ILMU ekonomi, kata orang, adalah ilmu yang murung.
Warna muram ilmu ekonomi tentu bukan disebabkan oleh
ketidakbecusan para sarjananya untuk menulis dengan anis, segar,
jernih dan hangat. Bahwa ilmu ini nampaknya agak sukar untuk
tampil berseri-seri, hal itu karena zaman modern yang
melahirkannya nampaknya memang menghendaki demikian.
Di zaman kuno Yunani misalnya, ristoteles hanya bicara soal
oikonomia: sekedar "manajemen rumah tangga". Ia bicara soal
kebutuhan yang dasar dan terbatas. Ia bicara tentang suatu
himpunan--sebuah rumah tangga, bukan individu-individu --
sebagai unit yang punya kebutuhan itu. Dalam rumah tangga
tersebut kebutuhan yang "berlebihan" dengan langsung dianggap
tak wajar. Sang kepala rumah tangga punya hak memutuskan.
Tapi ketika datang zaman modern, olkonomia Aristoteles tak
memadai lagi. Di zaman modern ini, tentu saja di Barat,
masyarakat tengah bergerak dengan individu sebagai peran utama.
Kebunlhan-kebutuhan pun kian beraneka ragam. Jenis dan jumlahnya
praktis tak tepermanai. Apalagi ketika hal-hal yang sebelumnya
hanya tergolong "keinginan" kemudian jadi kebutuhan pula.
Maka kegiatan perekonomian pun kian lama kian jadi "seni", atau
lebih tepat "kiat", yang sulit: bagaimana mengalakasikan
barang-barang yang langka ke seantero permintaan yang saling
bertentangan.
Ilmu ekonomi kemudian menelaah kiat yang berat itu. Ketika
lambat laun bertambah terpampang bahwa permintaan, manusia tak
kunjung turun, sementara sumber-sumber semakin terbatas, wajah
ilmu ekonomi pun semakin masygul. Sejak Malthus sampai dengan
Mishan, ilmu pengetahuan itu bermuram durja.
Tentu saja dengan kekecualian.
Salah satu kekecualian--yang tetap juga menakjubkan--ialah yang
kini terjadi di Amerika Serikat. Dari sini terdengar orang
bicara tentang perekonomian dengan optimisme film Hollywood
tahun 1950-an, seolah dunia adalah taman impian yang necis dan
berwarna ceria, tapi tanpa layar lebar. Itulah yang oleh
sejumlah wartawan pintar disebut sebagai Reaganomics.
Personifikasinya tentu saja Presiden Ronald Reagan. Tokoh yang
charmant ini selalu nampak rapi dan riang, bergas dan berada.
Paras mukanya menunjukkan kepercayaan, bahwa jika orang kaya
diberi keleluasaan luas untuk menambah kekayaannya, seluruh
Amerika Serikat akan beres.
Maka tingkat pajak pun diturunkan, dengan harapan orang akan
bekerja lebih keras dan kehidupan ekonomi bergairah lagi--hingga
kemakmuran menjalar dan pembayar pajak bertambah banyak.
"Anggapan dasarnya ialah," kata Dr. Arthur Laffer, ekonom muda
yang mengilhami Reaganomics, "orang bekerja bukan untuk membayar
pajak."
Dengan kata lain, cukup sah bila orang mementingkan dirinya
sendiri. Jangan berharap orang akan berkorban untuk menaikkan
pendapatan negara. Dan bila pendapatan negara tak naik lantaran
tingkat pajak dikurangi, bagaimana menghindari defisit?
Jawabnya: pengeluaran pemerintah dipotong. Sejumlah bantuan
untuk orang miskin misalnya tak perlu lagi.
Demikianlah Reaganomics pada akhirnya adalah contoh
"perekonomian untuk si kaya". Di sana asas utama adalah
kebebasan, bukan persamaan ataupun pemerataan. Tak heran bila
Reagan memuji buku Milton Friedman, yang laris itu, Kebebasan
Untuk Memilih, suatu suara kapitalisme dengan gairah baru.
Sayangnya buku itu condong melupakan, bahwa bagi si kakek George
yang tak mampu lagi naik bis ke tempat bekerja (karena subsidi
karcis bis telah dicabut), tak ada lagi kerja. Artinya tak ada
penghasilan. Tak ada pula kebebasan.
Di balik wajah berseri-seri Ronald Reagan kenyataan akhirnya toh
tetap: dalam kelangkaan ini, ada yang disingkirkan dari
perhitungan. Rebutan survival berlangsung diam, tapi keras, di
mana yang lemah dibiarkan terlindas.
Benar, ilmu ekonomi adalah ilmu yang murung dan muram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini