Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, mengendurnya tekanan pemerintah terhadap para pelanggar batas minimum pemberian kredit (BMPK) terbukti tak efektif. Padahal, program rekapitalisasi tak mungkin dilaksanakan tanpa para bankir itu melunasi kredit untuk grupnya terlebih dahulu. Ini sulit dilakukan. Kesehatan bank-bank yang melanggar BMPK umumnya parah. Bisnis riil yang didanai bank sendiri juga tidak bergulir. Bagaimana caranya agar para bankir bisa memenuhi kewajibannya? Kesimpulannya, tindakan hukum atas para bankir tidak jalan, sedangkan peluang untuk segera mengembalikan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga tipis.
Satu hal lain yang juga akan menghambat adalah kredit macet bernilai ratusan triliun. Tentang ini, tidak ada transparansi, padahal masalah pelanggaran BMPK dan ketiadaan transparansi adalah relevan karena rekapitalisasi bukanlah program yang diluncurkan dalam ruang hampa udara. Keberhasilannya, langsung atau tidak langsung, akan ditentukan oleh penanggulangan kredit macet dan law enforcement terhadap para pelanggar BMPK. Membengkaknya kredit macet akan merongrong modal sehingga bank membutuhkan lebih banyak lagi injeksi dana rekapitalisasi.
Selain itu, rekapitalisasi mengharuskan pemilik bank melakukan injeksi dana segar 20 persen dari total yang diperlukan (80 persen dari pemerintah), yang diperkirakan mustahil dilakukan dalam kondisi separah sekarang. Yang juga perlu diperhitungkan adalah suku bunga tinggi yang menyebabkan bank masih terperangkap dalam kesulitan menggerakkan dana dengan menguntungkan.
Benar, pemerintah tentu akan mencoba menyinkronkan realisasi program rekapitalisasi dengan penurunan suku bunga, pembenahan kredit macet lewat Asset Management Unit, penyelesaian BLBI, dan, yang juga sangat penting, pemulihan sektor riil. Benar juga bahwa pemerintah tak akan merogoh terlalu banyak dari kocek APBN karena untuk menggelindingkan rekapitalisasi, pemerintah tidak perlu mengucurkan sekaligus Rp 258 triliun, tapi mungkin hanya Rp 20-50 triliun per tahun. Jumlah yang disebut terakhir ini dialokasikan untuk pembayaran bunga obligasi (surat utang) yang dinjeksikan pada bank yang menjalani rekapitalisasi.
Boleh jadi, ongkos itu tak terasa berat. Tapi harus diingat, selain menginjeksi surat utang pada bank-bank yang modalnya kurang, pemerintah harus pula menyuntikkan dana tunai pada bank-bank BUMN yang ternyata juga amat haus modal. Setelah due diligence, diketahui bahwa kinerja bank-bank BUMN begitu buruknya. Semua bank BUMN--selain BTN yang belum ketahuan hasil auditnya--masuk dalam kelompok bank kelas C. Artinya, tingkat modal bank BUMN sudah lebih rendah dari minus 25 persen.
Dan, seperti kata Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar, ketika pemerintah menyuntikkan dana rekapitalisasi, diharapkan BPPN berhasil mengambil kembali dana BLBI. Pokoknya ada time frame, ada keterkaitan dan sinkronisasi, ada satu titik terang berupa kecenderungan turunnya suku bunga. Hanya saja, semua itu terlalu bagus untuk bisa direalisasikan.
Tapi, siapa tahu, pemerintah punya alternatif pamungkas yang sewaktu-waktu bisa digunakan kalau rekapitalisasi terancam gagal. Program memberdayakan BPD (bank pembangunan daerah), misalnya, sangat boleh jadi dimaksudkan untuk mengisi ruang kosong yang kelak akan ditinggalkan oleh bank-bank swasta yang bangkrut. Pemberdayaan BPD dan penyelamatan beberapa bank pemerintah--yang habis-habisan diganduli kredit macet--sangat memperkuat kesan bahwa nasionalisasi sektor perbankan sudah tak terhindarkan lagi. Bank-bank swasta yang terkena program rekapitalisasi juga diharuskan membayar kembali suntikan dana pemerintah dalam waktu tiga sampai lima tahun ke depan. Jika tidak mampu, mereka tak punya pilihan lain kecuali nasionalisasi.
Barangkali, kemunduran ini merupakan harga yang harus dibayar untuk langkah yang terlalu maju yang diayunkan oleh UU Perbankan No.7/1992. Dan, juga Bank Indonesia yang tak independen. Praktek KKN yang dahsyat.
Andaikata pemerintah memang bermaksud menata kembali sektor perbankan kelak kemudian hari, sebaiknya bank-bank tak lagi berperan terlalu dominan--sumber pembiayaan seperti pasar modal juga dipacu; lalu jumlah bank jangan dibiarkan terlalu banyak sehingga mudah diawasi; dan terakhir, proses peminjaman di bank jangan semata-mata mengandalkan agunan/kolateral, tapi juga menggunakan basis kelancaran arus kas dan analisis risiko kredit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo