Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Belajar Membaca Cinta

Sebuah film komedi romantis yang kelabu. Para lelaki digambarkan makhluk sialan; para perempuan sungguh irasional.

12 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HE’S JUST NOT THAT INTO YOU
Sutradara: Ken Kwapis
Skenario: Abby Kohn, Marc Silverstein
Berdasarkan novel karya Greg Behrendt dan Liz Tuccilo
Pemain: Ben Affleck, Jennifer Aniston, Drew Barrymore, Jennifer Connelly, Radley Cooper, Ginnifer Goodwin, Scarlett Johansson

CINTA. Di era film Terminator atau Transformers dan film-film yang dibuat di depan layar hijau itu, kenapa pula harus mengutak-atik persoalan hati dan kecengengan perempuan?

Ternyata Hollywood percaya bahwa tema dan genre komedi romantis masih mempunyai segmennya tersendiri, meski sulit sekali menandingi kedahsyatan film When Harry Met Sally (Rob Reiner) yang masih menjadi tonggak film komedi romantik yang selalu ingin dikejar para epigonnya (dan selalu gagal).

Film ini mengisahkan sekelompok lelaki dan perempuan di Baltimore yang berhubungan, meski tak semuanya saling kenal: Gigi (Ginnifer Goodwin), sang pencerita yang selalu sibuk membaca ”tanda-tanda” apakah lelaki yang dikencaninya itu memang tertarik padanya, akan meneleponnya, atau kencan mereka adalah yang terakhir; Anna (Scarlett Johansson) adalah instruktur yoga yang seksi, yang yakin bahwa cinta sejati harus dikejar, meski yang dikejar itu adalah suami orang, Ben (Bradley Cooper); sementara Ben berusaha keras bersetia kepada istrinya, Janine (Jennifer Connelly), yang cantik dan sangat kaku serta tak cukup peka memahami gejolak dalam diri suaminya yang tengah tidak bahagia; Mary (Drew Barrymore) adalah seorang pembuat iklan dan biang teknologi yang lebih sering berkomunikasi melalui semua jaringan Internet, tapi selalu tak cukup beruntung ketika ”kopi darat”; Beth (Jennifer Aniston) yang sudah tujuh tahun hidup bersama Neil (Ben Affleck), tapi merasa belum utuh jika tak kunjung dikawini. Dan terakhir, agar lelaki tak selalu dianggap makhluk yang tidak peka, tokoh Connor (Kevin Connolly) menyimpan cinta kepada Anna yang seksi, sedangkan Anna selalu saja menganggap dia sebagai kawan yang sesekali bisa diajak tidur.

Dari pandangan mata Gigi, kita kemudian melihat bagaimana repot dan kompleksnya hubungan lelaki dan perempuan. Perempuan seperti Gigi selalu membaca gerak-gerik, kata-kata, lirikan, bahkan kapan sang lelaki akan menelepon kembali setelah kencan pertama; sementara seorang pemilik bar, Alex (Justine Long), selalu menekankan pada Gigi: ”Kalau seorang lelaki memang tertarik pada seorang perempuan, dia akan menunjukkannya dan mengejarnya sampai dapat.”

Sejak sukses film When Harry Met Sally yang kurang-lebih juga membicarakan kompleksitas hubungan lelaki dan perempuan yang berkawan ataupun yang bercinta, lengkap dengan segala tipu daya dari kedua belah pihak (ingat adegan gila-gilaan Meg Ryan yang berpura-pura orgasme di sebuah kafe sandwich hanya untuk menunjukkan kepada Harry bahwa perempuan sering melakukan itu, agar hubungan seks yang tidak enak segera berlalu?), telah banyak film komedi romantik yang mencoba berbagai resep untuk mengulang sukses ini.

Film He’s Just Not That Into You tidak bisa dikategorikan sebagai komedi murni, karena hampir setiap segmen persoalan digarap dengan suasana yang serius dan pahit. Bahkan, dalam satu-dua situasi yang jenaka pun, kita merasakan hampa. Contoh soal: Beth, yang diperankan dengan baik oleh Jennifer Aniston, harus menghadapi keluarga besar yang sibuk mengurus perkawinan adiknya, yang sebetulnya suasana yang lucu (bagi orang lain), tapi pahit bagi yang diejek. ”Bagi mereka yang mencari jodoh, kakak perempuan sang pengantin masih sendirian, lo….” Apakah kita tertawa mendengar salah satu sepupu mengucapkan kalimat itu? Tidak. Itu bukan humor. Itu ejekan.

Peristiwa yang terjadi pada pasangan lain pun bukan peristiwa yang membuat kita tertawa terbahak-bahak. Yang berselingkuh tapi toh tetap mencoba mempertahankan perkawinan; yang menyembunyikan pacar di lemari; yang ogah kawin; dan yang ogah mengakui dia jatuh hati. Ah, kenapa para lelaki begitu sialan dalam film ini? Situasi getir yang kemudian dijungkirbalikkan menjadi sebuah komedi yang kelabu (meski belum sampai komedi gelap gaya Woody Allen).

Para lelaki dalam film ini adalah makhluk yang tak punya perasaan, kecuali—mungkin—Neil yang mencintai Beth dengan tulus. Para perempuan tampak tidak rasional. Semuanya masuk dalam kotak stereotipe. Namun harus diakui, penyajian dan plot film ini tetap menarik. Asalkan kita tetap berpegang bahwa setiap hubungan selalu unik dan memperlakukan film ini sebagai barang hiburan (apalagi pemainnya semua kelas A yang enak dilihat dari segi fisik dan seni peran), film ini layak ditonton. Uang Anda untuk membayar tiket tidak sia-sia.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus