Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada lagi sekat antara musik Barat dan Timur. Keduanya menyatu dalam sajian jazz yang dimainkan Indra Lesmana, Prasaja Budi Dharma, dan Gilang Ramadhan di Teater Salihara, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.
Dengan mengenakan celana bermotif batik dipadu kemeja batik berwarna keemasan, Indra (grand piano, melodika) memulai konser Kayon—Tree of Life dengan menggesek-gesek dawai grand piano Yamaha yang menimbulkan berbagai efek bunyi. Seperti mengisyaratkan dimulainya ritual magis. Pra (bas slendro), dengan rambut panjang tergerai, perlahan membelai dawai basnya, yang menghasilkan suara rendah, bagai menggeram. Gilang (drum, perkusi) mengimbuhi dengan ketukan-ketukan yang perkusif.
Penonton seperti menahan napas menikmati awal perjalanan musik ketiga musisi yang telah bersama sejak 1986 itu. Perpaduan piano, bas, dan drum akhirnya membentuk pola ritme yang mengasosiasikan gandrung Banyuwangi, tarian pergaulan yang senapas dengan ketuk tilu di Jawa Barat atau tayub di Jawa Tengah. Gilang menghadirkan bunyi kempul, kluncing, kendang, atau ketuk melalui perangkat drumnya.
Ritme kian riuh dan tanpa sadar penonton tergiring ke pola ritme Barat, yang terwakili oleh elemen modal jazz yang merupakan sukma utama hard bop maupun post bop dalam musik jazz. Komposisi bertajuk Kayon itu merupakan appetizer yang membuat penonton seolah tergiur untuk menyimak ragam ritme berikutnya.
Ketiganya lalu menghadirkan nuansa musik etnik Jawa Timuran lewat East Coast of Java, yang dinamis dan cenderung agresif. Seperti perjalanan lintas provinsi, trio ini lalu berada di Jawa Barat dengan komposisi Pangheureupan. Bunyi seruling Sunda yang meliuk khas diganti dengan improvisasi Indra pada melodika.
Repertoar yang dimainkan Indra, Pra, dan Gilang berasal dari album Kayon—Tree of Life yang dirilis pada 2007. Mereka bertiga berhasil menyajikan musik dua kutub itu tanpa berkesan memaksa. Tanpa saling intimidasi. Dan tak ada yang mendominasi.
Apa yang membuat konsep musik Kayon ini melenggang tanpa kerutan-kerutan yang mengganggu pendengaran penikmatnya? Bisa jadi karena keterampilan ketiga pemusik justru lebih mengangkat polarisasi aura musik kutub Timur dan kutub Barat. Mereka memang bersiasat dalam memadukan dua kecenderungan musik yang berbeda. Dengan lebih banyak mengandalkan perangkat musik Barat, toh aura musik Timur bisa dirasakan.
Pra memang memodifikasi basnya secara slendro atau Gilang melengkapi set drumnya dengan ragam perkusi seperti gong ataupun ceng-ceng. Untuk menghasilkan bunyi-bunyian rebana, Gilang hanya mengendurkan snare pada snare drum-nya. Instrumentasi Barat memang dihadirkan dengan feel etnik yang kuat. Pada Mumang, yang menyerap ragam musik Aceh, Gilang mengeksplorasi bunyi-bunyian perkusi Aceh yang repetitif. Indra bahkan mengimbuhinya dengan ketukan piano yang perkusif. Tak jarang pula Indra memukul string piano untuk meniru bunyi kenong ketika Gilang tengah bersolo-drum.
Rentak tifa yang repetitif dihasilkan Gilang melalui perangkat drumnya pada Mademato Kamaki Sawosi, yang bernuansakan musik Papua. Kesan musik tribal pun mengemuka. Dari permainan bas Pra terasa unsur funk yang groovy. Pada komposisi Little Jakarta, Indra memainkan ritme piano dengan nuansa gambang kromong dan samrah.
Di pertengahan konser, Pra maju dan meminta penonton mengheningkan cipta bagi korban gempa di Sumatera Barat. Indra lalu seperti ingin menghadirkan suasana gempa dengan menghasilkan berbagai efek bunyi dari dawai piano. Aroma kasidah dan musik Melayu terendus pada First Dawn. Di lagu ini Gilang menghadirkan pola ritme rebana yang diikuti gemerincing piano Indra.
Dalam Makeupung, yang menjadi penutup konser, terlihat upaya trio ini merauh energi musik Bali ke dalam pola jazz rock yang agresif. Pra dan Gilang pun berdialog dengan instrumen masing-masing. Kadang bas dan drum mereka berdua dimainkan serempak.
Dalam konsep musiknya, trio ini memang lebih mengutamakan kredo bermain yang saling isi. Anasir jazz seperti swingin’ ataupun bop tetap berdenyut. Patut dipuji bahwa siasat pergeseran akor banyak menolong menampilkan kemasan etno-jazz yang dimainkan. Mungkin inilah yang membedakannya dengan pencapaian beberapa pemusik jazz kita yang maunya ingin menampilkan etno-jazz tapi malah berkesan tempelan belaka. Dalam Kayon, Indra, Pra, dan Gilang mati-matian menyatukan musik Barat dan Timur. Dan sekat itu betul-betul lepas sama sekali.
Denny Sakrie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo