Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisahnya begini. Sudah jadi dalil dalam administrasi pemerintahan bahwa tumpang tindih fungsi organisasi harus dihindarkan. Membuat dua organ dengan wewenang kembar itu buruk, karena mengakibatkan simpang-siur pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, yang mengacaukan dan menggerogoti efisiensi. Ini yang dikhawatirkan terjadi dengan keputusan Presiden Habibie membentuk Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH) dengan Keputusan Presiden Nomor 191/1998.
Kenyataan bahwa Jenderal Wiranto dan pejabat lain perlu memberi penjelasan tambahan ke kiri dan kanan menunjukkan memang ada yang bisa membingungkan dalam kebijakan mendirikan dewan itu. Keputusan itu sendiri rupanya juga diambil dalam keadaan setengah bingung dan tergopoh-gopoh. Suasana yang kurang tenang untuk memutuskan sesuatu akhir-akhir ini bisa kita lihat contohnya dalam pernyataan Habibie melarang siswa sekolah dasar sampai sekolah menengah umum belajar di luar negeri. Sikap ini mungkin bukan hasil pikiran yang kerdil, tetapi sekadar karena sedang panik saja, sehingga tidak sempat mematangkan pikiran dengan selayaknya.
Dalam kondisi politik semacam ini, wajar juga kalau pemerintah terdesak berpikir setengah matang. Hendak melakukan stabilisasi, terhalang karena tidak bebas melancarkan tindakan represi. Pandangan internasional menyoroti terus segi pelaksanaan hak asasi manusia dari tiap tindakan penertiban. Sementara itu mahasiswa belum berhenti juga bergerak. Ingin membuat kekuatan untuk mengimbangi faktor gerakan mahasiswa, merasa tidak punya dasar hukum kuat. Dulu, tatkala dwifungsi ABRI bisa dilaksanakan dengan menggunakan represi preventif--mengancam, mencekal, menangkapi gembong yang dicurigai lebih dulu, sehingga gerakan bisa dihambat--yang dipakai ialah kekuasaan Kopkamtib, yang sandaran hukumnya ialah ketetapan MPR tentang pelimpahan wewenang istimewa kepada Presiden Soeharto. Sekarang kewenangan semacam itu tidak ada lagi.
Tentara, untuk membenarkan penggunaan kekuatan kasar yang jadi modalnya, gandrung pada dasar formalitas legal. Mungkin itu sebabnya perlu legalitas pengganti, sekalipun hanya berupa keputusan presiden, yang mutunya lebih rendah daripada ketetapan MPR. Tetapi dewan yang dihasilkan itu banyak mengandung kontradiksi, mengundang pertanyaan, dan agak ironis. Kalau ingin meniru National Security Council Amerika Serikat, kok ada pemimpin majelis-majelis agama di dalamnya? Ada Ketua Komnas HAM pula jadi anggotanya. Kalau dibayangkan seperti Security, Law, and Order Restoration Council (SLORC) di Myanmar yang dikuasai militer itu, walau namanya mirip, bedanya yang besar ialah bahwa DPKSH Indonesia ini--seperti ditegaskan Wiranto--tidak punya wewenang komando.
Kalau tak berwewenang sendiri, hanya membuat telaah dan rekomendasi, bukankah ini mengambil alih pekerjaan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional yang sudah ada berdasarkan UU No. 20 Tahun 1982 itu? Kalau akan menggarap masalah keamanan dan hukum, bukankah telah diurus oleh menteri departemen masing-masing? Kalau koordinasi yang diperlukan, bukankah Menko Polkam Feisal Tanjung cukup punya waktu senggang untuk mengerjakannya?
Walhasil, produk unggulan yang konon direncanakan bukanlah strategi pertahanan global atau perang bintang, tetapi Ratih alias Rakyat Terlatih. Ada kebutuhan mendesak untuk menjaga stabilitas dalam pemilihan umum dan sidang umum MPR tahun muka. Keadaan masih tak menentu, diguncang aksi mahasiswa yang belum kelihatan di mana akan berujung. Ada petunjuk kuat, mobilisasi Ratih yang akan ditempelkan pada polisi ini akan digunakan untuk menangkal gerakan mahasiswa, yang dianggap sumber kerawanan. Dari 40.000 tenaga yang akan direkrut untuk seluruh negeri, 30 persen atau 12.000 orang akan disediakan untuk Jakarta. Mengapa? Karena, meski Jakarta wilayahnya kecil dan penduduknya hanya 5 persen (10 juta) dari keseluruhan, jumlah mahasiswanya relatif terbanyak, 400.000 mahasiswa atau 25 persen dari jumlah keseluruhan di Indonesia.
Selain korelasi statistik yang kuat itu, memang dari riwayatnya pernah dibentuk organisasi semimiliter yang dihadapkan pada aksi mahasiswa kemarin ini, yaitu Pam Swakarsa. Dan ketika itu, Jenderal Wiranto juga secara terbuka menyatakan dukungannya. Sekarang, dengan legalitas baru, dilatih tiga bulan, dipersenjatai tongkat, tameng, dan borgol, dan digunakan untuk pengendalian huru-hara, para "Ratih" itu bagaikan Pam Swakarsa yang menitis kembali dalam bentuk lebih canggih. Ingatan orang juga ada yang melayang lebih jauh ke belakang, pada Angkatan Kelima yang disokong PKI, pada Keibodan di zaman pendudukan Jepang.
Kita belum tahu, apa kesudahan pro dan kontra tentang program Ratih ini. Stabilitas memang mutlak perlu, pemilihan umum juga harus diamankan, sementara itu adanya kekurangan personel polisi memang tidak dibuat-buat. Tapi ada bau tidak enak tercium dari cara penanggulangan semacam ini. Jalan keluar yang bisa dicoba: rakyat terlatih itu dibentuk dengan percampuran yang baik antara pelbagai unsur--keanggotaan partai yang macam-macam, ada campuran antarkelompok etnis dan ras--dan hanya dibatasi untuk menjaga lingkungan sendiri, dalam unit-unit kecil. Seperti sistem keamanan lingkungan yang sekarang ada, dengan sedikit perubahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo