Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK seperti matematika, kisah manusia dalam sejarah selalu diwarnai ketidakpastian, pergumulan, dan kemelut yang membawa mereka pada peristiwa yang tak pernah bisa diduga. Memoar, biografi, ataupun aotobiografi yang baik tidak hanya menyuguhkan haru biru perjalanan seseorang, tapi juga cara pandang baru terhadap sebuah persoalan. Apalagi jika cara pandang itu bertolak dari kesaksian atau pengalaman langsung atas kejadian yang menimpa dirinya sebagai saksi suatu peristiwa.
Setelah kejatuhan Soeharto, paling tidak lebih dari sepuluh kesaksian dalam bentuk memoar, biografi, dan aotobiografi dari mereka yang selamat (survivor) dalam pergolakan politik 1965-1969 telah diterbitkan. Beberapa di antaranya Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan, Dari Salemba ke Pulau Buru karya Kresno Saroso, Dari Gontor ke Pulau Buru karya H Achmadi Moestahal, Pergulatan Muslim Komunis karya Hasan Raid, serta Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Esai-esai Sejarah Lisan yang disunting John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid.
Buku-buku tersebut mengisahkan pengalaman kolektif survivor yang bertahan hidup dari genggaman zaman yang penuh teror, kesewenangan penguasa, penindasan, dan ketidakpastian hukum atas mereka yang dituduh terlibat dalam G-30-S 1965. Tan Swie Ling, salah seorang yang lolos dari cengkeraman gulag Orde Baru, mengisahkan pengalamannya dalam buku setebal 587 halaman, yang menambah panjang khazanah kepustakaan tentang tragedi kemanusiaan 1965-1969.
Pada bagian awal bukunya, Tan menceritakan kekejaman yang dialaminya semasa dalam penahanan. Lecutan ekor pari, jepitan kaki meja, dan bogem mentah dari para interogator merupakan hal yang akrab buatnya. Penyiksaan itu tak lain ditujukan agar Tan (dan juga tahanan lainnya) mengakui keterangan dalam berita acara pemeriksaan rekayasa interogator. Hal itulah yang membuat Tan merasa perlu menulis subbab tersendiri tentang bagaimana BAP dibuat (halaman 17), berangkat dari keprihatinannya terhadap ”para penulis pecandu BAP” yang dinilainya gegabah menggunakan BAP sebagai sumber penulisan sejarah.
Tak jelas kepada siapa Tan melancarkan kritik. Yang pasti, salah satu buku yang mengandalkan dokumen pemeriksaan sebagai sumber adalah Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) karya John Roosa. Dalam bukunya, Roosa menggunakan keterangan Brigjen Supardjo sebagai ”salah seorang konspirator G-30-S yang ada di Pangkalan Udara Halim pada 1 Oktober” demi mengurai benang kusut insiden 1 Oktober 1965. Roosa berargumen dokumen itu pantas digunakan karena, ”Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya,” (Roosa, 2008: 123). Apakah ”penulis pecandu BAP” yang dimaksud Tan adalah Roosa? Wallahualam.
Di depan hakim Mahmilub yang mengadili perkara Sudisman, Tan menyangkal semua keterangannya dalam BAP. Menurut Indonesianis Ben Anderson, yang turut menyaksikan persidangan itu, Tan adalah sedikit orang yang berani bersaksi meringankan terdakwa. Ketika ”Ditanja Hakim Ketua apakah dia akor dengan Berita Atjara Pemeriksaannja, dia langsung jawab ‘Tidak’,” kata Ben dalam pengantarnya yang bercampur ejaan lama.
Dengan mengatakan banyak BAP tahanan politik yang dibuat di bawah tekanan, Tan ingin menunjukkan semua keterangan dari mulut mereka yang diadili atau bersaksi kemungkinan besar adalah rekayasa. Penyiksaan yang dialami tahanan saat pemeriksaan, ”Sama sekali tidak memberi peluang tahanan untuk mengucapkan perkataan lain kecuali ‘ya’ dan ‘tidak’,” kata Tan.
Peristiwa yang telah berjarak dengan kehidupannya itu kini mendorong Tan melakukan refleksi. Dalam bukunya, Tan menuturkan kisah pilunya sekaligus merangkaikannya dengan bingkai besar konstelasi politik dunia yang tengah terjadi pada zamannya. Tan hendak meneguhkan bahwa kehancuran sosialisme yang dituju Indonesia pada era Sukarno disebabkan oleh konspirasi besar Amerika Serikat. Selembar arsip CIA yang telah dibuka untuk umum pun disuguhkan sebagai bukti indikasi keterlibatan Amerika dalam peristiwa G-30-S 1965 (halaman 187).
Tapi memahami sejarah secara positivistik berpotensi menyeret pola pikir menjadi simplistis, menyederhanakan persoalan yang pada akhirnya menjauhkan diri dari gerbang kebenaran sejarah itu sendiri. Amerika dengan CIA-nya selalu disebut-sebut sebagai dalang berbagai aksi penggulingan kekuasaan negara-negara yang menentangnya. Jika mengikuti dalil konspirasi itu, Sukarno dan jutaan pengikut Partai Komunis Indonesia adalah korban aksi keji Amerika. Sebagaimana jawaban yang selalu hadir untuk memenuhi pertanyaan teka-teki teori konspirasi, maka jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Sejarawan Asvi Warman Adam pernah menulis bahwa 1965 adalah tahun pembatas, masa peralihan ketika tujuan sosialisme Indonesia dengan sengaja dibelokkan menuju negeri yang berkiblat kapitalisme. Setelah kejatuhan Sukarno, Indonesia menjadi negeri yang membuka diri terhadap investasi asing dan mengakrabkan diri dengan Amerika. Apabila fenomena ini dipahami secara kausalitas, keterlibatan Amerika dalam pembasmian komunis di Indonesia punya dasar yang kuat.
Namun lagi-lagi sejarah bukan satu tambah satu sama dengan dua. Pendiri penerbit Hasta Mitra yang juga tahanan politik Orde Baru, Joesoef Isak, pun terheran-heran bagaimana Patricia Derien, utusan Presiden Jimmy Carter dari negeri musuh bebuyutan komunis, mau bersusah payah menemuinya untuk mendengarkan kisah tahanan politik dalam penjara Orde Baru. Derien, yang ke Indonesia untuk menemui Soeharto, lantas membawa kisah yang didengarnya dari Joesoef Isak ke Amerika. Tak berapa lama pemerintahan Soeharto membebaskan ribuan tahanan politik karena tekanan dunia internasional, termasuk Amerika.
Tan tidak hanya menyuguhkan analisis musabab terjadinya tragedi kemanusiaan di Indonesia pada 1965, tapi juga menguraikan persoalan proses pembentukan sebuah negara-bangsa. Pada bagian kedua buku ini, Tan menjelaskan dari dasar sekali pengertian-pengertian negara-bangsa yang pernah didedahkan beberapa tokoh, mulai Ernest Renan sampai Sun Yat Sen.
Masih pada bagian yang sama, Tan melontarkan pemikirannya mengenai posisi kelompok Tionghoa dalam masyarakat di Indonesia. Ini kegundahan yang bertolak dari pengalaman Tan: diskriminasi berlipat ganda yang dialaminya karena dia dituduh komunis, dan kebetulan dia dilahirkan sebagai orang Tionghoa. ”Sudah tertangkap bersama gembong PKI... yang membuatku tak terelakkan lagi harus diperlakukan sebagai orang PKI yang harus digilas ludas sehingga tak perlu diperlakukan sebagai manusia, ditambah lagi aku Cina,” (halaman 298).
Nilai sebuah buku tidak ditentukan oleh tebal atau tipisnya halaman. Di luar hal-hal estetis, informasi di dalamnya menjadi hal terpenting. Memoar, biografi, ataupun aotobiografi memberikan dua pilihan struktur penulisan: kronologis atau tematis. Agaknya buku ini memilih yang kedua. Pilihan itu pula yang membuat pembahasannya melebar dan terkesan tidak berfokus pada satu persoalan. Sulit pula mengatakan buku ini memoar atau aotobiografi murni karena penulis sering menulis jauh dari jangkauan kehidupan dan peristiwa yang dialaminya. Bahkan dokumen yang bisa didapatkan pada sumber lain pun dijadikan lampiran, yang menambah berat beban buku.
Seperti kata Ben Anderson, kecuali dalam biodata singkatnya, Tan tak menyampaikan informasi latar belakang keluarganya. Riwayat hidupnya dimulai sejak 1 Oktober 1965 dan dari sanalah berbagai cerita bermula.
Lepas dari semua itu, buku ini, sebagaimana kesaksian tapol lainnya, menyodorkan fakta tentang penindasan manusia pada sebuah episode sejarah bangsa Indonesia. Tapi ironisnya di negeri ini kisah penindasan dan penyiksaan yang seharusnya direken sebagai gugatan itu acap kali hanya diperlakukan sebagai dongeng yang indah untuk dibaca.
Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia Online
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo