA