Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Pusat Bahasa dan Sultan

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agung Y. Achmad
*) Wartawan

SUATU waktu, cobalah Anda membuka homepage resmi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/. Situs tersebut adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online yang sama fungsinya dengan versi cetaknya—edisi ketiga. Namanya KBBI Daring.

Tapi, jangan kaget ketika Anda salah menulis kata dasar di dalam kotak pencarian di KBBI online itu, lalu Anda klik, akan muncul kalimat peringatan: ”Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!” Peringatan serupa juga akan muncul ketika Anda hendak mencari padanan kata ”daring”.

Penggunaan tiga tanda seru di atas tidak baku, genit, bahkan norak. Kalimat peringatan serupa juga akan muncul ketika Anda hendak mencari tahu arti kata ”daring”. Terus terang, saya tidak tahu arti kata tersebut. Konon, ”daring” adalah akronim dari kata ”dalam jejaring”.

Lembaga sepenting Pusat Bahasa tidak memerlukan bentuk gurauan semacam itu. Ini bukan kesalahan kecil bila mengingat KBBI online adalah bagian dari lembaga departemen pemerintah yang dibiayai negara dan merupakan institusi yang dianggap paling berkompeten di bidang pembinaan bahasa Indonesia.

Kenapa Pusat Bahasa tidak lebih aktif membuat semacam telaah bahasa terhadap kasus-kasus penulisan tak baku, khususnya di ranah formal, semisal dokumen resmi lembaga pemerintah atau/dan teks sebuah undang-undang? Kesalahan berbahasa di tingkat negara, seperti undang-undang, pidato presiden, peraturan menteri, atau keputusan gubernur, tentu berbeda implikasinya bila dibanding ucapan seorang preman.

Lantaran otoritasnya, Pusat Bahasa bisa membuat publikasi produk-produk telaah bahasa tadi sekaligus sebagai strategi pembinaan bahasa. Bila Pusat Bahasa berkemauan melakukan hal itu, niscaya akan banyak efek edukasinya, terutama dalam menyegarkan kesadaran linguistik publik.

Di sekitar kita, khususnya di ranah formal, cukup banyak perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan aturan baku. Contoh paling anyar adalah langkah yang dilakukan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia memerintahkan agar pegawai negeri sipil di seantero Yogyakarta membiasakan diri berbahasa Jawa dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari—sejak 15 Agustus silam. Menurut Sultan, kebijakan itu merupakan upaya untuk mempertahankan tradisi dan menunjukkan kebanggaan terhadap budaya adiluhung masyarakat Jawa.

Betapapun Sultan tidak hendak menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, penerapan bahasa daerah di ranah formal semacam itu akan kontraproduktif terhadap upaya penguatan identitas keindonesiaan yang selama ini dilakukan banyak pihak. Tidak bisa dibayangkan dampaknya bagi kehidupan berbangsa bila hal serupa itu dilakukan provinsi-provinsi lain.

Sultan yang dikenal luas cukup kental identitas keindonesiaannya itu ternyata bisa terjebak ke dalam pandangan sempit kedaerahan. Dia lupa bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan negara Ngayogyakarta—kecuali bila ia berpikir sebaliknya. Imbauan Sultan itu tidak bijak mengingat paham keindonesiaan dan kebangsaan masyarakat kita masih compang-camping. Yang juga disayangkan, belum ada reaksi yang berarti dari kaum intelektual, terutama cendekiawan Yogyakarta.

Imbauan Sultan ini mungkin juga sebaiknya ditanggapi oleh lembaga seperti Pusat Bahasa.

Kasus KBBI online milik Pusat Bahasa dan imbauan Sultan adalah pendulum yang tidak menarik bagi pengembangan bahasa ibu di negeri ini. Sebab, kesalahan ”kecil” Pusat Bahasa dan kebijakan Sultan itu pada akhirnya tidak menganggap perbaikan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai komponen penting bagi jutaan orang di negeri ini untuk mengafirmasi identitas keindonesiaan mereka.

Bisakah kita berharap bahwa paham kebangsaan—salah satu misi terpenting penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar—masyarakat kita semakin terasah bila masih ada pendulum-pendulum bahasa ibu yang justru berada di ranah formal dan elite?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus