Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katanya, kata sebuah riwayat, seorang pemimpin Islam awal, Ali bin Abi Thalib, pernah mengatakan orang yang beruntung itu jika mendapatkan hari ini lebih baik dibanding kemarin. Agaknya, Indonesia jauh dari keberuntungan. Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana atau KUHP malah mundur dari apa yang dibuat oleh pemerintahan kolonial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUHP yang berlaku sekarang dibuat tahun 1946, yang mengadopsi begitu saja Wetboek van Strafrecht tahun 1881. Karena dibuat untuk mengatur penduduk pribumi, konsep aturan hukum ini mencurigai segala gerak-gerik penduduk Hindia Belanda agar tak merongrong kekuasaan pemerintah Belanda. Ada hukuman mati, perzinaan, hingga pasal pidana untuk penghina penguasa.
Ada 14 tema yang berbau kolonial dalam RKUHP yang seharusnya diperbaiki pemerintah dan DPR kita. Alih-alih mengubahnya dengan mengikuti perkembangan zaman, DPR malah mau mengesahkan rancangan yang dibuat pemerintah dengan menambah hukuman yang mengabaikan hak-hak asasi manusia. Misalnya, tentang penodaan agama, hidup bersama tanpa pernikahan, hingga pidana berbasis orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT.
Para pembuat hukum kita tak hanya kian konservatif, bahkan hendak membunuh keberagaman Indonesia. Mereka hendak menegakkan hukum yang berangkat dari pemikiran tunggal atau menginginkan keseragaman dengan memberangus perbedaan, ketika kini pemikiran dan konsep-konsep keberagaman berbasis hak asasi manusia kian maju.
Hukum memang perlu untuk harmoni hubungan sosial dengan tujuan membuat manusia berbahagia karena ada hukuman bagi kejahatan. Hukum yang rigid dan terlalu jauh mengatur hak privasi justru akan menghambat harmoni itu karena tak lagi menjadi pelindung bagi mereka yang tak berbuat jahat. Dus, hukum yang berlebihan akan mencederai demokrasi. Sementara demokrasi menuntut kebebasan individu. Jika mengkritik penguasa dipidanakan, demokrasi tumpas dengan sendirinya.
Itu kenapa protes publik meluas hingga pemerintah menghentikan pembahasannya bersama DPR pada 2019. Bukannya memperbaikinya selama tiga tahun terakhir, pemerintah sekadar menyalin draf lama dengan sedikit modifikasi tanpa perubahan krusial seperti yang diminta publik.
Modifikasi yang tak perlu itu, misalnya, perubahan nomor pasal pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Draf lama ada di pasal 218 dan 219, draf baru pindah ke nomor 134-135. Jika sebelumnya delik biasa, kini menjadi delik aduan. Artinya, pidana baru bisa diproses jika presiden dan wakil presiden mengadukan rakyatnya sendiri yang mereka anggap menghina jabatan publiknya.
Soalnya bukan pada delik aduan. Keseluruhan pasal penghinaan penguasa ini jelas kuno. Hanya penjajah yang memakainya. Hanya penguasa yang merasa tak memerlukan rakyat yang hendak menghukum rakyatnya sendiri karena mengkritiknya.
Menjadi politisi, menjadi presiden atau pejabat negara itu harus siap dikritik. Sepedas apa pun, sekurang ajar apa pun, rakyat boleh dan harus bebas mengutarakan pendapat mereka. Itulah esensi demokrasi. Itulah fungsi kontrol terhadap kekuasaan yang selalu cenderung korup. Jangan sampai presiden dan wakil presiden hanya memanfaatkan demokrasi untuk berkuasa tanpa mau menanggung lampirannya, yakni kritik rakyat yang dipimpinnya.
Indonesia bukan kerajaan. Indonesia bukan milik presiden. Republik ini punya seluruh rakyat Indonesia. Siapa pun yang berkuasa tak punya hak menghukum pemilik negara ini. Maka jika kini KUHP malah mengukuhkannya, hukum dibuat penguasa untuk melindungi mereka dari cemooh rakyat. Hanya pemerintah kolonial yang menghukum rakyat jajahannya untuk melindungi Ratu mereka nun di Belanda.
Apalagi pasal penghinaan presiden ini sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006. Jika kini Presiden Joko Widodo hendak mengembalikannya melalui KUHP, sungguh ia presiden paling buruk dalam sejarah Indonesia: berkuasa dengan melindungi diri melalui hukum yang dibuatnya sendiri.
Atau soal hukuman bagi mereka yang punya orientasi seksual berbeda. Kian banyak ahli genetika yang mengonfirmasi bahwa orientasi seksual adalah gen bawaan. Pembentukan kromosom laki-laki yang menyukai laki-laki sama prosesnya dengan pembentukan alel laki-laki yang menyukai perempuan. Jika mereka dihukum, apakah penjara bisa mengubah orientasi genetika mereka?
Soal-soal krusial ini hanya contoh dari sekian banyak hukuman yang tak berbasis kejahatan yang hendak diatur dalam KUHP. Setelah 77 tahun lepas dari penjajahan, pembuat hukum Indonesia tak kunjung bisa lepas dari sindrom penjajahan. Sistem pendidikan rupanya tak menghasilkan para pembuat hukum yang berpikir maju: mereka yang berkuasa dengan tujuan menciptakan kebahagiaan bagi semua orang. Sungguh Indonesia kurang beruntung.