Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Rahim Laki-laki

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rocky Gerung

  • Redaktur srimulyani.net

    PEREMPUAN mengucapkan kalimat untuk memelihara komunikasi. Laki-laki memanfaatkan kalimat untuk mengendalikan komunikasi. Aturan inilah yang dieksploitasi patriarkisme untuk memerintah dunia.

    Bahasa adalah sponsor resmi kekuasaan. Ia disusun dalam tata pikiran politik laki-laki: hierarkis, dikotomis, dan hegemonis. Strukturasi androsentrisme inilah yang beroperasi dalam hukum, agama, ilmu, dan filsafat. Hasilnya adalah peradaban yang eksploitatif.

    Kata ”lajang”, misalnya, menunjukkan status pada laki-laki. Tetapi pada perempuan, kata itu membawa stigma. Istilah semacam ”rasio”, ­”subyek hukum”, ”ginekolog”, dan ”teolog” oleh peradaban disugestikan sebagai keahlian laki-laki. Dan perempuan hanyalah pasien mereka.

    Kekuasaan menciptakan bahasa. Tetapi bukan untuk mempertahankan dirinya sendiri (karena bila perlu ia bahkan dapat menambahnya dengan kekerasan), melainkan untuk ”membudayakannya”. Dengan cara itu kekuasaan menjadi aktivitas sosial, diterima sebagai kebutuhan umum, tanpa protes, apalagi dari perempuan. Jadi, kita harus mengatakannya secara terbalik: bahasa menghasilkan kekuasaan. Artinya, di dalam bahasa, kekuasaan menikmati hegemoninya. Melalui bahasa, kekuasaan menjadi surplus. Singkatnya, karena bahasa, kita memiliki kuasa. Bahasa adalah sumber ontologis dari kuasa. Setiap kali bahasa diucapkan, setiap kali kekuasaan bekerja.

    Kita menamai sesuatu agar kita menguasainya. Anda memberi nama seekor anjing, dan sejak itu ia milik Anda. Juga pikiran seseorang kita kuasai dengan memberinya nama. Dulu ”komunis”, berarti ”orang jahat”. Kini ”neolib”, berarti ”musuh rakyat”. Tuhan pun kita beri nama, supaya kita dapat memperalatnya. Memperalat artinya kita menguasainya. Bila kita berseru ”atas nama-Nya”, kita memperalat-Nya, untuk apa saja yang kita maui. Terutama, merasa berhak mengkafirkan orang lain.

    Anggota DPR memberi nama dirinya sendiri: ”wakil rakyat”. Tetapi yang dia maksud: ”atas nama rakyat, saya berkuasa!” Berkuasa terhadap siapa? Sangat aneh bila jawabannya: ”terhadap rakyat”. Hukum identitas akan menertawakan logika itu: pesuruh menyuruh penyuruh? Ajaib!

    Bahasa berhenti berpikir ketika kuasa mulai bekerja. Di kasus ini, kuasa tidak membudayakan dirinya, melainkan memamerkan kedunguannya. Tetapi, sekali lagi, kekuasaan akan ditampilkan normal melalui intonasi yang diulang-ulang di ruang sidang: ”kita, wakil rakyat yang terhormat”, yang berarti: ”sang wakil”-lah yang terhormat, bukan ”sang rakyat”. Si pengemis suara menjadi terhormat, yang memberi suara menjadi pengemis.

    Politik dan teologi adalah pelanggan utama ”hierarki”, yaitu struktur utama bahasa. Di dalam hierarki, kita mendefinisikan orang lain. Kita membatasi dia. Kita memperalatnya. Kita merendahkannya.

    Jadi bahasa bukan sekadar mendeklarasikan posisi, tetapi sekaligus memastikan distingsi. Bahasa menghasilkan komunikasi, sekaligus mengendalikannya. Itulah politik bahasa. Ia mengucapkan kehendak, melampaui tata bahasa. Sesungguhnya, bahasa bukan soal susunan kalimat, melainkan susunan kekuasaan!

    Perempuan adalah korban utama dari struktur itu. Berpikir dalam hierarki bukan kebiasaan perempuan. Bahasa perempuan tumbuh dalam pengalaman ketubuhannya: ethics of care. Perempuan melahirkan manusia. Ia memelihara generasi. Karena itu ia menghendaki politics of ­justice. Laki-laki memaksakan tata bahasa ethics of rights, untuk memastikan kekuasaan. Karena itu, penundukan adalah keutamaan bahasa laki-laki. Ia melanggengkan politics of power.

    Ilmu, undang-undang, dan teologi ditulis dalam tata bahasa laki-laki. Bila perempuan gagal mengucapkan pikiran, ia disebut tidak mampu berpikir. Bila ia mengucapkan kecerdasan, ia disebut sesat. Padahal struktur bahasa laki-lakilah yang tidak mampu memahami ”pikiran yang bertubuh”. Teologi bahkan mengendalikan pikiran sekaligus tubuh perempuan, lalu memaksa hukum negara mengkriminalkannya.

    Rahim perempuan melahirkan manusia. Tapi rahim laki-lakilah yang kemudian ”mengasuh”-nya: teologi, politik, dan hukum. Tiga rahim itulah yang mengendalikan peradaban, melanggengkan hierarki, menyebarkan diskriminasi.

    Politik feminis telah bekerja demi egalitarisasi peradaban. Karena itu, hukum kita sekarang mengenal istilah ”KDRT”, ”pelecehan seksual”, hal-hal yang di akhir abad lalu dianggap ganjil untuk dilindungi.

    Etika bertumbuh. Keadilan juga. Evolusi tidak lurus-lurus dikuasai oleh hukum hierarki. Ada kontradiksi dan eksepsi, yang memungkinkan terwujudnya kesetaraan makhluk. Dengan argumen ini, bahasa dapat diucapkan secara demokratis. Secara politik ia berarti: kesetiaan pada keadilan niscaya berujung pada kesetaraan.

    Dapatkah kita keluar dari ”rahim laki-laki”, rahim oligarki politik, rahim gelap kekuasaan? Seorang feminis, maaf saya lupa namanya, tetapi saya ingat kalimatnya yang sangat nyaring, mengatakan: ”Well-behaved women seldom make history.”

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus