Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memanggil bekas presiden Soeharto ke kantor kejaksaan ternyata mudah. Yang tidak mudah adalah bagaimana sesudah itu. Sebab yang dipanggil datang, tapi tetap ada perasaan mendua dalam sambutan masyarakat. Yang jelas, di kalangan mahasiswa sangat kecil gaungnya. Mereka meneruskan aksi tuntutan seakan-akan kejadian itu tak ada artinya.
Banyak yang mencurigai dimulainya proses pemeriksaan itu sekadar sebagai kiat untuk menciptakan "efek Potemkin". Kiasan ini diambil dari sejarah Rusia pada abad ke-18, ketika Marsekal Potemkin mendirikan desa-desa bikinan yang tampaknya gemah ripah di daerah yang dilalui Tsarina Katerina Agung, agar yang melihat senang--meskipun yang dilihat tak ada substansinya.
Gejala yang meragukan kelihatan dari enggannya kejaksaan menegaskan status proses pemeriksaan, penyidikan atau bukan; dan kedudukan hukum yang dipanggil untuk diperiksa, sebagai tersangka atau saksi. Soeharto hanya disebut sebagai "terperiksa". Maksudnya? Istilah ini tidak ada dalam kamus resmi, kabur, dan sifatnya umum: siapa saja yang sedang diperiksa, tersangka, saksi, tertuduh, terdakwa, bisa saja disebut sebagai terperiksa.
Dikatakan bahwa pemeriksaan terhadap Soeharto masih dalam tahap penyelidikan. Artinya, belum ditemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Peristiwanya saja masih dicari. Jadi, belum bisa menyangka siapa pelakunya, apalagi menentukannya.
Tetapi, bagaimanapun juga, Soeharto telah dipanggil oleh kejaksaan. Dalam hukum acara, sebenarnya pemanggilan dilakukan oleh penyidik, yang berwenang memanggil tersangka dan saksi "dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas" dalam surat panggilan yang sah. Dalam standar surat panggilan, harus dicantumkan kedudukan si terpanggil, sebagai tersangka atau saksi. Kalau bukan penyidikan, dan bukan sebagai tersangka, apa gerangan yang tertera dalam surat yang diterima oleh Soeharto, si terperiksa itu?
Lagi pula, yang berhak didampingi pengacara hanyalah yang berstatus tersangka, sedangkan untuk saksi tidak boleh. Memang, nyatanya Pak Harto didampingi beberapa pengacara ketika diperiksa. Dua mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Tungky Ariwibowo dan Bob Hasan, serta mantan Menteri Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo, tidak diberitakan membawa pengacara ke ruang pemeriksaan. Apakah ini kebetulan, atau berarti prosesnya memang adalah penyidikan dengan Soeharto sebagai tersangka--setidak-tidaknya dalam bayangan kejaksaan--dan ketiga mantan menteri itu sebagai saksi saja? Tak ada keterangan resmi tentang hal itu, dan para pengacara Soeharto pun tidak mempersoalkannya secara terbuka.
Ini membuat masyarakat jadi lebih tidak percaya. Kalau benar proses ini lebih banyak untuk berpura-pura, hasil akhirnya tentulah berupa "tidak ditemukan tindak pidana", dan pengusutan dihentikan di tengah jalan.
Tetapi sebaliknya, sekalipun semula tidak diniatkan, kalau prosesnya bergulir sampai lewat batas tertentu, yang dulunya hanya berupa bayangan mungkin bisa berubah menjadi konkret. Main-main jadi sungguhan, kata orang Betawi.
Kalau menggunakan bahasa penerbangan, sebagaimana kegemaran Presiden Habibie, proses pemeriksaan Soeharto ini ibarat menggerakkan kapal terbang di landasan pacu. Pada fase awal masih mungkin dihentikan dan berputar balik. Tetapi bila telah mencapai kecepatan tinggi dan melampaui jarak tertentu dari panjang landasan, mau tak mau pesawat harus dibuat mengudara. Tidak mungkin lagi bagi pilot untuk abort take-off, membatalkan lepas landas. Pilihannya hanyalah teruskan naik atau hancur terperosok di ujung landasan.
Singkatnya, ada dua kemungkinan itu, dan yang penting dicatat: kemungkinannya belum tentu enak, juga bila pemeriksaan terus.
Turut Melakukan, Turut Bertanggung Jawab
Sebab, jika diteruskan, bukan cuma Soeharto yang wajib diperiksa. Kita tahu bahwa secara hukum yang dianggap melakukan kesalahan ialah--selain pelaku utamanya sendiri--termasuk juga yang turut serta berbuat, yang menganjurkan, yang membantu, dan yang memberi kesempatan untuk melakukan perbuatan itu. Mengingat peristiwa korupsi terjadi dalam kurun panjang pemerintahan Soeharto dan berkaitan dengan penggunaan kekuasaannya, pasti banyak pejabat tinggi dan tokoh bisnis yang ikut terlibat.
Soal yayasan dan pengelolaan dananya dalam bisnis, misalnya, banyak pembantu presiden dan kroni yang tersangkut. Soal monopoli pengadaan cengkeh; soal konsesi hutan dan dana reboisasi; soal pertambangan, minyak dan gas bumi; soal jalan tol dan pembangunan prasarana perhubungan lain, telekomunikasi, perhotelan; soal mobil nasional, dan banyak lagi yang lain. Anggota kabinet dan sebagian besar pejabat tinggi di setiap masa, "Mister Clean" atau bukan, semua ikut dilibatkan. Setengah lebih daripadanya masih menjabat kedudukan tinggi sekarang ini. Apa yang bisa dilakukan? Menjadikan mereka semua sebagai tersangka, bukan cuma saksi?
Wajarlah kalau semua yang dituduh berusaha membebaskan diri dari kesalahan. Para mantan pejabat itu, bisa diduga, akan berlindung di balik alasan bahwa mereka terpaksa melaksanakan perintah atasan, sang presiden. Hukum memang memberi peluang untuk membebaskan seseorang yang "melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan dari penguasa yang berwenang" dari tuntutan pidana. Sedangkan dalam pandangan umum, mereka bukan saja termasuk kategori turut serta berbuat atau membantu melakukan, melainkan juga menikmati hasilnya. Adilkah melepaskan mereka dari tanggung jawab hukum ?
Kalau semua akan ditangani serius, yang dihadapi benar-benar merupakan pekerjaan raksasa. Belum tentu tenaga yang ada cukup memadai. Bagi masyarakat, wujud kesungguhan ialah bila semua tersangka segera ditahan dan harta kekayaannya disita atau dibekukan, sambil menunggu giliran diadili. Intinya, memakai perumpamaan penerbangan tadi, masyarakat menghendaki agar proses pengusutan ini betul bisa lepas landas. Sebaliknya, para pengacara Soeharto tentu akan mengusahakan agar surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau sejenisnya diterbitkan oleh Jaksa Agung.
Indonesia, dan tak hanya pemerintah, dengan demikian dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah: meneruskan atau tidak, dengan melihat skala prioritas apa saja yang perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Sebenarnya, sekiranya proses tidak diteruskan, hukuman telah diderita oleh Soeharto dan keluarganya. Bekas penguasa ini telanjur diperlakukan sebagai pesakitan oleh masyarakat. Biasanya, seperti kata orang, semua milik bisa hilang, asalkan tersisa kehormatan diri. Dalam hal Soeharto, barangkali terbalik: semuanya masih bisa dijaga, kecuali kehormatannya.
Namun di lain pihak perlu dipertimbangkan: soalnya di sini bukan sekadar menyakiti untuk memenuhi kebutuhan membalas dendam. Soeharto perlu diadili, juga yang lainnya, agar hukum berjalan adil dan pasti. Itu juga kebutuhan Indonesia yang mendesak, melihat begitu banyaknya konflik dan bahkan kerusuhan yang meletus antara lain karena tidak ada cara yang pasti dan adil untuk menyelesaikan persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo